Alaki angin wwang ri ngkana [orang-orang di sana bersuamikan angin]. Begitulah penjelasan seorang Pandita bernama Mpu Tapa Suta kepada Raja Utsawati.
Penjelasan itu diberikan oleh Pandita, karena sang Raja bertanya tentang situasi sebuah negara bernama Singha Langgyala yang konon semua penduduknya perempuan. Pertanyaannya sederhana, bagaimana cara mereka memiliki keturunan?
Itu pertanyaan, dijawab oleh Pandita dengan jawaban yang mencengangkan bagi saya sebagai pembaca. Tapi tampaknya tidak cukup membuat Raja Utsawati setercengang saya. Setidaknya tokoh ini tidak digambarkan bereaksi berlebihan mendengar kabar yang belum dibuktikan kebenarannya.
Mungkin saja pengarang secara tidak sadar memasukkan konvensi tradisi, bahwa kabar yang keluar dari mulut orang suci adalah kebenaran. Karena pemilik mulut adalah orang suci, dengan sendirinya mulutnya juga suci. Karena kabar itu keluar dari mulut yang suci, tentu kabar itu tidak kalah sucinya. Dengan begitu, raja Utsawati tidak perlu meragukan kebenaran yang keluar dari kesucian.
Belum ada babad yang menceritakan tentang kesucian yang lahir dari ketidaksucian. Pokoknya di dalam tradisi, kesucian selalu terlahir dari yang suci, begitu pula sebaliknya. Dengan berasumsi bahwa pengarang telah mengamini konvensi ini, maka jelaslah mengapa tokoh Raja Utsawati tidak bersikap kritis pada kabar itu. Kekritisan tidak boleh melampaui kesucian. Jika sikap kritis adalah senjata, maka kesucian adalah tameng. Tameng memang berfungsi melindungi. Kesucian adalah kebenaran. Titik.
Seluruh penduduk di Singha Langgyala hamil dengan cara yang sama, mereka ‘memakan’ angin selama tujuh bulan [mambayu hara pitung wulan]. Setelah itu, mereka melahirkan anak-anak perempuan. Memakan angin disebut mambayu hara, bayu hara atau bayu baksa. Praktik memakan angin diterangkan pula dalam teks Adi Parwa. Bedanya, dalam Adi Parwa praktik makan angin tidak mengakibatkan kehamilan dan dilakukan selama tiga puluh tahun oleh raja Yayati.
Praktik itu dilengkapi dengan mangeka pada, yaitu berdiri di atas satu kaki selama enam bulan. Hasil yang didapat dari yoga seketat itu adalah kematian dan surga.
Begitulah cara teks melegitimasi konsep-konsep yang dibangunnya sendiri. Salah satu konsep yang dibangun oleh teks Adi Parwa adalah karma phala. Tiap karma selalu mendapat ganjaran yang konon setimpal.
Konsep ini tidak memberikan celah pada kesedihan dan kebahagiaan untuk masuk terlalu dalam ke dalam hidup. Sasaran dari konsep ini adalah penguasaan pikiran agar tidak gampang bergejolak saat menghadapi suka-duka. Dengan kata lain, tidak bereaksi berlebihan saat mengalami kedua hal tadi.
Tingkat lanjut dari pengalaman suka duka adalah bersikap tidak berlebihan saat sakit dan menghadapi kematian. Entah kematian orang di sekitar, atau kematian diri sendiri. Ya, inilah efek domino yang dihasilkan dari satu konsep sederhana yang menjadi laku keseharian. Simpulan dari hal itu adalah menyiapkan kematian dengan cara yang benar.
Praktik ‘makan angin’ yang disebutkan dalam dua teks tadi – Singha Langgyala dan Adi Parwa – memberikan hasil yang berbeda. Singha Langgyala menyebut hasilnya adalah kelahiran, dengan kata lain kehidupan. Sedangkan Adi Parwa menyebut hasilnya ialah kematian. Apa yang menyebabkan perbedaan itu?
Pertama, kedua cerita tadi dibangun dengan ide yang berbeda. Perbedaan ide dimaksudkan untuk membangun struktur cerita.
Dengan begitu cerita dapat dialirkan dengan baik. Kedua, ‘makan angin’ dipraktikkan oleh dua tokoh yang berbeda dengan tujuan yang berbeda pula. Cara menjalaninya pun berbeda. Karena pelaku, tujuan dan cara menjalani berbeda, hasil yang didapat juga berbeda. Setidaknya itulah dugaan yang dapat diperoleh dengan bertumpu pada konsep karma phala tadi. Berbeda cara menjalani, menghasilkan hal yang berbeda. Singkatnya beda karma, maka beda phala.
Demikian cerita singkat tentang sebuah kerajaan bernama Singha Langgyala yang dihuni oleh penduduk perempuan. Mereka mandiri dengan caranya sendiri. Mereka perempuan-perempuan yang ‘dihamili angin’. Pemimpin kerajaan dengan kualitas penduduk sekaliber itu bernama Kama Rupini.
Kama berarti hasrat, keinginan. Rupini berarti wujud. Kama Rupini adalah pemimpin pemuja Buddha yang setia. Kama Rupini dalam mantra Puja Saraswati adalah nama lain dari Saraswati. Penguasa pengetahuan. Pengetahuanlah yang melahirkan kreativitas.