Warga berhak mengawasai layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Demikian salah satu poin penting dalam diskusi terfokus tentang peran warga Peran Publik dalam Awasi Jaminan Kesehatan Nasional yang dilaksanakan Sloka Institute pada Sabtu akhir pekan lalu.
Anton Muhajir, Koordinator Program Awasi Jaminan Kesehatan Nasional (AJAKAN) Sloka Institute membuka diskusi dengan tujuan diskusi setengah hari tersebut. “Kita akan lebih banyak berdiskusi bagaimana peran warga dalam pelayanan JKN,” katanya ketika memberikan pengantar sebelum perkenalan peserta.
Dia menambahkan diskusi akhir pekan lalu merupakan kedua kalinya yang melibatkan publik. Pada April lalu, Sloka Institute dengan dukungan HIVOS juga sudah mengadakan diskusi tentang JKN.
“Dalam refleksi kami dari semua topik itu kendalanya tersulitnya soal Informasi,” kata Anton setelah menyebutkan isu-isu pada diskusi pertama.
Karena itulah pada diskusi kali ini, fasilitator dan peserta menajamkan pada topik peran warga dalam pengawasan. Hasilnya nantinya akan berperan dalam mekanisme online yang dibuat AJAKAN. Anton juga mengatakan poin penting pada diskusi sebelumnya bahwa teknologi dan informasi bisa menjadi salah solusi bagi publik untuk melakukan pengawasan JKN, seperti yang dilakukan oleh Pro Denpasar.
“Oleh karena itu, kami optimis bahwa apa yang sudah kita lakukan juga bisa sejalan dengan hal itu, apa yang akan kita lakukan akan bisa menjawab isu-isu tersebut,” kata Anton mengakhiri pengantar diskusi hari itu.
Diskusi tentang peran warga dalam mendorong perbaikan JKN ini dipandu dr. Oka Negara, Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Peserta yang hadir pada diskusi kedua ini sebagian tidak ikut dalam diskusi pertama. Oleh karena itu, untuk menyamakan persepsi, pemandu diskusi membagi peserta menjadi tiga kelompok pada sesi pertama.
Tiap kelompok diberi instruksi untuk membahas tiga hal dalam bentuk pertanyaan: lima hal penting yang anda pahami tentang JKN, bagaimana mekanisme pelaksanaan JKN selama ini, bagaimana alurnya, benturan yang ada seperti apa. Terakhir, peserta diminta menyebutkan satu atau dua kasus penting terkait JKN dan solusinya.
“Agar kita punya sisi solutif juga dari kasus yang ada,” kata dr. Oka Negara.
Peserta diskusi ini lebih beragam dari sebelumnya. Ada individu pengguna JKN aktif, lembaga publik yang mendorong perbaikan layanan publik seperti ombudsman, praktisi yang bersentuhan dengan pelaksanaan JKN seperti Forum Sumber Daya Manusia (SDM) dan Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK). Lembaga publik yang mewakili para peserta JKN dari semua kalangan seperti Kelompok Peduli Schizoprenia Indonesia (KPSI), dan Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba) sebagai lembaga yang mendampingi pasien HIV AIDS dari kelompok IDU.
Hadir pula Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni), Puspadi Bali mewakili kelompok difable, dan Yayasan Rama Sesana (YRS) mewakili kelompok perempuan (terutama ibu-ibu pedagang pasar tradisional di Denpasar), juga ada kelompok mahasiswa dan akademisi dari Program Studi Kesehatan Masyarakat (PSKM) Universitas Udayana.
Dua pertanyaan pertama sudah cukup jelas bagi para peserta, yang didiskusikan lebih banyak mengenai kasus terkait JKN. Diskusi juga sangat menarik karena perwakilan kelompok warga ternyata ada yang berprofesi sebagai dokter BPJS sekaligus berperan sebagai dokter komunitas, yaitu dr. Upadisari.
dr. Upadisari yang biasa dipanggil dr. Sari menjadi dokter BPJS di klinik umum pribadinya, disisi lain juga mendampingi ibu-ibu pedagang pasar, “Kasus saya di masyarakat, di ibu-ibu pasar tradisional, banyak memek-memek yang punya kartu BPJS, tapi tidak tahu harus kemana,” kata dr. Sari ketika menyebutkan permasalahan terkait JKN.
“Ketika saya memberikan layanan gratis, mereka datang ke saya,” dr. Sari menambahkan.
Peserta lain, Faiz Abdillah menyoroti informasi yang diterima oleh peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI). “Yang saya pikiran para PBI, mereka didata kemudian didaftarkan dan langsung diberikan kartu,” katanya. Menurut Faiz peserta PBI akan mendapat sosialisasi lebih minimal .
Banyak hal-hal solutif dari kasus BPJS yang disebutkan peserta. Salah satunya dari dr. Sari. Direktur Yayasan Rama Sesana ini menyarankan kepada peserta lain bahwa sebagai peserta harus pintar, “Pintar memilih faskes,” katanya. Skema pembiayaan JKN dalam tariff INA CBG’s biaya yang ditanggung JKN sudah termasuk diagnosa, obat, layanan yang harus dipahami semua faskes.
dr. Sari menyarankan peserta JKN memilih faskes yang para tenaga kesehatannya mau melakukan kontak dengan pasien. “Sayang apabila faskes yang banyak kapitasinya tapi tidak melakukan kontak dengan pasien,” katanya menanggapi kasus salah satu peserta yang tidak mendapatkan pelayanan maksimal di faskes yang terlalu banyak peserta JKN nya.
Sesi kedua bertujuan untuk menajamkan pemahaman peran peserta agar bisa melakukan pengawasan JKN. Hasil diskusi sesi kedua ini akan menjadi sumbangan penting dalam melakukan konsep pengawasan publik. Peserta diminta mendiskusikan tentang penting atau tidaknya publik melakukan pengawasan JKN serta bagaimana bentuknya.
Kedua apakah penggunaan informasi bisa dimaksimalkan untuk proses tersebut, dan ketiga pihak-pihak yang bisa diajak kolaborasi siapa saja dan apa bentuk aksi yang bisa dilakukan.
Catatan dari sesi kedua ini, menurut salah satu peserta diskusi, Putu Handini, teknologi informasi memiliki keterbatasan dan belum tentu bisa dimanfaatkan oleh semua lapisan peserta JKN. “Tetap perlu. Tapi kita perlu mengantisipasi masalah-masalah yang akan muncul,” kata Handini.
Menutup diskusi ini ada yang menarik pernyataan dari dr. Sri Nopiyani, perwakilan akademisi PSKM agar aplikasi bisa menjadi dasar memilih FKTP. Pada aplikasi AJAKAN yang sedang dikembangkan direncanakan ada fiture untuk memberikan apresiasi dan penilaian layanan, “Karena ternyata ada dokter yang berperan sebagai dokter keluarga sudah mendekati sempurna ternyata tidak laku,” dr. Nopi menambahkan.
Diskusi ini hanya awal. Selanjutnya, publik lah yang akan memiliki peran lebih banyak dalam AJAKAN. Sehingga, perbaikan pelayanan JKN dari warga dan untuk warga. [b]