Bentara Budaya Bali kembali akan menyelenggarakan Dialog Budaya. Kali ini bertajuk ‘Pembangunan Global Berlandaskan Tri Hita Karana’ pada Sabtu (9/11), di Jl. Prof. Ida Bagus Mantra 88A Ketewel. Acara yang merupakan kerja sama dengan Jurusan Program Doktor Ilmu Agama IHDN Denpasar ini menghadirkan para pembicara lintas bidang yang mewakili berbagai perspektif kekinian.
Para pembicara tersebut yakni Claudia Cristina Morales Manrique, Ph.D (Venezuela), Elly Kent PhD (Australia), Ir. I Gusti Ngurah Wisnu Wardana (Yayasan Tri Hita Karana Bali), serta I Wayan Absir, SE.MM (Jurusan Program Doktor Pasca Sarjana IHDN Denpasar).
Menurut Dr.Ketut Sumadi, M.Par, Ketua Jurusan Program Doktor Pasca Sarjana IHDN Denpasar, konsep Tri Hita Karana kini kian diakui secara universal. Terbukti, pada tahun 2004, World Tourism Organization (WTO) mengadopsi Tri Hita Karana, yang mengimplementasikan Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Berbasis Masyarakat. Bahkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kerja Sama Asia Pasific (Asia Pasific Ekonomic Cooperation — APEC) di Nusa Dua, Bali 5 – 7 Oktober 2013 lalu, filosofi Tri Hita Karana ditetapkan sebagai landasan pembangunan 21 negara anggota APEC.
Diakuinya falsafah Tri Hita Karana (kearifan lokal Bali) oleh negara-negara anggota APEC dan organisasi pariwisata dunia memperkuat citra Bali sebagai destinasi pariwisata dunia, sekaligus mempertahankan keberlangsungan desa pekraman di Bali dan memperkukuh identitas budaya Bali yang dijiwai oleh Agama Hindu. “Diharapkan pula hal itu meningkatkan juga citra Indonesia di dunia Internasional, memajukan budaya bangsa sekaligus mengantar peran NKRI dalam turut serta mengukuhkan kehidupan yang damai di bumi,“ ungkap Dr.Ketut Sumadi,M.Par, dosen yang dulunya aktif sebagai wartawan harian Nusra ini.
Tri Hita Karana adalah tiga unsur kehidupan, yakni Parhyangan (hubungan manusia dengan Tuhan), Palemahan (hubungan manusia dengan alam), dan Pawongan (hubungan manusia dengan manusia), yang harus diwujudkan di dalam keharmonian demi kesejahteraan umat manusia dan terjaganya alam lingkungan.
Namun tak dapat dielakkan, baik di Bali, Indonesia dan juga penjuru dunia, kehidupan sosial budaya justru kerap bertolak belakang dari nilai-nilai Tri Hita Karana. Kerusakan alam besar-besaran, berikut perang dan merajalelanya kejahatan serta ketidakadilan menggambarkan kenyataan yang sebaliknya tersebut.
“Tak hanya di Bali, tapi juga di belahan bumi manapun, kita patut meyakni bahwa, love is the underlying requirement for community development. Tourism-based community development also starts with love for the community. Maka, Pembangunan Pariwisata Berbasis Kerakyatan haruslah bermula dari rasa “cinta (love) kepada rakyat”, ucap Ketut Sumadi.
Profil Pembicara :
Claudia Cristina Morales Manrique, Ph.D, adalah doktor di bidang psikologi. Meneliti tentang ilmu kesehatan mental dan sosial sedari tahun 2003. Saat ini tengah mengembangkan studi tentang SQoL atau Subjective Quality of Life, atau yang dikenal juga dengan Subjective Wellbeing. Ia kerap kali menjadi pembicara tentang SQoL di berbagai universitas terkemuka di dunia serta dipercaya untuk merancang dan melakukan elaborasi proyek penelitian bersama para peneliti dari Universitat de València, di Spanyol, serta lembaga internasional lainnya.
Elly Kent, kandidat doktoral di Australian National University, Canberra. Meneliti tentang teori dan implementasi praktik-praktik partisipatif, termasuk seputar seni rupa kontemporer di Indonesia. Menerima penghargaan dan beasiswa prestasi untuk melakukan studi di Indonesia dari Prime Minister’s Australia Asia Post-Graduate Award2013.
Ir. I Gusti Ngurah Wisnu Wardana, adalah ketua Yayasan Tri Hita Karana Bali, lembaga yang aktif memperjuangkan kelestarian lingkungan Bali berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal. Kerap pula melakukan penelitian dan seminar-seminar sebagai upaya pemberdayaan bagi masyarakat. Ia juga seorang jurnalis yang memiliki perhatian kepada dunia pariwisata. [b]