Beberapa hari lalu saya pulang ke kampung halaman, kota di ujung barat Bali.
Jalanan lengang, hanya tampak dua-tiga kendaraan. Pandemi membuat orang enggan bepergian, terlebih setelah ada imbauan pemerintah untuk tidak mudik menjelang hari raya Idul Fitri. Petugas berjaga di ruas jalan, memastikan tak ada kendaraan keluar masuk pulau, kecuali pembawa logistik dan kebutuhan vital lainnya.
Motor melaju dengan kecepatan sedang, saya menikmati perjalanan; sawah dan hamparan desa yang sunyi, mengingatkan bahwa belum meratanya pembangunan di Bali dan sebagian besar wilayah di Indonesia. Penduduk hanya terkonsentrasi di kota besar, kota kecil dan desa sepi disebabkan oleh urbanisasi.
Paradoks
Sesaat saya teringat sebuah lagu Jane Sahilatua, ‘Seperti Mata Air Kehilangan Sungai’ yang berkisah tentang desa dan kota. Seperti digambarkan dalam lagu: Desa dimiliki oleh orang kota/Kota dimiliki orang desa/ Petani mencari kerja di kota/ Orang kota mencari kekayaan di desa.
Lirik ini dengan tepat menggambarkan paradoks; warga desa mencari pekerjaan di kota, membentuk komunitas dan membangun peradaban, pada akhirnya menguasai kota. Sebaliknya, desa yang ditinggalkan menjadi tempat mencari kekayaan orang kota; membangun villa, hotel, rumah kos, warung makan, atau usaha lainnya.
Sementara petani mencari kerja di kota, membuat desa sepi penduduk. Juga ditinggalkan kaum muda merantau ke kota. Desa dianggap tak memberi harapan. Bahkan banyak yang merasa malu menjadi orang desa yang lekat dengan anggapan ‘udik’, kurang maju, bahkan dianggap kampungan.
Paradoks lainnya, kondisi kejiwaan warga desa dan kota yang digambarkan sama-sama gelisah; Meskipun kau tak pernah ke desa/Padi-padi terus tumbuh/Meskipun kau tak pernah ke kota/Orang-orang terus gelisah.
Menetap di kota, orang desa merindukan kampung halaman yang damai dan tenang, suasana kekeluargaan yang kental. Tak seperti di kota yang egois dan individualis. Tak ada tegur sapa antar tetangga di rumah kos atau kompleks perumahan. Semua sibuk dengan urusan diri masing-masing.
Kegelisahan
Di sisi lain, orang desa ingin hidup di kota yang dianggap menjanjikan; banyak lapangan kerja dengan upah menggiurkan, sarana hiburan seperti mal tempat membeli mimpi yang tak ditemui di desa.
Kota seperti cahaya yang membuat warga desa datang berkerumun, mengubah mental dan karakter orang desa yang tak lagi polos dan sederhana. Kerasnya kehidupan kota mengubah semua.
Desa dan kota lalu melahirkan kegelisahan yang sama, dalam lagu diibaratkan seperti kembang dalam belukar, seperti mata air kehilangan sungai. Di desa di kota tumbuh dan gelisah/Seperti kembang dalam belukar/Seperti mata air kehilangan sungai. Kita semua adalah mata air itu, kehilangan sungai tempat air mengalir.
Kegelisahan terus tumbuh, walau telah hidup di kota dengan segala kemapanan; banyak orang yang kemudian ingin kembali ke desa yang masih alami dan tak rusak dijamah pembangunan. Hidup di desa juga melahirkan kegelisahan, minim lapangan pekerjaan, jika pun ada upah tak sebanding dengan pengeluaran.
Di desa, orang ingin pindah ke kota agar bisa hidup layak, dianggap sebagai manusia modern; gawai terbaru, aktif di media sosial untuk mendapat pengakuan bahwa hidup tak lagi miskin dan melarat, yang sayangnya semua itu bersifat semu dan palsu.
Menjadi orang lain sungguh menyiksa, tapi itu yang diam-diam diinginkan sehingga harus dilakoni, suka atau tak suka. Kegelisahan tumbuh, menjelma menjadi penyakit fisik yang kemudian merenggut jiwa.
Akhirnya, seperti akhir lagu: Apalagikah yang tersisa bagi kau dan aku? Sebuah pertanyaan filosofis yang mesti kita tanyakan pada diri. Mungkin memang tak ada yang tersisa dari paradoks ini. Atau masih ada yang tersisa, tergantung cara kita memandang dan memaknai hal itu.
Pemerataan
Bagaimana dengan program pemerintah saat ini, membangun dari desa? Ada baiknya, misalkan mendukung agar warga desa tidak pindah ke kota untuk mencari pekerjaan. Tetap hidup di desa dan membangun potensi yang terkubur dan belum dikembangkan. Potensi yang selama ini terlupakan dan dilupakan.
Tapi bagi saya, yang tak kalah penting adalah membangun mental warga desa untuk bangga akan tempat kelahiran, tak malu dan gengsi menjadi petani dan peladang, menggarap tanah dan tidak malah menjualnya.
Generasi muda yang menempuh pendidikan tinggi setelah tamat pulang membangun desa dan tidak sombong dengan gelar universitas, enggan pulang kampung dan menjadi pengangguran intelektual di kota. Menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat.
Jika desa mampu diberdayakan, bisa jadi tak ada lagi urbanisasi yang membuat masalah baru di kota; kriminalitas, pemukiman kumuh, atau bahkan konflik rasial. Biarlah desa menjadi desa dan kota menjadi kota, tak ada lagi paradoks seperti lagu yang saya kutip di atas.
Untuk itulah ada budaya mudik di Indonesia; pulang sejenak untuk mengisi kekosongan batin, bertemu orang tua dan kerabat, silaturahmi ala masyarakat tradisional untuk kemudian kembali lagi ke kota dengan semangat baru. Harapan baru.
Perputaran ekonomi di desa meningkat saat warga kota berbelanja. Pada akhirnya semua diuntungkan, semua bahagia. Tak ada lagi kegelisahaan tumbuh. Yang tersisa adalah pemerataan, pembangunan yang berkeadilan sosial. Semoga. [b]