Aktivis Sloka Institute, Frontier Bali, Kekal Bali, dan Walhi Bali menuntut agar Dinas Kehutanan Bali menerapkan keterbukaan informasi publik terkait izin pengusahaan taman hutan rakyat Ngurah Rai. Keterbukaan informasi merupakan salah satu faktor pendorong terbentuknya good governance dan clean goverment.
Dengan akses informasi yang mudah dan terbuka, masyarakat bisa terlibat langsung di dalam melakukan pengawasan dan kontrol terhadap setiap kebijakan pemerintah termasuk dalam kebijakan pengelolaan lingkungan.
Para aktivis menyampaikan hal tersebut dalam jumpa pers kemarin di kantor Walhi Bali.
Adi Sumiarta dari Walhi Bali menjelaskan pengalaman Walhi dalam meminta salinan informasi kepada Pemerintah Provinsi Bali dalam hal ini Dinas Kehutanan. Sampai saat ini Dinas Kehutanan belum memberikan semua salinan informasi terkait dikeluarkannya Surat Keputusan Gubernur Bali No. 1.051/03-L/HK/2012 tanggal 27 Juni 2012. SK tersebut tentang Izin Pengusahaan Pariwisata Alam pada Blok Pemanfaatan Kawasan Taman Hutan Raya Ngurah Rai Provinsi Bali seluas 102,22 ha kepada PT. Tirta Rahmat Bahari.
Padahal, melalui Putusan Sidang Ajudikasi Non-Litigasi Komisi Informasi No. 19/01.05/AP-MK/KI BALI/IV/2013 Dinas Kehutanan diwajibkan untuk memberikan semua salinan informasi terkait dengan di keluarnya putusan gubernur bali tersebut, kecuali informasi refrensi Bank, Rencana Anggaran Biaya, dan Peta Disain.
Adapun salinan informasi yang belum diberikan sampai saat ini adalah Peta Tata Batas Areal Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam atas nama PT. Tirta Rahmat Bahari serta Buku ke III tentang Rencana Disain Fisik Sarana dan Prasarana Pengusahaan Pariwisata Alam PT. Tirta Rahmat Bahari.
Selain itu pada tanggal 6 Mei 2013 Walhi kembali mengirim surat permohonan salinan informasi publik kepada kepala Dinas Kehutanan. Adapun salinan informasi yang dimohon adalah Surat Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Bali No. 188.46/89/XI/2012 tanggal 12 November 2012 tentang evaluasi dalam rangka penyempurnaan pengelolaan tahura ngurah rai tahun 2012 beserta lampirannya. Namun setelah ditunggu sepuluh hari kerja, sama sekali tidak ada tanggapan dari Kepala Dinas Kehutanan.
Adi menilai Kepala Dinas kehutanan sengaja menutup-nutupi informasi tersebut dan tidak ada niatan baik untuk menjalankan amanat UU no 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).
“Kami di Walhi masih mendiskusikan untuk melakukan laporan pidana karena dengan sengaja menutup-nutupi informasi, selain itu juga akan melaporkan Dinas Kehutanan ke Ombudsman,” ujar Adi.
Pande Nyoman Taman Bali dari Frontier Bali mengatakan setiap orang berhak melihat, mengetahui dan mendapatkan salinan informasi publik sebagaimana yang tercantum di UU KIP. “Seharusnya Dinas Kehutanan berkaca pada hasil Putusan Komisi Informasi, karena salinan yang diminta Walhi merupakan informasi yang terbuka sehingga Dinas Kehutanan wajib memberikan Informasi tersebut,” tambah Pande.
Berkaca dari kasus yang dialami Walhi Bali dalam meminta informasi publik, Agus Sumberdana dari Sloka Institute mengatakan penerapan UU KIP di Bali masih sangat jauh dari baik.
Indikator pertama yang bisa dijadikan tolak ukur adalah belum ditunjuknya Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) sesuai dengan amanat pasal 13 UU KIP. Pasal tersebut ditujukan kepada Badan Publik untuk menunjuk PPID guna mewujudkan layanan cepat, tepat, dan sederhana dalam pelayanan permintaan informasi publik.
Agus menambahkan terkait PPID juga diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 61 Tahun 2010 tentang pelaksanaan UU KIP. Dalam PP 61 tahun 2010 diatur tugas dan tanggung jawab PPID meliputi penyediaan (penyimpanan, pendokumentasian, dan pengamanan informasi publik), pelayanan informasi publik, pengelompokan (klasifikasi) informasi hingga melakukan uji konsekuensi terhadap informasi yang dianggap dikecualikan.
Pasal 21 PP 61 tahun 2010 mengisyaratkan Badan Publik harus sudah menunjuk PPID paling lama 1 tahun sejak PP disahkan. Secara lebih mendetail tentang PPID juga diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No 35 tahun 2010.
“Khusus untuk pemerintah provinsi Bali yang sampai sekarang (hampir 3 tahun sejak PP disahkan) belum memiliki PPID sudah bisa dipastikan penerapan kerterbukaan informasinya sangat rendah. Pemprov Bali masih kalah langkah dengan beberapa pemerintah kabupaten seperti Bangli, Denpasar, Tabanan, Jembrana, dan Karangasem dalam pembentukan PPID,” terang Agus.
Selain itu Viar Suganda dari Kekal Bali mengatakan pentingnya kita mengawal keterbukaan informasi, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan, karena Bali yang dikenal sebagai daerah tujuan pariwisata internasional harus ditunjang dengan pengelolaan lingkungan yang baik. Apabila kebijakan yang dikeluarkan terkait tentang pengelolaan lingkungan yang merupakan informasi publik saja ditutup-tutupi bisa dikatakan pemerintah provinsi Bali tidak melaksanakan Good Governance dan Clean Government.
“Seharusnya apapun kebijakan pemerintah yang berkaitan langsung dengan kepentingan publik harus dibuka,” pungkas Viar.
Para aktivis tersebut juga menuntut pemprov Bali segera menunjuk PPID dan melakukan pengelompokan informasi serta pelayanan informasi sesuai dengan mandat UU KIP, PP 61 tahun 2010, dan Permendagri 53 tahun 2010 untuk menjamin keterbukaan informasi di Bali. [b]