Ada hubungan erat antara ketidakseimbangan dengan sikap anti-keberagaman.
Anggota DPR dari Bali Nyoman Dhamantra mengungkapkan sejumlah tantangan sekaligus jawaban terhadap masalah kebhinekaan dan keadilan baik di tingkat nasional maupun di Bali khususnya.
Bali harus meredam sejumlah tantangan, di tengah gejolak pluralisme kebangsaan dan keadilan, seperti terjadi di Pilkada Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Bukan larut dan terjebak di dalamnya.
Hal ini memerlukan peran serta segenap komponen Pulau Seribu Pura, melalui media termasuk media sosial seperti Facebook, Twitter dan sejenisnya.
Demikian ungkapan Nyoman Mardika, Ketua Forum Diskusi Peduli Bali (FDPB), mengawali diskusi dengan tema: “Posisi Bali dalam Gejolak Pluralisme Kebangsaan dan Keadilan Sosial Ekonomi”. Diskusi di Warung Kubu Kopi Denpasar tersebut menghadirkan Nyoman Dhamantra sebagai pembicara.
Dhamantra mengungkapkan bahwa akar persolan dari gejolak sosial yang mengancam kebhinekaan Indonesia akhir-akhir ini terkait ketidaksiapan publik ketika dipimpin kaum minoritas, seperti Ahok di DKI Jakarta.
Kita mungkin juga akan mengalami dilema yang sama, jika fenomena tersebut terjadi di Bali. Namun, menurut Dhamantra, jika kita cermati secara sesama, sepertinya berakar pada keadilan sosial ekonomi.
“Hal itu ditandai kemiskinan, ketimpangan sosial dan rendahnya produktivitas,” kata Dhamantra.
Untuk mengatasi dilema kebhinekaan dalam hubungan keadilan, Dhamantra mengutip teori Amartya Zen, melalui konsep kesetaraan (equality). Di mana upaya mengatasi kemiskinan, ketimpangan maka produktivitas, daya saing, dan inovasi Bali harus diformat dengan basis kesetaraan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA), bukan saling meniadakan.
“Berawal dari tantangan tersebut, maka saat memasuki politik praktis di tahun 2009, saya gunakan wacana ‘Berjuang Merebut Hak Bali’,” ujarnya.
Menurut Dhamantra, wacana tersebut satu visi atau pegangan untuk mendesain format baru kebijakan, mulai dari usulan revisi UU Provinsi Bali, Perimbangan Keuangan dan Dana Bagi Hasil, UU Perlindungan Masyarakat Adat, beserta turunanya di Bali, dalam memberdayakan sumber daya lokal (local content).
Ketimpangan
Menurut Dhamantra angka kemiskinan di Bali memang mengalami penurunan sejak sepuluh tahun terakhir. Namun, di saat bersamaan berkembang kesenjangaan, baik antara desa dengan kota, antar kabupaten/kota, ataupun antar masyarakaat asli dengan pendatang. Hal ini perlu diturunkan lebih dalam lagi.
“Untuk menurunkan tingkat kemiskinan hingga single digit, berikut kesenjangan yang kian melebar, diperlukan usaha ekstra keras, khususnya dalam mengelola urban, baik dari desa ke kota, antar provinsi ataupun antar negara,” katanya lebih lanjut.
Dhamantra menambahkan Bali memang maju, namun belum semua masyarakat menikmati kemajuan tersebut. “Bali memiliki tingkat ketimpangan yang cenderung meningkat, diukur dengan gini ratio. Apalagi ditambah “beban budaya” yang menjadi tanggung jawab krama Bali, sehingga kreativitas dan daya saing kian menurun,” ujarnya.
Perlu dicatat, gini ratio semakin tinggi, mendekati 1 persen. Hal tersebut menunjukkan absolut, tidak adil, karena berarti hanya 1 persen yang mengusai, sisanya hanya di titik nadir. Seharusnya semakin adil, maka gini ratio mendekati 0.
“Baru dalam satu tahun terakhir, gini rasio Indonesia membaik, ada di posisi 0,39 persen. Sehingga, untuk pemerintah Bali hari ini, dan yang akan datang harus menurunkannya. Dilakukan melalui berbagai paket kebijakan ekonomi, sosial dan budaya khusus, dimulai dari sektor pertanian, kerajinan, dan usaha produktif lainya,” tandasnya.
Menutup diskusi, Nyoman Mardika kembali mengajak segenap komponen Bali, khususnya kaum muda, untuk berjuang meningkatkan kreativitas dan produktifitas dalam mengatasi kemiskinan, kesenjangan dan daya saing masyarakat Bali. [b]