Kapankah kita sampai? Berapa jam lagi?
Saya mual. Muak sekali. Harus berapa belokan lagi? Begitu terus sampai kepala saya gusar dengan jalanan ini. Kenapa begitu jauh? Haruskah membelakangi bukit?
Terbuanglah banyak energi, uang bahkan waktu saya.
Kota ini begitu kecil. Saya jarang sekali menyukainya. Berada di bagian utara yang terpelosok dari hiruk-pikuk. Di mana letak indahnya? Pantai hitam pekat, bau kekerasan, ketidakramahan untuk sesuatu yang baru pun sangat sering saya jumpai.
Hanya senja yang selalu sama. Namun, saya tak setuju jika senja berada di sini. Senja terlalu indah menari di atas laut hitam kota mati ini. Senja terlalu mewah untuk dihidangkan dalam piring seng lusuh penuh cacian.
Hanya senja yang bisa saya nikmati di sini. Andai saya bisa mengantongi senja agar bahagia saya selama di kota ini. Agar bisa saya ceritakan bagaimana malangnya lelaki pedagang nasi yang tak bisa mencintai wanita.
Terlalu sering saya mengutuk kota ini. Lebih baik saya melarikan diri. Menghilangkan jejak dari keterpurukan yang benar-benar membuat saya menjadi manusia kosong. Lari ke seberang bukit yang menjanjikan berjuta keindahan.
Keterpurukan yang semakin jelas karena seharusnya pada November lalu saya menggunakan toga dan sah menjadi ‘pengangguran berpendidikan’. Hahaha. Namun, di sanalah letak kebahagiaan orang tua saya. Melihat gadis kecilnya menggunakan toga dan menyandang gelar sebagai Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris.
Setelah kekecewaan menampar dengan keras, lagi-lagi sebuah keterpurukan menghantam saya. Masalah hati lebih tepatnya. Asmara dua tahun kandas karena benda mati. Bagaimana rasanya cintamu ditolak hanya karena sebuah benda mati? Singkat saja ya, biar gak baper lagi. Hahaha.
Saya memutuskan untuk penenangan jiwa ke Denpasar. Ya, Ibu Kota yang malah menurut saya dapat menenangkan jiwa dan pikiran, di samping stigma orang-orang bahwa Denpasar adalah kota yang berisik.
Hampir sama seperti Jakarta, kata mereka. Tak kerja maka tak makan. Keras, pengap dan hidup yang serba harus berjuang. Berjuang dengan macet, dengan biaya hidup dan jauh dari kata damai.
Tapi, bagi saya di sini saya akan dengan sangat mudah bisa berkembang dan juga melupakan kelam di tahun 2018.
Bulan November akhir, saya mulai sering tinggal di Denpasar. Entah berkunjung ke berbagai Festival, mengunjungi teman lama, mabuk-mabukan bahkan mencari tambatan hati yang baru hanya sebagai pelampiasan semata.
Dua minggu di Denpasar dan hanya dua sampai tiga hari saja pulang ke Singaraja. Saya mencari membenaran diri ke kedua orangtua. Untuk menenangkan diri.
Syukurnya saya mempunyai orangtua yang sangat fleksibel atas pilihan anak-anaknya. Setelah selesai kuliah, hidupmu kau bawa sendiri. Namun tetap dengan dijejali pertanyaan ‘kapan ngurus Skripsinya?’. Saya sedikit mengacuhkan itu, karena hanya perlu tenang untuk sementara waktu.
Hal yang paling mendorong saya ketika ingin berpijak ke Denpasar adalah keinginan kuat untuk berkembang dan melupakan kelam suram dunia di seberang bukit. Saya melihat banyak sekali teman menjadi orang baru ketika bisa bertahan hidup di kota ini. Dalam konteks positif tentunya. Ada yang sukses dalam berteater, bermusik bahkan berbisnis.
Bagi saya, banyak hal yang mereka pelajari ketika hidup di kota besar ini. Dari mengelola uang, waktu juga rasa rindu ingin pulang. Mereka benar-benar menata diri dan hidup ketika berada jauh dari rumah.
Membagi antara waktu bekerja dan senang-senang. Mana uang untuk makan, menabung dan juga hura-hura. Hal tersebut yang sangat saya ingin pelajari dan memberikan diri tantangan agar saya tak lagi menjadi manusia manja.
Tak sulit bagi saya untuk beradaptasi disini. Karena basic-nya saya adalah manusia dengan flekibelitas tingkat astronot. Hahaha. Saya mudah sekali bergaul kemanapun angin membawa. Hanya saja mungkin ada beberapa hal kecil yang benar-benar membuat saya sedikit belajar. Belajar menghargai uang.
Di sini harga beli lumayan tinggi. Sangat berbeda dengan Singaraja yang apa-apa serba murah. Hanya dengan Rp 10 ribu, saya bisa mendapatkan sepiring nasi lengkap dengan lauk-pauk, es teh manis dan sebatang rokok eceran.
Di sini saya sangat jarang menemukan warung makan yang bisa mendapatkan hal yang sama ketika hidup di Singaraja. Dan juga saya lebih berpikir untuk mengeluarkan sepeser uang untuk hal yang tidak perlu. Belanja ini-itu melulu melihat harga.
Namun, yang saya temui di sini adalah ketersediaan hiburan tanpa batas. Waduh berat juga nih. Harus irit, tapi hiburan ada di mana-mana. Yang di mana harus keluar uang lebih untuk sekedar Say Hello dengan teman lama. Ya namanya juga hidup ya harus ada yang dikorbankan.
Harapan saya besar di kota ini. Seperti harapan kedua orangtua kepada saya. Memberikan kehidupan yang lebih baik, memberikan pelajaran berharga dan juga memberikan suatu proses pendewasaan diri.
Saya lahir di Denpasar. Tumbuh besar dan bermain juga di Denpasar. Tepatnya di Komplek Perumahan Tentara di Jalan Sudirman. Banyak sekali kenangan yang tertanam, bahkan saya tak sanggup melupakan bagaimana serunya bermain sepeda sampai jatuh dan pingsan. Mengumpulkan kartu Yugi-Oh, dan bermain Nintendo yang pada zamannya sudah sangat seru sekali.
Saya ingin hidup kembali ditempat masa lalu saya tumbuh. Dalam kehidupan kota hiruk-pikuk ini, saya juga lebih menghargai waktu untuk merindukan rumah. Kehidupan di sini begitu cepat, pengap dan keras. Di mana saya terus dituntut untuk melakukan sesuatu agar aku bisa terus bertahan hidup. Di sinilah proses pendewasaan hidup dimulai.
Setelah beberapa bulan menetap di sini, saya merasakan ada sedikit yang berubah dalam hidup. Mulai dari cara pandang orang, mengenal manusia jenis baru, belajar hal-hal yang tak pernah saya tahu sebelumnya. Dan yang paling penting adalah mendapat pekerjaan yang lumayan mendukung kehidupan di sini.
Harapan yang terus muncul ketika bangun tidur dan menjelang tidur adalah membuat orangtua mengatakan ‘iya, itu anak saya yang di sana’ dengan bangga dan meneteskan air mata.
Denpasar, bantu saya untuk mewujudkan kebanggaan orangtua. Saya sudah hampir gagal untuk membanggakan mereka, tetapi harapan saya masih kuat denganmu. Bantu saya untuk hidup yang lebih baik. [b]