Oleh Gede Manik Sukadana
zzz…
(suara air dituangkan)
Suatu ketika, ada kesepakatan untuk minum kopi tidak ditambah gula. Banyak yang mengejek, “Itulah akibat dari hidup yang dah terlalu manis. Hingga kopi pun akan terasa manis. Hahaha….” Dapat diungkapkan candaan-candaan seperti itu.
Namun, entah mengapa tidak pernah saya tanggap hiburan itu secara “benar” dan baik”. Setelah berminggu-minggu hingga berbulan-bulan baru saya mampu menanggapinya, walau masih dalam angan. Gagal tanggap respon, selow respon.
Waduh maaf, kok jadi ngelantur. Padahal sebenarnya saya ingin menceritakan tentang “kelanaan” pada tahun 2017 dan apa yang mesti dilakukan pada tahun 2018. Tetapi entah mengapa, tiba-tiba pikiran yang terlintas ialah kopi hitam tanpa gula tadi.
Ada pikiran lain, yang muncul selain yang sebelum ini. Pikiran terhadap seorang guru waktu SMA yang pertama kali mengenalkan sastra, teater, serta secara tidak langsung dengan desain, musik, film, dan animasi 3D kepada saya. Bukan bermaksud bernostalgia, melainkan ingatan itu melemparkan saya ke awal, pada titik nol; kembali bercangkang.
Ia “mengajak” saya masuk di salah satu jurusan; di salah satu kampus. Ia berjanji akan membantu keperluan masuk ke sana. Namun bersama nasib, ia pergi ke selatan. Akhirnya mesti menjalani sendiri. Hingga sebelum 2018, masih ada kesal itu. Kesal kepada pengarah yang menunjukkan jalan kecil tanpa membimbing.
Pintu masuk itu akhirnya saya lalui hingga kini.
Banyak hal terjadi begitu saja tanpa permisi sejak itu. Dalam empat tahun “berkelana”, banyak ketidakfokusan diri. Seperti “anak-anak ke tempat bermain” (penggunaan ungkapan ini saya adaptasi dari ungkapan dalam video channel Blender Guru oleh Andrew Price yang berjudul Advice for beginner artists today).
Ke sana – ke sini, ke mana-mana tanpa pendirian yang tetap. Berkunjung ke berbagai “tempat singgah” tanpa fokus yang jelas.
Pada akhirnya, diri merasa berjalan-di-tempat. Saya rasa ketidakfokusan diri itu disebabkan oleh terlalu banyaknya hal yang ingin “dikuasai”. Ini adalah penyakit tentu saja. Penyakit yang mengajak saya mengikuti perjalanan hingga kembali ke titik keadaan merasa tidak mempelajari apa-apa awal. Ke titik nol. Bercangkang.
Mestinya mencari arah pintu keluar sendiri!
Meski sudah terlambat, baru saya sadari bahwa pembimbing tidak akan selamanya mengarahkan seorang murid hingga ringkih renta. Tidak! Mungkin itu pelajaran terakhir seorang guru. Menemukan manis dalam kopi. Hanya dengan begitu, rasa manis dapat disentuh dengan lebih ramah, walau pada air bening sekalipun.
Begitulah kiranya dalam benak.
Tunggu dulu, tampaknya air dalam ricecooker sudah mendidih.
Saya mesti buat kopi.
…
Sampai di mana tadi? Oh ya, cerita ini bukanlah bentuk pengataan kesal sesal pada diri sendiri. Tidak! Bagi saya, apa yang terjadi sekarang adalah pertolongan dari pintu-pintu itu. Dapat dikhayalkan, jika misalnya saya tidak memilih itu, mungkin saja akan salah kamar. Saya bersyukur!
Rasa syukur yang sama juga kepada seorang teman yang mulai menggandrungi prosa. Ada keterkejutan terhadapnya, perubahan tiba-tiba. Sejak itu, muncullah perasaan ketertinggalan. Semua teman yang saya kenal sudah berlari, (terutama teman-teman di Teater Kalangan sendiri). Hanya saya sendiri masih jalan-di-tempat – hidup, bernapas tetapi tidak ke mana-mana.
Keterkejutan pun bertambah dengan menyadari bahwa keadaan, situasi, masalah-konflik di sekitar saya juga bergerak dengan cepat pula. Saya sadari keterdiam-bekuan selama ini. Sampailah pada simpul: mesti ada kelanaan yang menggairahkan!
Mau ditambah gula? Kalau aku, tidak. Kan sudah aku bilang tadi.
Nah sejak itu, secara tanpa disadari saya “menjadikan” teman-teman Teater Kalangan sebagai pembimbing terhadap hal-hal yang dasar. Bahkan paling terdasar sekalipun. Secara diam-diam dan tidak langsung. Secara tidak langsung membimbing bagaimana bertemu orang baru, menjaga hubungan, menemukan celah-peulang, bagaimana bertamu, merawat jemu, melempar amarah, meruangkan arah, membaca situasi, cara bergrak serta mesti dengan apa harus menambal apa yang hilang. Apa yang perlu saya siapkan?
Oh ya, saya teringat dengan kata seorang tokoh kartun. “Teruslah bernapas”, begitulah kata Jack Kahuna Laguna dalam salah satu episode serial TV SpongeBob SquarePants. Tapi sering saya anggap tanah itu bernapas, laut itu bernapas, begitu juga langit. Saya bayangkan bahwa bernafas membuat hal-hal baik dan buruk menjadi terkendali. Tidak hanya udara. Sesuai kadarnya.
Mulailah saya mencoba menyeimbangkan apapun dalam diri. Emosi, percakapan, pertemuan, perlakuan atau bahkan pengetahuan. Rencana “kelanaan” itu akhirnya mengharuskan saya mengontrol diri, masalah yang sangat purba. Sekarang, bagi saya, bernapas bukan sekadar kegiatan alamiah melainkan sebagai penyeimbang diri. Mengolah segala hal. Mesti ada yang diserap; mesti ada yang dilepas. Apapun itu.
Maka sejak itu, saya mulai “berkelana”.
Kau sudah mau pergi? Perlu diantar? Ow…
Terima kasih karena telah menemani saya minum kopi. Sampai Jumpa! [b]
Biodata Penulis
Gede Manik Sukadana. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Undiksha. Ia biasa mengerjakan segala kebutuhan multimedia Teater Kalangan seperti video teaser, mapping, dan dokumentasi pentas. Berteater sejak SMA di Teater Ilalang SMA Lab Undiksha. Pada tahun 2014/2015 menjadi Ketua Teater Kampus Seribu Jendela, Undiksha.
Selain berteater, ia aktif dalam bidang kepenulisan. Puisinya meraih juara harapan dalam ajang PEKSIMINAS (Pekan Seni Mahasiswa Nasional) 2014 dan termuat dalam antologi “Hadiah untuk Langit” Komunitas Mahima.Memperoleh juara harapan dalam lomba naskah drama tradisional Bali Mandara Nawanatya 2016.