Tiada angin tiada hujan, ibu mendadak bertanya apa itu UU Cipta Kerja.
Mungkin dengan asumsi anaknya seorang yang berpendidikan. Dia berharap dapat menemukan jawaban dari ramainya pemberitaan UU Cipta kerja yang sedang riuh dibicarakan di televisi. Makan malam sederhana itu pun berubah menjadi diskusi berat.
Saya yang ditanya dengan pertanyaan sulit tersebut menjawab pura-pura tidak mendengar. Saya menanyakan balik apakah ibu benar-benar menanyakan pertanyaan sulit tersebut. “Apa itu cipta kerja?” dia mengulang pertanyaannya.
Sebagai satu-satunya, setidaknya hingga saat ini, yang mengenyam pendidikan tinggi di dalam keluarga saya terdiam lama. Saya mencoba untuk berpikir bagaimana cara menjawab pertanyaan tidak terduga tersebut. Mengingat tentu ekspektasinya tinggi terhadap anak bujangnya yang sudah melanjutkan pendidikan tinggi dan sedang didorong untuk cepat-cepat wisuda ini.
Dengan sangat hati-hati dan sediplomatis mungkin saya menjelaskan. “Jadi itu, UU Ciptaker atau Omnibus Law atau Undang-undang sapu jagat adalah undang-undang yang ditujukan untuk memangkas kewenangan UU di bawahnya…,” saya berhenti dan merasa menyesal sudah menjelaskan apa itu Omnibus Law dengan seburuk itu.
Lamunan saya terbayarkan dengan pertanyaan lanjutan yang mungkin berhari-hari dia tidak temukan jawabannya.
“Ciptaker itu apa?”
Ayah yang dari tadi sibuk menghabiskan rokoknya kini mulai tertarik mendengarkan. Saya lalu menjawab, “Yaa itu sama aja. Omnibus Law mungkin nama jenis undang-undangnya, mengingat ini buka undang-undang biasa. Sementara itu, Ciptaker atau Cipta Kerja adalah nama undang-undangnya. Jadi, menurut pemerintah, UU ini bisa mengakselerasi penciptaan lapangan kerja. Nah, akan tetapi buruh dan mahasiswa tidak setuju dengan pendapat pemerintah. Pada akhirnya mereka demo dan menyuarakan aspirasinya untuk menolak UU ini.”
“Jadi, kita tidak akan mengalami krisis moneter kan seperti 98?”
Mendengar pertanyaan tersebut, saya benar-benar merasa gagal menjelaskan apa itu Omnibus Law dan merasa gagal untuk dikuliahkan sejauh ini.
Dengan segala upaya sayaberhasil meredam ketakutan ibu mengenai ide krisis moneter dan mungkin masih mempunyai rasa percaya kepada anaknya bahwa selama 4 tahun ini dia memang benar-benar belajar. Malam itu pun ditutup dengan pertanyaan yang sudah beberapa kali dia tanyakan dan saya jawab, “Nak, kapan wisuda?”
Memang benar, beberapa bulan terakhir, Omnibus Law Cipta kerja begitu ramai diperbincangkan. Baik yang pro atau yang kontra. Bisingnya pembicaraan mengenai UU ini juga sangat melelahkan. Apalagi melihat mesin-mesin propaganda pemerintah juga begitu militan menyebarluaskan apa yang mereka anggap sebagai sisi-sisi positif dari UU kontroversial ini.
Sementara itu, dari pihak yang kontra terhadap UU ini juga tidak kalah gencar menjelaskan dampak-dampak yang akan terjadi jika pemerintah mengesahkan peraturan sapu jagat ini. Mahasiswa, organisasi buruh, aktivis lingkungan, para akademisi yang tidak setuju membuat berbagai analisis mendalam dan ditampilkan dalam infografis dan poster untuk lebih mudah memahami bagaimana UU ini bisa mencelakakan publik dimasa yang akan datang.
Pada akhirnya, pemerintah mendapatkan apa yang mereka mau. Absennya oposisi yang seharusnya membuat kontra narasi dalam pembentukan UU ini juga mengakibatkan pemerintah seperti kudatuli yang gila dalam membuat peraturan. Media-media arus utama yang seharusnya menjadi watch-dog demokrasi juga cenderung dimiliki oleh politisi-politisi yang ikut dalam penyusunan UU ini.
RUU ini juga sudah ditandatangani oleh presiden, dan sudah resmi menjadi UU. Meskipun berbagai penolakan dan kejanggalan dalam proses penyusunan UU ini, pemerintah tetap bersikukuh mengatakan melalui jubir dan perangkat-perangkat pemerintahannya bahwa UU ini akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat.
Entahlah masyarakat mana yang pemerintah maksud, tetapi semoga saja bukan segelintir orang atau para oligarki dan kroni-kroninya. Semoga saja! [b]