Meski Oktober, bulan bahasa Indonesia telah berlalu, saya masih terusik menulis topik tentang kemampuan Bahasa Indonesia anak-anak kita.
Tema ini penting di saat sekolah-sekolah dan orang tua berlomba-lomba mengenalkan bahasa asing sejak kecil. Tengoklah apa yang terjadi pada Ujian Nasional tahun 2010. “Rata-rata nilai yang jeblok di pelajaran Bahasa Indonesia. Untuk SMA tingkat kelulusan terendah ada di Buleleng, dan tertinggi di Bangli,” kata I Wayan Suasta, Kepala Dinas Pendidikan dan Olahraga Provinsi Bali pada VIVANews.com.
Sungguh memprihatinkan. Bahasa Indonesia yang diyakini bahasa ibu para siswa peserta ujian, ternyata malah membuat mereka terhambat untuk lulus SMA. Sebenarnya apa yang terjadi?
Kalau kita sempat menengok materi Ujian Nasional Bahasa Indonesia, ada sejumlah bacaan di lembar ujian yang menuntut siswa memahaminya supaya mampu menjawab. Bisa narasi, bisa deskripsi, eksposisi maupun puisi. Siswa mungkin mampu dan lancar membacanya, namun belum tentu mampu memahaminya.
Kelancaran membaca dan menulis, memang menjadi tuntutan bagi seorang anak sejak memasuki sekolah dasar. Tidak lancar sama dengan aib, belum bisa apa lagi. Bisa-bisa anak dipertanyakan masalah psikologis maupun kecerdasannya.
Hingga tak heran, rekan-rekan guru di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) berlomba-lomba memasukkan kemampuan membaca dan menulis dalam kurikulum, bahkan sejak TK A atau TK kecil, yang berarti usia 4 tahun.
Namun kenyataan bicara lain. Wali kelas anak saya, sebut saja namanya Bu Pande baru saja mengeluh kemarin. Saat mengajar Bahasa Indonesia, ia memberikan instruksi sederhana. “Anak-anak, jawablah soal di papan tulis dengan menyalinnya di catatanmu. Ingat ya…jawabannya saja, soalnya tidak usah ditulis!” Semua anak segera menulis.
Namun, beberapa menit kemudian, saat ia menghampiri seorang anak, sontak ia berteriak, ”Lho mengapa kamu tulis semuanya. Saya hanya menyuruh menulis jawabannya.” Ternyata tidak hanya anak tersebut yang melakukan hal itu. Beberapa anak lain juga demikian. Segeralah mereka membenarkan pekerjaannya, dengan menghapus apa yang ditulis.
Ia berkeluh kesah lagi kepada saya, ”Tidak hanya itu, bu.Waktu ulangan kemarin, ada satu romawi yang terlewatkan karena mereka tidak membacanya sebagai instruksi untuk tugas selanjutnya. Saya tidak mengerti kesalahannya di mana, padahal mereka lancar membaca.”
”Mungkin mereka tidak terbiasa memahami instruksi atau petunjuk. Jadi dibaca saja, tidak dipahami maksud dan tujuannya,” jawab saya.
Ia pun menangguk-angguk membenarkan.
Saya jadi penasaran dengan apa yang tertulis di standar kompetensi Bahasa Indonesia untuk anak SD, yang sekarang bisa kita lihat dan unduh di internet melalui website Pusat Kurikulum. Ternyata kemampuan untuk memahami petunjuk baru mulai diajarkan di kelas tiga SD, kelas 4, dan seterusnya.
Saat kelas satu dan dua, yang diajarkan adalah mendengarkan petunjuk atau lebih dominan pada petunjuk lisan. Padahal sejak kelas satu, sudah ada LKS, banyak ulangan, dan ada ulangan umum bersama di mana pada pelaksanaannya banyak tertera petunjuk-petunjuk mengerjakan soal yang perlu untuk dibaca dan dipahami maksudnya.
Bisa dibayangkan saat seorang anak masuk SD, ke’buta’an untuk membaca dan memahami petunjuk akan membuatnya tidak paham saat mengerjakan soal, baik latihan, PR dan ulangan. Bisa saja ia pintar dan tahu jawaban dari pertanyaan tersebut namun hanya bila kita reka ulang pertanyaannya seperti ke pertanyaan lisan.
Dan, bila hal ini terus menerus berlangsung, bukankah bak batu sandungan pada jenjang pendidikan berikutnya.
Nah, kalau sudah begini, mari kita sama-sama mengevaluasi. Apakah lancar membaca dan menulis saja telah menjamin anak Anda mulus menjalani proses pembelajarannya di sekolah, terutama Sekolah Dasar? [b]