Dunia sihir Mollo dari Dicky Senda di UWRF 2017
Gempita Ubud Writers and Readers Festival 2017 telah berakhir pada penghujung bulan Oktober lalu, akan tetapi kesan dan pesan dari setiap momen yang dilewati masih tersisa hingga kini.
Salah satu yang cukup menarik perhatian khalayak ramai adalah kehadiran salah satu orang muda dari pedalaman Mollo, Timor Tengah Selatan pada festival penulis dan pembaca terbesar di Asia Tenggara itu.
Christian Dicky Senda atau biasa disapa dengan Dicky, lahir pada tahun 1986 di Mollo Utara, salah satu kecamatan yang termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Ia seorang penikmat sastra, film, dan kuliner.
Dicky telah menerbitkan beberapa buku, di antaranya puisi Cerah Hati (2011), kumpulan cerpen Kanuku Leon (2013) dan Hau Kamelin dan Tuan Kamlasi (2015). Dicky pernah hadir dan memperkenalkan karyanya di Makassar International Writers Festival (2013), Temu I Sastrawan NTT (2013), Asean Literary Festival (2014 dan 2016), Temu II Sastrawan NTT (2015), Festival Sastra Santarang (2015), Bienal Sastra Salihara (2015) dan Literature & Ideas Festival Salihara (2017). Pernah mengikuti program residensi seni dan lingkungan di Bumi Pemuda Rahayu Jogjakarta (2015) dan Asean-Japan Residency Program (2016).
Dicky cukup aktif bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora, Solidaritas Giovanni Paolo dan Forum SoE Peduli. Dicky kini menggagas kewirausahaan sosial bernama Lakoat Kujawas, sebuah proyek integrasi komunitas kesenian, perpustakaan, ruang kerja, dan homestay di desa Taiftob.
Hadir pada UWRF kali ini, Dicky mengisi empat program menarik di antaranya; Preserving Culture untuk memperkenalkan budaya dan tradisi orang Mollo bersama empat pembicara lainnya di Taman Baca, Ubud. Mempresentasikan Lakoat Kujawas pada Festival Club @Bar Luna. Mendemonstrasikan kemampuannya memasak aneka masakan khas Timor pada program The Kitchen-Food Memories from The Heart of Timor di Toko Toko.
Selain itu, Dicky meluncurkan buku kumpulan cerpen ketiganya berjudul “SAI RAI” di Sri Ratih Cottage pada tanggal 28 Oktober 2017 lalu. Peluncuran ini dihadiri oleh banyak pengunjung, baik itu penulis, pembaca maupun juga mereka yang terlanjur penasaran dengan isi buku yang mengangkat fiksi penyihir Mollo ini.
Sai Rai merupakan kumpulan 19 cerita pendek, berkisah tentang dunia sihir orang Mollo yang selama ini mendapat stigma. Sesungguhnya, orang-orang yang disebut penyihir atau Suanggi dalam bahasa setempat adalah orang-orang yang sama seperti masyarakat kebanyakan (di Bali terkenal sebutan “Leak”). Mereka hanya kebetulan memiliki kemampuan tertentu yang membuat mereka terlihat berbeda. Menurutnya ini harus diangkat dan menjadi bahan untuk didiskusikan terutama kaum muda yang selama ini telah hanyut dalam pemahaman keliru.
Bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur pada umumnya, Suanggi adalah orang-orang yang selalu memberikan energi negatif, mereka pasti orang yang membunuh dan hal buruk lain disematkan. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, Dicky menemukan bahwa di Mollo ada jenis-jenis penyihir adalah orang-orang baik. Mereka menolong dan menyelamatkan manusia, seperti dukun. Terkadang mereka juga meramalkan nasib kehidupan, baik itu kehidupan manusia maupun juga lingkungan sekitar. Mereka hadir sebagai pengantara spiritual yang menjaga keseimbangan alam dan manusia.
Alex Jebadu dalam bukunya berjudul Bukan Berhala menuliskan, pengantara spiritual berperan sebagai penyembuh ulung dan peramal yang sanggup melihat apa yang terjadi di masa datang dan membaca titipan pesan dari dunia seberang, menyingkapkan pengetahuan mulia dengan kekuatan gaib. Ia juga berperan sebagai pelindung bagi semua anggota masyarakat yang datang kepadanya. Ia merupakan semacam roh pelindung karena ia diyakini berada dalam persekutuan dengan roh-roh dunia. Ia dipandang sebagai yang Ilahi dalam rupa manusia.
Raja-raja dan kaisar-kaisar diyakini sebagai dewa-dewi dalam rupa manusia-mahluk adikodrati. Mereka merupakan pengantara rakyat dengan dunia roh-roh. Dan peran ini telah ada jauh lebih dahulu dari pahlawan yang mengandalkan kekuatan fisik atau pemerintah politis. Praktik keagamaan ini masih terpelihara bentuk aslinya di dalam sejumlah masyarakat tradisional Afrika dan Melanesia. Pengantar spiritual dianggap sebagai mahluk transenden yang mulia, sebuah saluran komunikasi bagi para dewa dan roh-roh untuk berkomunikasi dengan manusia.
Setelah kaum misionaris Katolik masuk dan Kristenisasi terjadi di daratan Pulau Timor, orang-orang yang dipercaya sebagai pengantara spiritual ini justru dipandang sebagai orang yang buruk, yang tidak menjalankan hidup sesuai dengan perintah dan menjauhi larangan Tuhan seperti yang dituliskan di dalam kitab suci.
Belum lagi, isu politik yang berkembang dan mengharuskan warga Indonesia memeluk salah satu agama yang diakui Negara. Sehingga mau tidak mau, pilihan terbaik untuk bertahan hidup adalah meninggalkan semuanya atau siap dibumihanguskan.
Dicky meyakini bahwa kehadiran para penyihir (Suanggi) atau pengantara spiritual ini telah membuat suatu komunitas/kebudayaan berjalan dengan sangat harmonis. Ia menyebut saat ini adalah sebaliknya, kita malah semakin meninggalkan hal tersebut. Kita berjalan sangat mundur dan dengan bangganya kita mengklaim diri bahwa kita adalah manusia-manusia modern.
Manusia modern sesungguhnya adalah mereka yang selalu memikirkan tentang keberlangsungan alam semesta ini. Menyiapkan tempat yang layak untuk dihuni anak cucu, generasi kita berpuluh-puluh tahun mendatang.
Bagi Dicky, penting untuk menulis hal tersebut dan diketahui banyak orang. Oleh karena itu, sebagai anak muda Mollo, ia merasa memiliki tanggung jawab sosial untuk mengembalikan semua pada tempat yang seharusnya.
“Jangan sampai kita terpengaruh oleh stigma yang telah dibentuk oleh kelompok tertentu dan meninggalkan semuanya karena merasa itu adalah pilihan terbaik. Kita akan sangat rugi besar,” Ungkap Dicky
Mengapa orang Mollo sangat hebat dengan dongeng atau cerita-cerita rakyat yang berkembang di tengah masyarakat? Karena kecintaan dan keterikatan mereka kepada alam yang begitu kuat. Hal-hal seperti itu yang sudah mulai dilupakan oleh generasi-generasi yang akan melanjutkan kehidupan orang Mollo, mungkin juga ini terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia termasuk di Nusa Tenggara Timur.
Berbicara tentang kekuatan orang Mollo akan dongeng yang tersebar di antara masyarakat, tidak terlepas dari mitos. Seorang pemikir strukturalis berkebangsaan Perancis, Roland Barthes yang getol mempraktikan model linguistic dan semiology Saussurean mengungkapkan Mitos lahir dari pengalaman kultural dan personal seseorang yang dibentuk sebagai makna konotasi yang kemudian berkembang kembali menjadi makna denotasi atau makna sebenarnya/harfiah.
Salah satu yang bisa menjadi gambaran atau contoh, masih diambil dari salah satu cerpen Dicky Senda berjudul “Kanuku Leon.” Ada sebuah kalimat yang berbunyi; Kenyataan tentang sebuah gunung purba di Timor yang konon menjadi tempat bersemadi seorang raja bernama Fatuneno yang sering berganti rupa menjadi manusia dan seekor ayam jantan sakti. Karena kesaktiannya, ia mampu menikahi matahari dan lahirlah anak-anak dari matahari; si sulung Penguasa Negeri Timur, berikutnya Penguasa Mataair, dan si bungsu Penguasa Gunung Emas. Dengan persetujuan raja langit, raja bumi dan segenap alam semesta, mereka bertiga tumbuh menjadi tiga lelaki berjiwa ksatria.
Secara denotasi, kalimat tersebut hanya menceritakan tentang sebuah gunung purba, seorang Raja yang bisa berganti rupa menjadi manusia dan seekor ayam jantan dan Sang Raja yang menikahi Matahari. Akan tetapi seturut makna konotasi, bagi orang Mollo, Gunung merupakan simbol tempat berlindung bagi masyarakat zaman purba. Tempat di mana sumber rasa aman dan kekuatan. Raja Fatuneno melambangkan seorang pencipta yang mahakuasa dan pemurah serta dapat menjelma dalam banyak rupa, mampu mengendalikan matahari dan alam semesta. Demikianlah mitos berkembang dalam bentuk dongeng di tengah kehidupan masyarakat Mollo, menjadi sebuah kontrol sosial yang mendatangkan keseimbangan dalam keberlangsungan hidup manusia dan alam semesta secara turun temurun.
Dicky berharap, cerita-cerita yang telah ia tulis mendapat tempat di hati dan pikiran para generasi muda, khususnya di NTT. Agar isu-isu seperti ini menjadi akrab di telinga dan masuk ke dalam ruang-ruang diskusi sehingga suatu waktu dapat menjadi pertimbangan oleh pihak tertentu, seperti pemerintah dalam menentukan kebijakan yang mendukung kehidupan masyarakat NTT itu sendiri.
Tentu saja setiap orang bisa memakai caranya untuk kembali ke lingkungan mereka, ke kampung halaman masing-masing. Dicky telah membukanya dengan jalan sastra, teman-teman seniman yang lain atau akademisi mungkin bisa melakukannya dengan caranya sendiri.
Sebuah pesan yang ingin Dicky sampaikan bahwa, “penting bagi orang muda di Indonesia dan NTT khususnya untuk mulai sadar dengan situasi lingkungan di sekelilingnya. Kesadaran tentang, “siapa saya?”
Dalam hal ini, kita berbicara tentang identitas. Roh kita, ke mana saja kita pergi, identitas itu harus selalu dibawa. Sebagai anak muda NTT, kita tidak seharusnya malu dengan kebudayaan kita sendiri.
Pada akhirnya, SAI RAI adalah tentang bagaimana kita memilih jalan pulang untuk kembali ke dalam pelukan ibu semesta. Menemukan siapa kita sesungguhnya dan memaknai itu di sepanjang hidup kita. Sudahkah kamu membacanya?
Suku mollo, suanggi, bung senda ini bagus sekali bisa membawa kita ke dunia suku mollo.
Timor juga unik alamnya. Tempat cendana menghambur wangi. Tempat sesando berkumandang merdu.
Bumi suku mollo, suanggi (shaman) dan bung senda (born story teller).
What’s next and all the best.