Oleh Anton Muhajir
Ini pengalaman kuliner berbeda di Denpasar. Maka, semua teman saya yang datang Sabtu petang itu, sekitar pukul 18.15 Wita, tak henti-henti berucap, “Waaah, keren banget ya..”
Bodrek Arsana yang biasanya sinis pada banyak hal, kini ikut memuji. Mercya Soesanto yang biasanya kritis juga kali ini langsung termehek-mehek (he.he) ketika melihat lokasi tersebut. Tiga teman lain, Endang, Daniel, dan Ngurah berseru hal yang tak jauh beda: tempat kami makan malam itu memang keren banget.
Padahal kalau dilihat dari luar, bahkan tidak terlihat kalau di dalamnya ada restoran. Restoran bernama Desa Dusun ini memang menipu. Dia ibarat kamuflase, tersembunyi di antara rumah-rumah sekitar. Dari depan, dia sama persis dengan rumah-rumah lain. Pintu masuk itu langsung berbatasan dengan Jl Noja Ayung di Oongan, Denpasar Timur. Tidak ada, misalnya, taman kecil di pinggir jalan sebagai penanda bahwa ada pemandangan luar biasa di dalamnya.
Dua petunjuk bahwa ada restoran di dalamnya adalah papan nama, itu pun tidak disebut sebagai “Restoran” tapi hanya “Kedai”, dan umbul-umbul merah muda. Pintu masuk dari jalan dengan lebar sekitar 1,5 meter pasti tidak cukup besar untuk melihat dengan jelas suasana di dalamnya.
Maka, masuklah. Dan lihat betapa mengesankan tempat tersebut.
“Restoran ini membawa konsep homy restaurant, rumah yang dijadikan restoran,” kata Nungki Yahya, pemiliknya. Nungki sendiri tinggal di rumah tersebut bersama suami dan anak-anaknya.
Karena itu berbeda dengan restoran, kedai, kafe, atau apa pun tempat bersantap lainnya yang biasa menata kursi dan meja di satu tempat dan bersifat massal, restoran ini menyajikan meja kursi itu terpisah satu sama lain sehingga privasi tiap tamu bisa terjaga. Meja kursi makan itu ada di berbagai tempat: beranda, bale bengong, kamar rumah, pinggir kolam, bahkan pinggir sungai.
Kursi dan meja makan di beranda yang menyambut kami ketika masuk adalah perabot yang biasa digunakan di ruang tamu rumah. Jadi kesannya memang ramah karena seperti menyambut kita sebagai keluarga atau teman atau setidaknya tamu, bukan pembeli makan.
Tapi, bukan. Bukan itu yang membuat semua teman saya tak henti-henti memuji restoran ini. Masuklah lebih dalam dan jelajahi kedai seluas sekitar 1 hektar ini.
Restoran ini berada di tepi Tukad (sungai) Ayung, Denpasar Timur. Karena itu bentuknya miring, bahkan curam, ke bawah ke arah sungai. Pemandangan inilah yang luar biasa, setidaknya untuk orang yang tinggal di Denpasar. Di Bali, tempat seperti ini adanya di Ubud. Sekadar contoh saja ya di Murni’s Warung atau Ary’s Warung. Tapi Ubud kan lumayan jauh dari Denpasar, perlu sekitar 45 menit sampai sana. Sedangkan Desa Dusun adanya memang di Denpasar meski agak di pinggir.
Berjalan dari bagian depan ke belakang, maka kita akan mendapati rumah lain yang jadi tempat makan juga. Kalau di bagian depan sebagian besar adalah beranda, maka di rumah ini tempat makan itu ada di kamar-kamar. Makan di tempat ini ya ibarat makan di rumah sendiri, misalnya di ruang kerja, ruang tidur, dan seterusnya. Cuma di sini tidak ada perabotan selain kursi dan meja makan untuk sekitar lima hingga enam orang.
Di bagian belakang rumah, ada beranda juga. Beranda ini berlantai kayu dan menghadap ke arah seberang sungai. Di sinilah kami makan, meski ada juga tempat lain yang lebih menarik di bawah.
Di bawah? Ya, di bawah. Restoran makan ini terdiri dari beberapa “tingkat”. Paling atas adalah rumah sekaligus tempat makan di mana ada beranda belakang tempat kami makan. Di bawahnya ada kolam dengan lantai dasar biru. Ada beberapa tempat duduk di sini. Bagian ketiga, di mana kita harus menuruni undak-undakan untuk mencapainya, adalah bangunan yang agak terpisah dari rumah pertama tadi. Jaraknya sekitar 20 meter. Di rumah ini ada meeting room dan meja kursi makan selayaknya di rumah juga.
Bagian paling bawah adalah bagian yang persis di pinggir sungai. Ada dua bale bengong di sini untuk menikmati makanan sambil melihat air mengalir di bawah sana, tinggi jarak antara bale bengong itu dengan dasar sungai itu sekitar 4 meter. Cukup dalam.
Teras Ayung, perumahan elit di Denpasar yang ibarat Pondok Indah di Jakarta, berada persis di seberang sungai. Karena kami jelas tidak bisa beli dan tinggal di rumah yang harganya bermilyar-milyar itu, maka cukuplah kami menikmati pendar-pendar lampu rumah di sana dari tempat kami makan. Dan ini kombinasi yang unik: rumah elit dengan lampu kerlap-kerlip ketika petang itu, temaram tebing sungai Ayung, hijaunya suasana tempat kami makan, dan sayup-sayup serangga malam.
Ketika pertama kali makan di Desa Dusun, sekitar sebulan lalu, saya dan istri memilih duduk di bale bengong di tepi sungai. Tapi sekarang kami memilih duduk di beranda belakang paling atas. Dan ternyata tempat ini paling enak untuk menikmati suasana petang hingga malam itu.
Puas jalan-jalan melihat sebagian besar restoran, kami duduk di beranda belakang dengan menggabungkan tiga meja sekaligus. Ya iyalah, meja di sini ukurannya memang untuk maksimal tiga kursi, sedangkan kami sekarang bertujuh. Apalagi menu kami banyak.
Saya piliha nasi goreng kambing (Rp 16.500). Antara nilai 5 hingga 10, saya kasih nilai 8 deh. Nilai plus ada pada pedesnya. Nasi goreng ukuran jumbo, saya sampai tidak bisa menghabiskannya, ini berisi daging kambing dan taburan telur dadar di atasnya. Nasi ini dilengkapi juga acar timun dan krupuk. Tapi saya tidak suka tampilannya yang terlalu “gelap” meski sebenarnya tidak gosong. Selain itu Daniel, teman saya yang makan nasi goreng kambing juga, bilang nasi ini terlalu asin dan pedas. “Masakan Bali terlalu asin dan pedes bagi saya,” kata peneliti keturunan Batak yang tinggal di Jakarta tersebut.
Hanya saya dan Daniel yang menunya sama. Lima teman lain sepakat memilih menu berbeda-beda. “Biar nanti bisa saling mencicipi,” kata Luh De Suriyani, istri saya yang paling senang mencicipi makanan.
Maka inilah menu-menu pilihan kami: ayam bakar desdus (Rp 18.500), filet ikan mabok (Rp 26.500), filet ikan steak alam (Rp 28.500), bestik ayam jamur (Rp 22.500), dan bestik sapi (Rp 24.500). Menu terakhir adalah menu andalan di Desa Dusun dan direkomendasikan pemiliknya. Daging sapi empuk itu mendapat nilai 8,5 dari Mercya yang menyantapnya. Nilai paling jelek adalah filet ikan mabok. Terlalu asin. Endang yang langsung merem ketika memakannya memberi nilai 3 ketika disuruh memilih antara 5 hingga 10. “Pokoke minus,” ujar Endang.
Untungnya sih setelah itu Nungki Yahya, yang juga pemilik Hotel Gazebo dan Peneeda View di Sanur datang meminta maaf. Saya lupa, dan tidak mencatat alasannya, tapi kalau tidak salah sih karena itu memang menu baru sehingga ada salah satu bumbu yang tidak pas. “Seharusnya tidak salted,” katanya pada kami. Saya tidak terlalu mengerti soal bumbu makanan. Tapi dari permintaan maaf langsung dari pemiliknya itu, saya merasa ada sentuhan “personal” pada pelayanan. Sesuatu yang ramah. Mendapat layanan langsung, apalagi sampai minta maaf, dari pemilik restoran adalah sesuatu yang langka di Bali.
Sayangnya sih salah satu pelayan malam itu agak bersikap judes. Tidak senyum sama sekali. Ya, mungkin dia lagi kena masalah. Jadi tidak usah terlalu dipikirkan. Toh hanya satu pelayan yang begitu. Sisanya semua bersahabat.
Masalah lain ketika kami makan di sana adalah layanan double porsi. Kami hanya pesan satu porsi untuk tiap menu. Tapi ada tiga menu yang dibuatkan dua porsi. Menu pertama, nasi goreng kambing masih kami tolerir, yang kemudian dimakan Daniel. Tapi menu kedua kami tolak. Menu ketiga kami terima saja karena tidak tega balikin lagi. Dan ketika dimakan toh rebutan juga karena memang enak.
Double porsi ini mungkin terjadi karena kami membatalkan pesanan tapi tidak dicatat sama pelayan. Mungkin karena kami tidak memastikan bahwa kami membatalkan pesanan itu. Kemungkinan kedua karena pelayannya tidak berkoordinasi satu sama lain sehingga kami meminta satu porsi pada dua pelayan. Masing-masing lalu membuat menu itu. Dan, jadilah double porsi itu tadi. Maka, besok-besok perlu diricek lagi tiap menu yang dipesan. Biar tidak diberi dua porsi untuk satu menu.
Di luar masalah asinnya filet ikan mabok dan double porsi itu tadi, saya memberi nilai sempurna untuk tempat makan ini. Tempat nyaman, harga relatif terjangkau (dibanding restoran dengan kualitas setingkat), pelayanan yang ramah, semua memberi nili plus untuk restoran ini. Apalagi usai makan, kami masih lanjut rapat masalah kantor dan pekerjaan hingga larut malam. Tidak ada tanda-tanda pelayan akan “mengusir” kami, sesuatu yang biasa terjadi bagi pembeli makan yang sudah lama selesai menyantap menu tapi tak pergi-pergi.
Usai rapat, sebagian teman ada yang melanjutkan obrolan dengan teman lain di tempat agak terpisah. Sebagian lagi melihat-lihat lukisan di kamar. Sebagian lagi ngobrol di tempat lesehan dalam rumah. Kami semua benar-benar seperti di rumah sendiri. [b]
Sekrinsutnya mana? Gimana saya bisa tau??
Hah..! sebel deh!