Oleh Luh De Suriyani
Dua turis, Matt dan istrinya dari Swedia, pekan lalu datang ke Pusat Informasi Turis di Dinas Pariwisata Denpasar, Jalan Surapati.
Ia membawa peta wisata kota Denpasar dan meminta petunjuk dari petugas di sana, dimana saja bisa mendapatkan makanan tradisional Bali. “Yang membuat saya tidak sakit perut, ya,” Matt dan istrinya nyengir. Mereka berpikir lebih mudah mendapatkan banyak varian makanan tradisional di Denpasar.
Saya lihat petugas menunjukkan Pasar Badung, yang memang dekat dengan lokasi Matt saat ini. Namun, agaknya Matt dan istrinya masih kebingungan.
“Saya baru saja dari pasar itu dan tidak melihat ada food stall makanan tradisional,” serunya. Saya pikir, wah pasti dua bule ini tidak sampai ke lantai III Pasar Badung yang menjadi food center.
Maklum, dia mengaku tidak suka dikuntit oleh “carry”, sebutan bagi guide dadakan di pasar Badung. Matt cs juga mungkin tidak tahu apa yang disebut makanan tradisional.
Di Pasar Badung, misalnya, yang paling banyak dijual di emperan adalah pesan (pepes), tum, lindung goreng, plecing, dan lainnya. Melihat penampilan makanan ini, Matt juga tak yakin apakah aman dimakan.
Saya tersenyum dalam hati. Lagi, istrinya si Matt mendesak untuk ditunjukkan kompleks makanan tradisional di seputar Gajah Mada, Puputan Badung, dan sekitarnya. Saya memberikan ancer-ancer sejumlah warung, namun karena jaraknya terpisah-pisah dan agak jauh mereka agaknya kurang tertarik.
Terakhir, saya tetap anjurkan dia ke Pasar Badung dan meyakinkan bahwa sejumlah makanan yang dijual disana selama ini aman dimakan. Entahlah, agaknya si Matt dan istrinya ini hanya butuh informasi resmi (harus dicantumkan juga di brosur) jenis makanan yang cukup aman bagi usus bule.
Pemerintah Kota Denpasar memang beberapa kali ingin mengenalkan Denpasar sebagai wisata kuliner. Masalahnya, festival makanan ini pun hanya seremonial disisipkan di sejumlah event seperti Gajah Mada Festival sebulan lalu.
Sebelumnya, ketika peluncuran brand Sightseeing Denpasar, dilaksanakan juga festival makanan tradisional di depan Inna Bali Hotel. Ini pun hanya sesaat.
“Kami kebingungan mencari lahan untuk kawasan makanan tradisional ini,”ujar I Putu Budiasa, Kepala Dinas Pariwisata Denpasar. Ia mengatakan ide traditional food corner ini dicoba di lobi Inna Bali Hotel itu, sekalian satu paket dengan obyek wisata heritage.
Inna Bali memang hotel tertua di Bali, dan yang saya sukai ketika kesana atau lewat adalah memandang dua buah dokar mini yang dipajang di lobi (sekarang disulap jadi counter makanan ala Tiara). Saya pikir, taksu hotel Bali agak memudar karena bagian wajahnya telah dijadikan warung makan yang kurang artistik atau pas dengan citra heritage hotel ini.
Lalu kenapa di Jogja, kita bisa leluasa memilih jalur-jalur lokasi makanan disana? Kalau gudeg di jalan A, bakpia di jalan B, dan seterusnya. Apakah sebelumnya pemerintah memang mengatur atau terbentuk dengan alamiah?
Saya suka dengan kawasan gajahmada. Dan berharap disana dijadikan kawasan food heritage. Seperti saya dulu merantau di Surabaya. Ada satu kawasan dimana2 teman2 menyebutnya dengan “KIA-KIA” merupakan suatu kawasan food heritage on the street (sori lupa nama jalannya). Buka mulai dr sore sampai malam hari. Nah saya tantang pemkot Denpasar untuk bisa mengimplementasikannya…
Tadi baru maen ke kantor Bali Village di sanur. Mereka ada yang namanya Warung Lipat. Itu semacam peta yang berisi informasi warung-warung kuliner menengah. Bagus juga idenya, mungkin cuman kurang pendistribusiannya. Klo kawasan kuliner, pasar kreneng/asoka pada malam hari menjadi tempat yang oke karena banyak pilihan.
@ dewarama :
namanya jalan kembang jepun daerah jembatan merah 😀
menentukan kawasan ini yang cukup sulit, karena harus diperhitungkan faktor akses menuju kesana alias lalu lintas dan tempat parkirnya. yang kedua adalah makanan itu sendiri baik kehigienisan-nya dan penampilan makanan itu sendiri. di depan museum bali menurut saya salah satu tempat alternatif. karena ditunjang oleh adanya lapangan puputan badung yang tidak pernah sepi. dan pernah dijadikan tempat makanan tradisional pada HUT Denpasar tahun lalu. Untuk parkir bisa di sekililing lapangan atau jalan2 di dekatnya. cuma perlu ditekankan kepada pedagang agar senantiasa menjaga kebersihan. serta antisipasi agar makanan tradisional dsana persentasenya tidak dikalahkan oleh pedagang kakilima.
-cheers-
Kawasan wisata kuliner di jogja terbentuk dengan alamiah dan didukung pula oleh pemerintah. hal tersebut bs dilihat dari usia usaha kuliner yg rata2 berusia puluhan tahun.dan hal tsb didukung oleh pemerintah dgn memasukkan kawasan tsb sbg kawasan wisata.selain itu hal tsb jg didukung dngn keramahan msyrkt jogja yg tidak membeda bedakan antara turis lokal dengan turis mancanegara
Hal tsb patut dicth oleh msyrkt dn pemerintah kota Denpasar.
Memang Pemkot Denpasar mungkin perlu sedikit mencontek dari kota Jogja misalnya yang menjadikan salah satu jalan disana menjadi satu icon yang mendunia, yaitu Malioboro. Dimana ketika seseorang menyebutkan kata Malioboro, pasti langsung ingat Jogjakarta. Di Denpasar misalnya bisa saja memilih salah satu jalan kota semisal Gajah Mada atau Diponegoro (dengan memperhitungkan faktor kelancaran lalin dan lain hal ) yang akan dikhususkan menjadi pusat segala hal promosi Bali, baik makanan, kesenian, perdagangan, dll.
Sehingga akan lebih menarik minat wisatawan juga ke Bali serta menjadi satu ikon baru bagi Bali
Sukses Baliku!
@Ayam Betutu Bali Muslim, Halalan Thayyiban, Komplek Pertokoan Genteng Biru (PJKA), Jl. Diponegoro, Denpasar.
Buka : jam 17.00 s/d 00.00 WITA
Koordinat GPS: 8°40’12″S,115°12’54″E
Kasus yang dialamai dua turis tadi seharunya menjadi hal yang harus dipikirkan dengan serius oleh pihak yang harus memikirkan dan punya kebijakan , saya melihat perkembangan infrastruktur di Bali lebih mempertimbangkan ke aspek komersial , pembangunan hotel yang tumbuh cepat dalam penumpukan satu lokasi dengan tidak dipertimbagkan aspek aspek infrstruktur yang lain,
Sudah saatnya Bali seharusnya membangun service fasilitas publik yang lebih luas khususnya kenyamanan lokasi publik baik untuk masyarakat bali ataupun manca negara, misalnya kawasan taman umum , jalan atau destinasi wisata yang dilengkapi dengan fasilitas yang lebih mengedepankan heritage baik infrastruktur maupun makanan khas misalanya, dan lain sebagainya. Sehingga akan muncul kenyamanan dan hunian yang lebih lama bagi wisatawan baik domestik maupun manca negara , yang tentunya akan berimbas pada komersial pembelanjaan /purchasing yang lebih berkualitas.
Intinya adalah apa bedanya saya ke Bali jika infrastruktur baik hotel, fasilitas , kemacetan , shoping centre , makanan , sama dengan tempat saya tinggal di Surabaya atau Jakarta dan Kota Kota besar lainya….harapan saya berlibur di Bali adalah mendapatkan kenyamanan dan keunikan Bali , yang saya rasakan mulai berubah menjadi kota Metropolis ??? Khsususnya Kuta …Sudah saatnya Bali harus dipikirkan apakah akan dibangun tempat wisata atau metropolitan periode 10 atau 20 tahun mendatang? kalau menjadi metropolitan apa uniknya ke Bali? takutnya wisatawan bisa berubah destinasi ke Pulau yang lain atau negara yang lain..
dodo”s (just though ) http;//warnasatu.blogspot.com
Keren nih tulisannya, keep posting ya…
Sudah Coba Empat Tempat Makan Unik Di Bali
Klik http://goo.gl/ZGcfU