Masyarakat Bali ibarat kerumunan semut rangrang berbaris rapi yang tengah dinikmati ahli Zoologi.
Tahun 2011 ini genap sebelas tahun saya menjalankan penelitian mandiri dengan entitas “desa adat”. Selama proses itu saya memposisikan segenap pengalaman saya berinteraksi dalam sistem desa adat sebagai bahan kajian guna menjawab pertanyaan besar, “Bagaimana lembaga keadatan memperlakukan warganya dalam sebuah kehidupan sosialnya di Bali dan bagaimana respon tradisi Bali ketika berjumpa dengan modernitas?”
Januari 2000 saya memulai hidup berinteraksi penuh dalam desa adat, setelah sebelumnya menghabiskan waktu 6 tahun belajar di Yogyakarta.
Selama proses itu, saya tidak hanya “menceburkan” diri di desa adat saya di Gianyar, namun juga karena urusan pekerjaan saya berkesempatan bergelut dengan tema-tema desa adat secara intens. Saya menjadi pekerja sosial di sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM), menjadi peneliti lokal sebuah riset pemberdayaan masyarakat adat yang dilakukan sebuah LSM besar di Yogyakarta, dan bekerja sebagai wartawan yang kebetulan mengupas masalah adat dan budaya Bali. Jadi, klop! Ditambah dengan riset tesis master saya yang berlokasi di sebuah desa pegunungan Bali Tengah.
Singkat kata dalam sembilan tahun terakhir ini, hidup saya amat sangat lekat dengan tema-tema kedesa-adatan.
Tulisan singkat ini saya niatkan menjadi semacam catatan reflektif dari eksperimen riset partisipatif saya selama 9 tahun tersebut.
Ajaib
Saya akan mulai dengan sebuah cerita kecil yang saya alami dua tahun lalu di Denpasar. Pada pertengahan bulan September 2009 saya bertemu kembali dengan seorang kawan lama. Sebut saja namanya Adi. Adi dari Tabanan. Dia teman dekat saya sewaktu kuliah di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Hanya saja kami berbeda fakultas. Setamat kuliah Adi diterima menjadi dosen di almamaternya dan beroleh kesempatan menempuh studi S2 dan S3 di Australia.
Pertemuan kami di Denpasar itu terjadi karena Adi ada acara seminar ilmiah di Nusa Dua. Ia memang cerdas dan telah menulis dua buah buku. Padahal usianya lebih muda tiga tahun dari saya. Setelah ngobrol tentang banyak hal selama dua jam, saya mengangsurkan sebuah buku ilmiah populer tulisan saya yang baru terbit kepada Adi.
Ia, sebagaimana kebiasaannya, cukup surprise menerima buku itu. Ada satu kalimat menarik dilontarkan Adi ketika itu. Sampai saat ini, kata itu masih kuat terekam dalam benak saya, “Bli, kalau ada orang Bali menjadi dosen di luar Bali lalu menulis buku itu hal biasa. Namun, kalau ada orang Bali menjadi dosen terus bisa menulis sebuah buku, itu luar biasa.”
Adi lalu menjelaskan maksudnya lebih detil. Luar biasa karena kita sama-sama tahu kesibukan sosial di Bali begitu tinggi. Terlebih di Gianyar. Hampir tak ada hari tanpa suara kulkul dan mebat. “Jadi cukup ajaib bila di tengah kesibukan begitu padat Bli bisa membuat sebuah mahakarya seperti buku ini,” Adi mengakhiri penjelasannya dengan menjabat tangan saya memberi selamat.
Saya tertegun cukup lama setelah kalimat Adi berlalu. Bahkan berhari-hari setelah itu lontaran kandidat doktor Australia itu masih mengganggu dan menggelisahkan saya.
Ada dua makna penting yang bisa saya tangkap dari lontaran Adi itu. Pertama, sistem sosial di Bali, dalam hal ini kehidupan desa adat, dianggap membelenggu proses intelektual kreatif seseorang yang berprofesi di jalur olah intelektual (dosen, guru, jurnalis, peneliti, dll). Begitu padatnya kesibukan sosial keadatan telah menciptakan suasana di mana kreativitas seseorang terpasung karena tidak bisa melakukan proses kreatifnya secara maksimal.
Kedua, apabila asumsi pertama tadi benar, maka akan terjadi hipotesis berikut ini. Generasi baru Bali yang ingin mengasah kemampuan kreativitasnya secara maksimal akan memilih bermukim di luar komunitas desa adat (di luar Bali, atau di Kota Denpasar). Sebab hanya dengan begitu ia akan bisa berkreativitas tanpa diganggu oleh kesibukan adat.
Given
Lantas pertanyaan berikutnya; bila hal ini benar-benar terjadi di lapangan maka tidakkah akan terjadi arus besar perginya orang-orang muda Bali berkualitas keluar dari desa adatnya demi sebuah alasan bernama kebebasan berkreativitas?
Saya belum sanggup meneruskan analisis saya terhadap hipotesis-hipotesis ini. Saya mencoba memverifikasi asumsi kawan saya Adi dengan kasus-kasus yang saya alami sendiri saat berinteraksi dalam desa adat maupun kasus-kasus yang saya dengar dari pengalaman kawan-kawan lain.
Kesibukan sosial keadatan di Bali, sebagaimana diketahui oleh banyak warga Bali, memang memiliki intensitas tinggi. Saya pernah menghitung, dalam siklus waktu enam bulan kalender Bali (210 hari) terdapat sekitar 70 hari (30 %) waktu saya tersita untuk mengikuti acara agama dan keadatan.
Acara agama-keadatan itu antara lain; ngayah persiapan piodalan di pura Kahyangan banjar, sangkep (musyawarah desa adat), persiapan dan pelaksanaan upacara rahinan di pemujaan keluarga dan sangah dadia (keluarga besar), ngoopin (membantu persiapan upacara warga yang akan mengadakan upacara tertentu), kundangan (menghadiri uapacara adat famili atau rekan sejawat di luar desa adat), dan kegiatan-kegiatan insidentil lainnya.
Ilustrasinya adalah demikian; pada saat saya sedang menyelesaikan sebuah materi Power Point untuk keperluan mengajar, dan tiba-tiba harus menghadiri acara ngoopin (metulung) ke rumah warga yang lainnya, maka saya harus menunda pekerjaan saya tersebut untuk kemudian dicarikan waktu luang berikutnya. Problem terjadi manakala saya kembali duduk di depan laptop pada malam harinya sepulang ngoopin, misalnya. Saya harus kembali menyesuaikan ‘gelombang pikiran’ agar mau tune-in pada gelombang siang harinya. Dalam bahasa awam kepenulisan mungkin familiar disebut moody.
Jadi, persoalannya bukan hanya pada waktu yang tersita untuk ngoopin. Yang lebih ribet adalah hilangnya mood karena harus beralih ke pola aktifitas lainnya, yang gelombangnya sama sekali berbeda. Ilustrasi saya ini mungkin bisa menjadi penguat hipotesis Adi, rekan saya.
Sebelumnya saya memandang kesibukan di desa adat sebagai kewajiban biasa yang bersifat given. Sudah demikian adanya. Tak perlu dipertanyakan lagi. Ini sikap standar yang juga dimiliki ribuan generasi baru Bali seangkatan saya. Begitulah kami merespon sesuatu yang telah dijalankan sejak lama, bahkan sejak lahir.
Selama ini, saya pribadi menjadikan berbagai acara sosial keadatan tersebut sebagai media untuk menjalin relasi sosial dengan warga adat lainnya. Setelah sibuk dengan berbagai aktivitas individual maka kegiatan di adat bisa menjadi ajang merekatkan kembali kohesi sosial; tempat di mana saya bisa saling bertukar cerita dengan teman-teman satu kampung. Menurut saya, sikap ini paling moderat yang bisa saya ambil, tinimbang, misalnya migrasi ke tempat lainnya yang memiliki intensitas keadatan lebih longgar.
Namun dalam kaca mata Adi, rekan saya yang dosen UGM itu, sesuatu yang telah lazim itu dikritisi ulang dan dilihat dari kaca mata berbeda (direkonstruksi). Sebagai orang Bali yang telah membuat jarak dengan Bali, Adi berkesempatan mengembangkan wawasannya terhadap tradisi Bali yang melahirkannya. Dan itu tentu sah-sah saja.
Bagi sebagian kalangan yang sangat membela tradisi, pandangan Adi mungkin ditangkap sebagai sikap yang arogan, tidak mau bersosialisai, dan menentang tradisi. Bagi mereka, tradisi desa adat merupakan sesuatu yang keramat, sehingga tidak memberi ruang dialog untuk perubahan. Padahal dalam perspektif lain, tradisi bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit. Ia adalah produk manusia yang hidup di bumi. Maka dia harus terus-menerus dikritisi sesuai dengan perkembangan zaman. Kecuali ia ingin ditinggalkan oleh penganut tradisi itu sendiri.
Semut Rangrang
Saya teringat lagi dengan sebuah metafora lain yang disampaikan Antropolog Gadjah Mada, Pande Made Kutanegara. Pande mengibaratkan masyarakat Bali kerumunan semut rangrang berbaris rapi yang tengah dinikmati ahli Zoologi. Sang ahli demikian terpesona dengan fenomena keteraturan barisan semut rangrang. Padahal, dalam dunia internalnya sendiri, masyarakat semut rangrang tersebut tengah berkonflik satu sama lainnya, merebutkan daerah otoritas dan pengaruh.
“Ahli Zoologi adalah para wisatawan yang terpesona dengan tradisi kehidupan manusia Bali, namun emoh menjadi manusia Bali yang sesungguhnya,” kata Pande.
Bali memang menyimpan sejuta paradoks. Di satu sisi ia dikagumi para pelancong dari seluruh dunia karena kekhasan tradisinya. Namun, pada sisi yang lain, tradisi yang telah diwarisi turun-temurun itu juga ditenggarai telah membelenggu kebebasan berkreativitas dari warganya sendiri dalam mengarungi kehidupan barunya. Dengan kata lain hingga detik ini Bali masih kikuk beradaptasi manakala bertatap muka dengan modernitas.
Dan saya kian masygul jika diminta berkomentar soal Bali dan tradisinya. [b]
aduh analogi semut rangrangnya bikin ngesottttt
kadang2 klo Aji saya ga sempat ngoopin dan saya ketahuan sedang agak sengang, sayalah yg dikirim pulang. hehehe….
-pemuda gianyar yg besar dan tinggal di denpasar-
Saya kira sebagai peneliti sosial harus bersyukur bisa hidup di bali, karena bali merupakan laboratorium dan tempat praktek terbaik untuk ilmu-ilmu sosial
sangat suka dengan kalimat ini –> ” …tradisi bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit. Ia adalah produk manusia yang hidup di bumi. Maka dia harus terus-menerus dikritisi sesuai dengan perkembangan zaman. Kecuali ia ingin ditinggalkan oleh penganut tradisi itu sendiri…”
apa yang dirasakan adi dirasakan sebagian saudara kita yang ada diluar bali.yang bisa menjelaskan tentunya yanglangsung terlibat dan merasakan kehangatan nurani ditengah kegalauan ancaman individual dan derasnya globalisasi.
“Masyarakat Bali ibarat kerumunan semut rangrang berbaris rapi yang tengah dinikmati ahli Zoologi” (saya suka skali kalimat ini. mantap tulisannya bli)
bli, isi dari tulisan ini sebenarnya juga sudah dikeluhkan banyak warga (baca orang bali), terutama oleh generasi mudanya. tapi di satu sisi hal yang dikeluhkan ini menyangkut soal ‘rasa’. apalagi ada sanski adat yang namanya kasepekang itu. orang mati di bali pun kadang jadi suatu hal yang ruwet dan bikin was-was.
tapi saya percaya ini hanya soal waktu saja. time will tell, kata bob marley. suatu saat akan ada penyesuaian-penyesuaian dalam masyarakat bali, didalam menjalankan adat dan tradisi itu, sesuai dengan perkembangan jaman.
Pengalaman Adi terjadi pada diri saya juga. Jujur, saat ini saya merasa berada di persimpangan jalan. Tahun depan saya pensiun dan sudah memutuskan untuk pulang kembali ke Bali. Tapi, saya ragu apakah saya akan bisa eksis sebagai diri saya yang saya inginkan. Maksudnya, bisakah saya hidup tanpa menjalani hidup orang lain (baca: didikte oleh aturan adat yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman).
adat, seperti juga agama, sebaiknya tidak menjadi dogma. dia harus mempermudah hidup manusia. bukan sebaliknya. poinnya, kita ambil yg enak2 saja. giliran tak enak kita tinggalkan saja. hehe..
beragam keluhan masy bali , ttg tatanan sosial n budaya , khususnya adat bali: memang tak terbantahkan lagi. Banyak masyakt dari desa yg urban ke Denpasar n sekitarnya, secara halus, menjauhi kekangan adat yang lumayan melilit di desanya masing2.
Belum lagi “ledakan ritual” yang menjadi bom waktu buat masyarakat Bali(hindu) saat ini. Generasi muda yg emooh untuk belajar buat banten, lebih asyik dengan kretivitas modernnya(kuliah, nongkrong, gooling, .
dll).
realitasnya memang seperti itu. ketika adat n budaya menjadi hal yg menakutkan, yang mengurangi jam terbang untk berkarya,maka alteranatif mudah pun di cari.
maaf, tak sedikit yang merasa “geli” dg hal tersebut,. Konversi (agama) pun menjadi pilihan bijak, demi menghindari kesibukan ritualisme adat ala Hindu Bali yg semakin kompleks, ironis!!!
trims, utk semua komentnya…Bali memang kerap hadir bak Pandora. penuh misteri, paradoksal, kadang menjadi elegia bagi penghuninya. para pengamat budaya boleh saja memberi puja-puji bagi Bali yg eksotis, guyub, sosialis. tapi cobalah menjadi manusia Bali seutuhnya seminggu saja, maka barulah mereka merasakan bagaimana sih sesungguhnya menjadi manusia Bali. dari atas ditekan, dari samping dihimpit, dari bawah disodok. Kita sbg generasi harus mulai memikirkan ini dgn serius, itu kalau kita mau keluar sebagai generasi pemenang. harus terus dicarikan harmoni antara tradisi dgn modernitas. mari didiskusikan …
membaca sepintas tentang makalah di atas,jujur saya sangat merindukan Bali apa lagi adat yang ada di Desa, saat ini saya sedang menjalankan studi di semarang tepatnya di salatiga . jujur hal atau adat yang pernah saya rasa di bali belum pernah saya temukan di sini.
saat ini saya berada di Yogyakarta menjalalankan Parktek magang di DPRD…keramahan mereka dalam memecahkan masalah saya sangat merindukan suara Bali yang pernah saya rasakan di Bali.
saya sudah merantau dan kost di jawa untu studi dari SMP sampai sekarang..bnener bener rindu akan bali yang ada di desa Adat
Bali Love u..
Jangan takut dan gelisah karena waktu yang akan menjawab. Tapi saya juga punya keyakinan bahwa sekuat apapun adat Bali, ia akan tunduk pada kuasa uang. Saat ini masih generasi lama yang memegang kendali, sehingga perubahan tidak bisa berlangsung cepat. Jika saatnya nanti tiba dimana generasi digital sudah memegang kendali, akan terjadi revolusi adat. Mungkin tidak dalam bentuk penghancuran, melainkan pada proses terbentuknya spesialisasi tanggungjawab dalam masyarakat adat. Ini merupakan dampak dari penggunaan rasionalitas yang lebih dominan. Sederhananya begini : akan tiba saat dimana terbentuk kelompok2 dalam masyarakat adat yang akan melakukan tugas adat secara profesional. Ada yang bertugas khusus mebat, ada yang khusus membuat tetaring, bahkan ada yang khusus membuat banten dan mengurus kepentingan pendeta hindu yang akan muput acara. Bahasa kerennya akan muncul Event Organizer yang melekat dalam masyarakat adat itu sendiri. Maksudnya orang-orang EO ini berasal dari lingkungan desa/banjar adat bersangkutan. Ini akan menjadi bisnis tersendiri yang juga berguna dalam membagi kue ekonomi. Sangat mungkin dalam struktur adat banjar dibentuk divisi EO, yang menjadi pelaksana yang dibayar dan diberi honor tertentu. Kalau mau bisa dibentuk koperasi agar tidak hanya yang kaya saja dilayani, tetapi yang miskin juga. Jadi yang mau kerja terus biar bisa kaya dan akan mensubsidi kepada mereka yang miskin. Selain itu adat bisa membantu mengatasi pengangguran dengan memberi pekerjaan menjadi EO penyelenggara upacara adat, mulai dari nyambutin, ngotonin, odalan di sanggah merajan sampai karya panca wali krama. Intinya kerja-kerja ngayah akan berubah menjadi kerja-kerja ekonomis. Ini akan menjadi titik keseimbangan antara kuasa adat dan agama dengan kuasa uang. Jika ini tidak terjadi maka adat di Bali akan habis. Ia harus mau bernegosiasi.
yang muda yang harusnya bisa bergerak membawa perubahan lebih baik kan? sayangnya seringkali semua masih hanya muncul di tataran tulisan dan diskusi semata. belum benar2 bisa muncul dalam wujud aksi. atau hanya ingin menunggu berubah jadi lebih baik. menunggu. yang belum tentu terjadi. paling tidak tulisan ini menambah satu lagi dari sekian banyak sepertinya suara gelisah anak muda, menatapi bali di masa depan nanti. ada baiiknya juga melihat film dokumenter jayanegara (sutradara film dokumenter asal bali yg sempat mendapat piala citra) tentang film dokumenternya yg mendokumentasikan dan mengkritisi bali.
Dokter Oka, kita yang muda ini saat ini mampunya memang masih menulis. mengapa kita tidak bisa melakukan perubahan?? Semua karena Kuasa saat ini masih sepenuhnya di pegang oleh orang-orang tua yang proses perkembangan pemikirannya dimasa lalu masih belum terpengaruh rasonalitas yang dominan dimana teknologi komunikasi yang ada masih terbatas. Paling hanya ada telepon, atau televisi.
Dalam pemikiran orang-orang yang menganggap teknologi sangat determinan, akselerasi perkembangan teknologi komunikasi juga akan merubah seluruh aspek kehidupan manusia. Analoginya begini : ketika mesin faks ditemukan, perlu waktu beberapa tahun untuk menemukan teknologi lainnya yang lebih canggih (perkembangannya lambat). Tetapi ketika teknologi digital dan microchip ditemukan, perkembangan teknologi komunikasi melesat sangat cepat. Terjadi percepatan yang luar biasa. FIlsuf-filsuf barat seperti Herbert Marcuse yang mengkritisi teknologi misalnya, melihat bahwa perkembangan teknologi itu memiliki dampak yang cukup kuat pada perubahan-perubahan sosial.
Intinya, jika nanti sudah sampai kuasa ditangan generasi kita-kita ini apalagi generasi dibawah kita atau kita sebut saja mereka sebagai “generasi digital”, maka akan terjadi perubahan yang sangat cepat pada adat di Bali. Rasionalitas akan “mematikan” banyak hal yang hanya didasarkan pada romantisme dan emosional, termasuk adat yang dianggap menghambat laju gerak manusia.
@bradda winata: jeg gregetan soalnya puk. hampir semua yang merasakan “ada sesuatu yg harus dilakukan buat Bali” ternyata masih perlu menunggu waktu buat sekedar “berbuat”. banyak sekali yang ahli di akademisi (sampai S3 dan Profesor), ahli di networking, ahli di marketing, bisnis, semuanya sering kali ketika pulang dan dihadapkan dengan semua ini, menjadi terkesan mundur lagi. apa kita perlu buat sebuah ‘gerakan perubahan” seperti jaman panasnya bali adnyana dan suryakanta dulu ya, kan perdebatan sengit seringkali memunculkan revolusi.
Orang Bali mempunyai sifat peramah, penurut, gotong royong, patuh kepada Gustinya/pimpinannya, sulit ditemukan di daerah lain. bila sifat-sifat ini diaplikasikan dengan perubahan dari kegiatan adat yang begitu padat menjadi kegiatan agama sesuai dengan Wedha yang simple, pasti deh orang bali yan Hindu itu menjadi luar biasa dalam meraih Jagadita dan Moksa.
pertanyaan berikutnya (mungkin untuk kelanjutan research nya)
1. Lalu harusnya seperti apa?
2. Dan bagai mana caranya?
Sangat menarik, saya dari kecil sampai kini memang sangat asyik dengan “kehidupan adat” di Bali saat inipun dipercaya untuk menjadi Bendesa Adat. Ada benarnya geliat desa adat menyita waktu terkadang sangat menyita waktu krama-nya, pengalaman saya, diperlukan manajemen waktu untuk mengantisipasinya. Kedepan diperlukan generasi muda dan pemikir muda untuk mencari solusi agar manusia Bali bisa tetap berkreativitas tanpa mengorbankan kewajibannya di Desa Adat, Desa Adat mestinya menjadi lebih moderat tanpa menghilangkan jati dirinya.
Tulisan ini sangat menenangkan kegelisahan saya sebagai generasi muda yang keteteran antara bekerja, keluarga dan adat…Dan perasaaan saya sangat miris melihat pendatang yang amat dimanjakan di Bali, namun sesama saudara sendiri amat kritis….Adat kita terkesan amat bersatu dan harmoni dari luar namun cobalah menginterview pangemong adat, saya yakin yang ada adalah keluhan-keluhan…Namun memang benar jika bicara dengan para tetua pastinya pola pikir mereka tida akan bisa ditawar, malahan yang ada yang muda dibilang mala dan generasi lembek, he he he…..tapi kita harus lebih cerdas atau kita akan terjerat oleh penikmat-penikmat itu….i will vote for the EO!!!!
saya termasuk salah satu orang yang merasakan betapa beratnya memikul beban adat di desa saya. saya bekerja dan tinggal di denpasar tetapi saya dihitung ber”adat penuh” tidak ada yg bisa dikompensasi pembayaran apalah namanya. dalam setahun tdk terasa dari odalan tetangga, telubulanan, melaspas merajan dan sebagainya mengharuskan saya bolos dari pekerjaan. secara fisik saya tidak kuat untuk bolak balik pulkam karena kita dituntut utk ngopin 1-2 hari malah kalau orang kaya yg punya gawe lebih dari 2 hari,tidak cukup datang di hari H saja. di pekerjaanpun saya tdk konsentrasi. dari ijazah, mohon maaf, saya memegang izasah S3 tapi ketika pulkam saya harus ikut pola pikir saudara2 di kampung karena pemikiran saya aneh buat mereka. ada banyak kegiatan mubazir yang membuat saya maupun suami sering merasa bingung menetukan pilihan. ngalih nyama tapi banyakan bengong di rumah orang, biar dikatakan tdk pelit tdk berani ngalih nyama. sekedr ngalih nyama. ngopin kadang2 cuma 1/2 hari karena pekerjaan sdh digarap yg empunya gawe. tdk ngopin jadi bahan gunjingan. saya dalam dilema. sia-sia saya bertahun2 sekolah akhirnya saya tdk bisa memanfaatkan izasah saya semestinya. saya hanya bisa mengelus dada ketika anak2 perempuan saya bilang tidak mau dapat jodoh orang bali, kalaupun hindu mereka ingin yg betul2 hindu dharma dan tidak tinggal di bali.
ketika ditanya oleh teman-teman (orang asing) mengenai adat istiadat dan agama di Bali, saya paling tidak bisa menjawab. Keduanya sangat kompleks. Saya setuju dng komentar mas Anton 😀
bicara adat bali tak akan ada ujungnya..saya setuju dgn pak winata adat kedepan akan lebih toleran dng andanya “komersil” utk kelompok2 tertentu shg smua berjln pada relnya…
Tentu saya sangat bangga, semakin banyak yang peduli dan cinta adat-istiadat dan budaya leluhurnya. Suatu bentuk kesadaran diri yang patut diapresiasi dan dibanggakan. saya pribadi menyambut gembira tulisan ini dan banyaknya komentar-komentar yang membanggakan. Namun, di sisi lain saya juga bersedih banyak juga yang larut dalam perjalanan individual materialistic. Inilah tantangan yang harus dihadapi.
Masalah adat-istiadat dan budaya dapat dilihat dari berbagai perspektif, tergantung pisau analisis yang hendak dipakai. Dalam konteks ini saya pernah menulis bahwa system pemerintahan desa adat di Bali, sudah sepatutnya menjadi landasan otonomi Bali, jadi pemerintahan daerah kabupaten/kota di Bali hendaknya dipandang dalam kesatuan budaya dan pulau, tidak terkotak dalam pemerintahan kabupaten dan kota. Ini penting guna membangun adat-istiadat dan budayanya menurut cara-cara dan jiwa masyarakat, mengakhiri dualisme desa dan tidak ada kesenjangan antara Bali Utara dan Bali Selatan atau mempercepat terwujudnya keseimbangan kesejahteraan masyarakat Bali.
Ini interpretasi saya teman. Orang Bali harus meyasa secara spesifik dalam arti Parhyangan dan Palemahan bukan Pawongan. Untuk urusan Pawongan dan Palemahan, kita bisa melakukan dimanapun termasuk di luar Bali. Namun untuk Parhyangan, ada aspek kekhususan yang melekat dan mengikat orang Bali dan keturunannya. Sebelumnya, saya harus ceritakan pengalaman saya, mengapa sy berpendapat demikian. Bukan common sense, namun pemaknaan dari pengalaman bertahun-tahun. Sejak tahun 2000, sy aktif menjadi panitia Pembangunan Petilisan Maha Rsi Markandeya di Gumuk Kancil, Jatim. Di antara tiga orang, sy termasuk beruntung karena ikut menjadi saksi sejarah dari penemuan lokasi, pembangunan, sampai perawatannya hingga sekarang. Candi itu kini sudah didatangi oleh ribuan pemedek dari pelosok nusantara. Sejarah beliau dan ajaran beliau, saya sedikit mendapat informasi lebih banyak daripada yang ada dibuku. Dlm prosesnya, banyak pengetahuan dan informasi dari alam gaib yang diberikan oleh mereka yang memiliki indra khusus. Tentu saja informasi itu harus diolah, dipahami, dan kemudian dijabarkan dengan sistem pengetahuan. Berbagai kemungkinan makna coba utk di ulas. Sejarah yang kita tahu adalah Rsi Markandeya datang ke Bali menanam Panca Datu di Pura yang kemudian menjadi Pura Besakih. Sejarah juga menyebutkan bahwa ribuan pengikut beliau tewas krn sakit dan binatang buas. Ini sejarah tertulis. Namun coba ini dikiritisi. Bagaimana mungkin ribuan orang bisa diserang binatang buas? Kalau satu dua orang bisa saja. Kalau ribuan orang, malah binantang buasnya yang menyingkir. Disebutkan pula, bahwa rombongan dari Ida Rsi terkena penyakit. Ini jg janggal Pengikut Ida Rsi itu tinggal di hutan di Gn Raung, Jatim. Hutan adalah keseharian. Mrk tahu obat-obatan di Hutan. Tidak mungkin sampi menimbulkan kematian ribuan orang. Apalagi dibawah tuntutan Ida Rsi yang sangat berpengetahuan. Penjelasan lainnya yang saya pegang sampai sekarang adalah Ida Rsi datang ke Bali pada abad ke-1 bukan abad ke-8 spt dalam buku sejarah. Ada prasasti yang menguatkan kedatangan Beliau di Abad ke-1. Bali masih hutan belantara. Yang ada hanya sedikit manusia yang nomaden. Penghuni Bali adalah penghuni Sapta Patala atau alam bawah seperti raksana, samar, tonyo, dedemit, gamang, gumatat, gumatat-gumitit, dsb. Pengikut Ida Rsi dibunuh oleh makluk-makluk ini. Peristiwanya terjadi di Puwakan. Orang Puwakan sy dengar tahu sejarah ini. Makluk2 ini tidak ingin Ida Rsi membuka peradaban manusia di Bali yang akan mengganggu kenteraman alam bawah. Singkat cerita, Ida Rsi kemudian membuat perjanjian dengan penghuni alam bawah bahwa mereka tidak akan disingkirkan dari alam Bali. Mereka akan dibuatkan tempat. Hutan kemudian dibuka dan dijadikan pemukan manusia. Setiap ruang, akan didirikan tugu untuk menghormati pendahulu yaitu penghuni alam bawah yang terlebih dulu ada di Bali. TErmasuk tugu yang ada di rumah masing2 sebenarnya bukan secara substansi berarti Satpam. Namun penghormatan pada mahkluk alam bawah. Itulah mengapa tugu karang itu dipagar dan terpish dengan stana para dewa. Krn memang alamnya berbeda. Mereka penghuni alam bawah juga akan dihormati dalam bentuk upacara Sad Kertih seperi wana kertih untuk menyeimbangkan hutan, tmsk di dalamnya menghormati keberadaan penghuni alam bawah yang terlebih dulu ada di Bali. Perjanjian Ida Rsi dengan Penghuni alam bahwa adalah setiap orang yang mendapat manfaat dari alam Bali dia wajib untuk meyasa (berdedikasi) terhadap keseimbangan alam Bali dalam arti hubungan dengan alam gaib (kosmik), baik alam bawah (para raksasa dan sebangsanya) maupun alam atas (alam para dewa). Itulah Orang Bali tidak akan ada yang berani untuk tidak mecaru secara periodik. Itu adalah Perjanjian Ida Rsi dengan alam bawah. Tanpa ada peran Ida Rsi Markandeya, Bali tetap akan angker dan tidak bisa dihuni oleh pemukiman manusia. Skrang masih angker, namun bs dihuni dengan aturan-aturan tertentu yang tidak boleh menyingkirkan penghuni alam bawah. Ini mengikat bagi orang Bali dan keturunnya. Itu lah mengapa dalam satu keluarga, walaupun banyak punya anak, namun salah satunya harus ada yang meyasa di Bali. Anak yang lainnya bisa saja merantau entah di mana, Tak masalah pindah agama sekalipun, yang minimal ada satu anaknya yang ada di Bali dan meyasa untuk keseimbangan tanah Bali. Keterikatan ini juga berlaku secara umum. Hotel-hotel di Bali, walaupun owner bukan orang Bali, siapa yang berani untuk tidak membangun setidaknya tugu? Tanpa itu, penghuni alam bawah akan ngamuk. Inilah yang membuat orang Bali terikat dengan aspek kesimbangan alam dari arti gaib yang spesifik terjadi di Bali. Tak bs disamakan dengan tempat lain. Untuk urusan Pawongan, bagi saya itu urusan transaksi sosial. Urusan norma-norma yang disepakati, tidak ada unsur kesakralan disitu yang secara spesifik mengikat secara gaib. Kalau kita bahagia dengan nguopin dan diuopin, lakukanlah. Kalau saya, kalau ada kerjaan yang perlu tenaga cuman 3 orang, sy hanya akan mengerahkan tiga orang. Tidak perlu ngundang banjar, tempekan, dsb. Untuk banten, saya akan beli. Krn transaksi putus. Setelah beli selesai. Beda dengan banten yang dibuat gotong royong. Itu transaksi nyambung. Kalau kita mendatangkan orang di banjar untuk nguopin, maka kita juga harus membayarnya dengan nguopin. Soal pilihan saja. Tidak ada konsekuensi keterikatan secara gaib. Bandingkan dengan Mecaru. Coba siapa orang Bali yang bangun rumah, yang berani untuk tidak pakai caru yang diperuntukkan untuk penghuni alam bawah? Efeknya immediate. Cepat dan langsung. Kalau kita tidak nguopin tetangga, paling2 jg tidak diuopin sm tetangga. Dan digosipin sebentar. Setalah itu selesai. Kalau kita sibuk dalam aktivitas yang tidak proporsional (kerjaan 3 orang dengan mendatangkan 100 orang), maka orang Bali akan susah untuk jadi profesional, krn harus bekerja untuk bayar utang nguopin pada ratusan orang yang pernah datang di gawean kita. Menjadi profesional dalam bahasa Agama Hindu adalah yadnya sepanjang ia memuliakan Tuhan melalui pekerjaannya dan mempesembahkan hasil dari pekerjaannya kepada Tuhan, tanpa terikat secara emosional dengan hasil pekerjaan. Itulah profesionalnya orang Bali semestinya. Bukan orang yang harus berhenti atau terhalang menjadi profesional hanya untuk mengikuti tradisi yang tidak proporsional (kerjaan 3 orang dengan mendatangkan 100 orang), hanya demi kesan nyama braya yang perlu kita pikirkan kembali. Apa betul nyama braya atau sekadar keramen (keramaian)?
Adi maksud anda I Made Andi Arsana, Ph.d bukan ya?
Hehe, penasaran saja
Ada yang bisa ngasi solusi??terkait permasalahan artikel diatas..
Sangat baik ulasan ini.. saya ijin share dengan penulis, dan mhn bantuan no hp atau alamat email..