Putu Fajar Arcana tak hanya sebagai jurnalis.
Jurnalis Kompas ini juga produktif mencipta puisi, cerpen, novel, bahkan naskah monolog teater. Bentara Budaya Bali (BBB) kali ini akan membahas buku kumpulan cerpen terkini Putu Fajar Arcana bertajuk ‘Drupadi’ (2015).
Pembahasan akan dilaksanakan pada Senin (11/7) pukul 19.00 di Jl. Prof. Ida Bagus Mantra No.88A, Ketewel.
Acara Dialog Sastra #51 ini juga sebuah perayaan kreatif, ditandai dengan pertunjukan alihkreasi cerpen oleh teater Bumi arahan Abu Bakar dan pembacaan karya yang berangkat buku Drupadi (2015). Selain itu, akan ditampilkan pula tayangan dokumenter.
Budayawan Wayan Westa secara mendalam juga akan berbagi pandang perihal karya-karya dalam kumpulan ini. Tidak hanya membincangkan capaian estetik, melainkan menelaah juga persoalan sosial kultural latar cerita-cerita pendek tersebut.
Drupadi adalah buku kedelapan Putu Fajar Arcana, terbit tahun 2015 oleh Penerbit Buku Kompas. Buku tunggal pertama terbit tahun 1997 berupa kumpulan puisi Bilik Cahaya, disusul kumpulan cerpen Bunga Jepun (2002) dan Samsara (2005).
Ia mengumpulkan esai-esai kritisnya tentang Bali dalam Surat Merah untuk Bali (2007). Menerbitkan novel Gandamayu (2012), antologi puisi Manusia Gilimanuk (2012) yang memperoleh penghargaan Pataka Widya Karya dari Pemerintah Provinsi Bali. Kisah-kisah tentang perilaku korupsi terangkum dalam buku naskah teater Monolog Politik (2014).
Budi Darma menyatakan kumpulan cerpen ini memiliki keunggulan yaitu jarak estetis yang melatari tokoh-tokohnya. Narator ‘aku’ misalnya, tidak lain adalah pengarang sendiri, akan tetapi, berkat kemampuan menciptakan jarak estetis, terasalah bahwa narator ‘aku’ bukan diri pengarangnya sendiri melainkan orang lain yang betul-betul pernah ada.
Menurut Agus Noor, buku Drupadi adalah sebuah tamasya cerita, di mana khasanah sastra lama maupun sejarah tak hanya dikisahkan, tetapi ditafsir dan dihadirkan dengan kebaruan, hingga yang lampau muncul kembali dengan pukau dan keragaman tema yang kaya suasana.
Drupadi berisi dua kisah terpisah, tetapi saling berhubungan. Bagian pertama berisi kisah-kisah tragedi kemanusiaan tahun 1965 berdasarkan riset bertahun, cerminan semangat rekonsiliasi yang diprakarsai negara.
Bagian kedua menyusup pada ajaran karma dan reinkarnasi. Karma menjadi catatan ‘buku besar negeri langit’ yang dipercaya sebagai penyebab dari kehidupan manusia setelah mati dan dilahirkan kembali.
Fakta-Fiksi Dalam Cerita dan Berita
Selain agenda dialog sastra tentang kumpulan cerpen “Drupadi”, pada hari yang sama, Senin (11/7), pukul 15.00 hingga 17.00, Putu Fajar Arcana juga berkesempatan memberikan lokakarya jurnalistik kepada siswa SMA, mahasiswa dan umum dalam program Kelas Kreatif Bentara.
Pada lokakarya kali ini Putu Fajar Arcana akan membandingkan perbedaan pokok antara berita dan cerita (cerpen). Putu Fajar juga akan menyandingkan kesamaan proses dan penggunaan bahasa pada kedua ragam tulisan ini, berikut hal mendasar lainnya menyangkut teknik penulisan feature yang berbeda dengan reportase umumnya atau hard news.
Upaya membandingkan Fakta-Fiksi dalam cerita serta berita dalam lokakarya jurnalistik kali ini berangkat dari fenomena bahwa antara jurnalis maupun cerpenis sama-sama bahasa sebagai sarana menyampaikan informasi, ide atau pesan. Seorang jurnalis menulis berita sudah seharusnya berdasarkan fakta atau peristiwa nyata. Sedangkan cerpenis boleh menuturkan cerita rekaan yang bersifat fiksi.
Sungguhkah antara berita dan cerita (cerpen) sepenuhnya bertolak belakang, tak bertaut satu sama lain, terlebih dalam proses penulisannya? Di sisi lain kita mengenal feature atau berita berkisah, sebagai bagian dunia jurnalistik. Tidakkah feature adalah juga cerita, memerlukan kepiawaian bertutur sang wartawan untuk mengungkapkan fakta terdalam dari sebuah peristiwa?
Kelas Kreatif kali ini mengulas juga perihal penggunaan ragam bahasa yang persuasif dan memikat serta indah; sebagai bagian dari upaya menggugah keterlibatan emosi pembaca. Putu Fajar Arcana yang juga cerpenis akan mengurai pula proses cipta sebuah cerpen, tidak jarang berangkat dari hal-hal yang faktual atau nyata, serta mengelaborasi tema-tema yang kontekstual dengan masalah sosial sehari-hari. Dengan kata lain, kedua ragam tulisan ini, boleh jadi berangkat dari satu peristiwa atau latar kejadian yang sama.
Kegiatan ini merupakan kelanjutan Kelas Kreatif Bentara yang pada bulan Mei 2016 lalu sempat menghadirkan wartawan senior Kompas, Maria Hartiningsih. Kelas Kreatif ini dirancang berupa lokakarya atau pembekalan yang meliputi; pengenalan mendasar terkait jurnalistik, fotografi, film, penulisan kreatif dan kuratorial, diprogramkan berlangsung secara berkelanjutan dan berkala setiap bulannya.
Sebelum memutuskan menjadi wartawan dengan bergabung di Harian Nusa Tenggara (1989-1990), Dwi Mingguan Ekbis (1991-1992), Majalah Berita Mingguan Tempo (1992-1994) dan Harian Kompas (1994-sekarang), Putu Fajar Arcana kuliah di jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Perjalanan jurnalistiknya mencapai kota-kota dunia seperti Athena (2003), Paris (2003/2007), Brussel (2007), Kohln (2007), Luxemburg (2007), Singapura (2003/2004/2007), dan Bangkok (2004), serta belakangan Rusia, India dan Cannes.
Ia telah menulis kumpulan cerpen Bunga Jepun (2003), Samsara (2005), dan kumpulan esai Surat Merah Untuk Bali (2007). Menerbitkan novel Gandamayu (2012), antologi puisi Manusia Gilimanuk (2012) yang memperoleh penghargaan Pataka Widya Karya dari Pemerintah Provinsi Bali, buku naskah teater Monolog Politik (2014) dan kumpulan cerpen Drupadi (2015). Karya-karya esai, puisi dan prosanya juga diterbitkan dalam berbagai buku antologi. [b]