Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Kesiman Kertalangu merupakan salah satu proyek yang disiapkan oleh pemerintah pusat untuk menyambut kegiatan KTT G20 yang diresmikan pada 13 Maret 2023. Dilansir dari laman Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, pembangunan TPST ini dilakukan untuk meningkatkan layanan sanitasi dan mendukung pelestarian lingkungan di kawasan pariwisata yang ada di Bali.
Warga Desa Kesiman Kertalangu dijanjikan bahwa pembangunan TPST ini tidak akan mengganggu warga seperti polusi dan bau. Namun, akhirnya warga beberapa kali memprotes TPST Kesiman Kertalangu.
Oka Widiantara, perwakilan warga Desa Kesiman Kertalangu sudah sering melakukan laporan ke pemerintah kota Denpasar mengenai masalah bau busuk dan asap yang mengganggu warga. Warga pun sudah dua kali mendirikan baliho protes berbeda dan berkirim surat ke sejumlah instansi pemerintah.
“Sebelum pendirian itu dijanjikan itu tidak bau. Nah, setelah berdiri, beroperasi ternyata muncullah itu baunya. Baunya itu keras sekali dulu,” jelas Oka. “Kita juga pernah melakukan pertemuan di Bale Banjar Biaung. Dari Pak Wakil Walikota pun mengakui itu bau. Nah, setelah itu, lah, diadakan monitoring dan evaluasi di TPST,” tambahnya dikunjungi di rumahnya pada 18 Januari 2024.
Dijelaskan bahwa di dalam pertemuan itu dibahas perihal saran-saran akan apa yang harus dilakukan TPST Kesiman Kertalangu untuk menghilangkan bau yang dihasilkan. Namun, setelah dilakukan monitoring dan evaluasi (Monev) selama lima kali hasilnya kurang memuaskan warga.
Menanggapi masalah tersebut, warga Desa Kesiman Kertalangu sepakat untuk memasang baliho sebagai bentuk protes terhadap masalah bau yang ditimbulkan oleh TPST Kesiman Kertalangu. Terdapat 6 baliho yang terpasang di sekitaran kawasan Desa Kesiman Kertalangu. 3 di antaranya dapat dilihat secara langsung saat melewati jalan Bypass Ida Bagus Mantra.
Menurut Oka, sudah ada laporan bahwa warga terdampak masalah kesehatan pernapasan akibat polusi udara yang bersumber dari asap dan bau sampah. “Kalau sampai yang sesak nafas dan sakit itu, ada yang melapor di grup, ‘anak saya sesak karena asapnya, karena baunya,’ Ada 3 orang. 2 orang itu warga pendatang dan 1 itu warga asli,” jelas Oka.
Selain berdampak pada kesehatan, warga Desa Kesiman Kertalangu pernah melihat sisa residu pengolahan limbah sampah dari TPST Kesiman Kertalangu dibuang di tepi Pantai Biaung. Warga desa setempat kemudian melapor untuk diangkut dan bersihkan. Walaupun sudah diangkut, masih ada sisa-sisa residu yang tertinggal. Sisa residu mendatangkan lalat dan menyerang tukik di penangkaran penyu yang letaknya berada di sekitaran lokasi pembuangan residu.
Diskusi Publik
Menanggapi keluhan ini, Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali mengadakan diskusi publik di Taman Baca Kesiman, 12 Januari 2024. Diskusi ini dihadiri secara langsung oleh Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Provinsi Bali, PT Bali Citra Mutiara Plasma Power (CMPP) bersama dengan para warga yang terdampak akibat pembangunan TPST di Bali. Salah satu warga yang hadir adalah Oka Widiantara sebagai perwakilan dari Desa Kesiman Kertalangu untuk menyampaikan keluh kesan warga desa akibat masalah yang ditimbulkan TPST Kesiman Kertalangu.
“Saya asli sini. Saya ndak mau rumah saya nanti ke depan itu tidak nyaman, terutamakan bagi saya sendiri dan anak. Saya tinggal di sini, saya lahir di sini. Anak saya, pun, nanti akan besar di sini. Saya ndak mau nanti lingkungan saya tercemari polusi ke depannya,” tegas Oka. Oka pun kembali menegaskan bahwa tindakan protes ini dilakukan guna tercapainya perbaikan-perbaikan agak tidak bau dan menimbulkan polusi, serta diharapkan adanya pematangan kajian dari proyek pembangunan dan operasional TPST Kesiman Kertalangu.
Dikutip dari siaran pers AZWI, dalam mengatasi bau, pihak pengelola yakni PT Bali CMPP sempat memberhentikan fasilitas TPST untuk sementara waktu. Saat ini kapasitas TPST Kesiman Kertalangu hanya mampu mengolah 290 ton dari 450 ton yang direncanakan. Menurutnya, hal ini karena RDF yang dihasilkan harus menyesuaikan dengan spesifikasi yang diminta oleh pembeli (offtaker).
“Kita menampung keluh kesah masyarakat, makanya ada Monitoring dan Evaluasi (Monev) yang indikatornya adalah masyarakat. Jadi ada hubungan harmonisasi dengan pihak masyarakat. Kami sudah membuat sebuah teknologi, tapi untuk memfiltrasi semua sampah yang masuk juga bukan hal yang mudah,” ujar General Manager PT Bali CMPP, R. Agung Priyanto saat hadir dalam diskusi.
Menanggapi keluhan warga, DKLH Provinsi Bali menjelaskan bahwa kondisi yang terjadi saat ini diakibatkan karena TPA Suwung yang sudah melebihi kapasitas dan sudah tidak dapat menampung sampah lagi. “Tolong masyarakat pilah sampah mandiri dari rumah, jangan sampai terfermentasi lalu tercampur baru diangkut hingga TPST. Jika sampah fresh dan bersih, ketika diolah di TPST maka tidak akan bau,” jelas Kepala Bidang Pengelolaan Sampah, Limbah B3 dan DKLH Provinsi Bali, I Made Dwi Arbani.
Di sisi lain, perwakilan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, Rezky Pratiwi menyayangkan sikap Pemerintah yang tidak menyasar pada perubahan sistem. Menurutnya, pembangunan fasilitas TPST tidak ada edukasi kepada masyarakat terlebih dahulu.
Sehingga, timbunan sampah tercampur di TPST menyebabkan bau busuk di sekitarnya. Selain itu, LBH juga menilai itikad baik yang disampaikan oleh pihak pengelola maupun pemerintah tidak sesuai sejak awal sebab ketidakikutsertaan masyarakat dalam pembangunan. Tidak adil jika masyarakat disalahkan dan disuruh mencari solusinya, sedangkan dalam tahap perencanaan pembangunannya saja, tidak diikutsertakan.