Area pertanian di Kabupaten Badung. Foto oleh: I Gusti Ayu Septiari
Apakah Anda masih ingat kasus Bali Nirwana Resort (BNR) pada tahun 90-an? Mari kita flashback sejenak. Dilansir dari jurnal “Makna Proses Kebijakan: Menyingkap Kontroversi Pembangunan Bali Nirwana Resort” oleh Universitas Gadjah Mada, Bali Nirwana Resort merupakan kompleks peristirahatan spektakuler bertaraf internasional yang berlokasi tidak jauh dari Tanah Lot. Sebelum diresmikan pada tahun 1997, proyek ini sempat mendapatkan perlawanan oleh masyarakat. Pasalnya, 135 KK harus rela digusur akibat pembangunan resort yang digadang-gadang dapat menampung 3500-4000 orang ini.
Selain itu, pemberian izin kepada investor jelas bermasalah secara regulasi. Sejak tahun 1988, berdasarkan SK Gubernur Bali Nomor 15 Tahun 1988 tentang kawasan wisata, ditetapkan bahwa pembangunan sarana pariwisata hanya diperbolehkan dalam jarak lebih dari radius 2,5 km dari tempat-tempat suci umat Hindu. Bertolak belakang dengan regulasi tersebut, BNR hanya berjarak 1 km dari Pura Tanah Lot.
Di luar kasus alih fungsi lahan BNR yang terjadi pada tahun 90-an, kasus ahli fungsi lahan telah mengakibatkan sekitar 2.000 hektare sawah lenyap di Bali. Dilansir dari detik.com, Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Bali menghimpun data alih fungsi lahan di wilayah Badung dan Denpasar sejak 2000-2020. Berdasarkan data tersebut, luas sawah yang tersisa pada 2020 hanya sekitar 3.000 hektare. Angka ini mengalami penurunan dari tahun 2000 yang kurang lebih 7.000 hektare.
Mantan Pekaseh di salah satu kawasan Subak Jatiluwih, Nyoman Sutama dalah salah satu Kelas Analisis Sosial BaleBengong membagi pengalaman sulitnya menjaga agar kawasan tertasering sawah indah di sana tetap terjaga. Tekanan investor sangat tinggi, walau sudah ditetapkan sebagai kawasan warisan budaya dunia.
Diawali dari kekhawatiran para aktivis terkait masifnya pembangunan di Bali yang mengabaikan lingkungan, Yayasan Wisnu tergerak untuk melakukan pengorganisasian masyarakat. Gerakan yang dilakukan oleh Yayasan Wisnu adalah untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai tata cara pemetaan wilayah dan potensi yang mereka miliki melalui pemetaan partisipatif. “Masyarakat sebenarnya mampu untuk melakukan, mengelola, dan memanfaatkan seoptimal mungkin apa yang mereka miliki, asal didampingi. Nah, karena itu kamu memulai gerakan ekowisata,” ungkap Denik Puriati dari Yayasan Wisnu ketika diwawancarai melalui Zoom pada Kamis, 12 September 2024.
Konsep ekowisata atau desa wisata ekologis yang diperkenalkan oleh Yayasan Wisnu adalah pariwisata berbasis masyarakat dan lingkungan. Artinya pengembangan pariwisata yang sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh masyarakat. Untuk mencapai hal ini masyarakat harus mulai mengenali diri mereka, termasuk wilayah mereka, potensi fisik yang ada di wilayahnya, aspek sosial budaya, hingga jumlah penduduk di wilayah tersebut. “Dari pemetaan terbangunlah sebuah dokumen perencanaan. Nah kalau sudah dibangun, kalau sudah ada data, sudah ada peta, terus mau diapakan ini, membangunlah mereka sebuah perencanaan strategis desa,” ujar Denik.
Lebih lanjut, Denik mengungkapkan Yayasan Wisnu mengadopsi konsep ‘due’ dalam konsep ekowisata, artinya kepariwisataan harus disesuaikan dengan apa yang kita miliki. Terdapat tiga konsep ‘due’ yang dikenalkan oleh Yayasan Wisnu, yaitu ‘napi duenang’, ‘ngiring duenang sareng-sareng’, dan ‘due tengetang’.
Konsep ‘napi duenang’ menyangkut tentang kepemilikan, yaitu untuk mengetahui apa yang dimiliki suatu wilayah. Untuk mengetahuinya, desa wajib melakukan pemetaan dan identifikasi terkait apa yang ada di desanya, siapa dirinya yang sesungguhnya, dan bagaimana mereka akan mengelola wilayahnya. Sementara itu, ‘ngiring duenang’ merupakan pengelolaan. Dalam istilah Bali, artinya apa yang ada di ruang lingkup desa itu tidak boleh dimiliki pribadi. Pengelolaan ekowisata diharapkan tidak dilakukan secara pribadi, tetapi desa bertanggung jawab secara keseluruhan dalam merawat dan menjaga ruangnya, sehingga tidak ada kecemburuan sosial. Terakhir, konsep ‘due tengetang’ yang berarti menuliskan dan mendokumentasikan yang kita miliki, sehingga tidak gampang untuk dijiplak, diakui, atau dicuri oleh pihak bertanggung jawab.
Pada tahun 2002, Yayasan Wisnu telah mengenalkan konsep ‘due’ dan konsep desa wisata ekologis tersebut kepada Kementerian Pariwisata. Namun, yang lahir tidak sesuai dengan harapan. “Konsep desa wisata ekologis yang kami tawarkan kepada pemerintah dulu di tahun 2002 oleh Bapak Menteri itu, ekologis ini sudah dihilangkan, sehingga menjadilah dia desa wisata saja,” tutur Denik.
Dalam rangka mewujudkan ekowisata, Yayasan Wisnu mendampingi sejumlah desa di Bali melalui JED (Jaringan Ekowisata Desa), di antaranya Desa Perancak, Desa Kiadan, Desa Nyambu, Desa Dukuh Sibetan, Tenganan Pegrisingan, dan Nusa Penida. Proses pembagian hasil JED tidak hanya sekadar membagi untung, tetapi juga membagi kerugian, terutama ketika Covid-19 melanda. Namun, kerugian tersebut tidak mempengaruhi pendapatan masyarakat setempat karena dalam JED, desa menganggap pariwisata adalah bonus, bukan tugas.
Tantangan yang dihadapi oleh Yayasan Wisnu selama mengembangkan ekowisata desa adalah kebijakan-kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah tentang kepariwisataan yang membuat Yayasan Wisnu selalu berhadapan dengan hal-hal teknis. Denik mengungkapkan bahwa banyak peraturan-peraturan yang dibuat oleh gubernur kita tentang sawah, seperti sawah abadi dan sawah organik, tetapi satu pun tidak pernah terimplementasikan hingga sekarang. “Contohnya di Nyambu. Luas mereka sekitar 6.000 hektare, 60 persen adalah sawah, sekarang mereka mungkin hanya tertinggal 40 persen dari sawah mereka yang dulu kita petakan tahun 2015,” imbuh Denik.
Menanggapi alih fungsi lahan di Bali yang tidak ada hentinya, pemerintah Bali saat ini tengah menyusun moratorium untuk menata pariwisata dan fungsi lahan. Dilansir dari Bali Post, usulan moratorium tersebut masih dalam proses pembahasan yang dipimpin langsung Menko Marves dengan melibatkan kementerian terkait dan pemerintah daerah. Meski tergolong terlambat, tetapi moratorium ini harus segera dilakukan untuk mencegah penyempitan lahan pertanian di Bali. Dalam wawancaranya, Denik menutup dengan pernyataan bahwa yang dibutuhkan oleh Bali bukan percepatan pembangunan, melainkan perlambatan pembangunan.