Hish, COVID-19 ini sungguh mengerikan.
Penularannya secepat berita palsu atau hoaks yang sampai di grup chat keluargamu di aplikasi WhatsApp. Dalam jangka waktu yang tidak lebih dari enam bulan, virus yang dikatakan berasal dari Tiongkok itu sampai di kelurahan sebelah di tempat tinggal terletak di bilangan Kota Denpasar, Bali, Indonesia.
Sungguh ajaib. Yang menghentikan dan diperangi dunia saat ini adalah sesuatu yang abstrak menghantam tubuh manusia si makhluk intelektual.
Rasanya, dengan kebijakan pemerintah Kota Denpasar, Bali maupun Indonesia saat ini untuk berpikir positif itu sangat jauh. Ingin tertawakan agar rasa senang ada, tetapi jawab Ernest Prakasa, seorang komedian yang berprofesi penulis skenario dan sutradara, di perbincangan Instagram Live bersama Kineforum, sebuah program Dewan Kesenian Jakarta yang menawarkan berbagai film dan diskusi, saat ditanyakan, “Apakah sudah saatnya tragedy comedy dalam menghadapi hidup dengan pandemi ini?” Adalah, “Belum” – walaupun judul daripada diskusi ‘Bincang Film #dirumahaja’ tersebut adalah “Tertawa Sebelum Tidak Bisa”.
Demikian pun, Instagram Live, Zoom dan Zoom-ing, Google Meet, Webinar, Jitsi Meeting, dan seterusnya, menjadi perbendaharaan kata yang mungkin sebenarnya tidak baru tetapi menjadi sehari-hari belakangan ini. Dunia menjadi benar-benar daring di dunia yang dikatakan maya itu, bisa dibilang daring total, selama kita harus memastikan diri kita sehat dan menjaga kesehatan sesama manusia karena kecenderungan kita yang sehat bisa menjadi kena maupun penular.
Di saat yang konon Juni 2020 akan menjadi tahap pertama negara Indonesia mulai “berdamai” dengan COVID-19, menceritakan observasi pendek antara Maret sampai Mei 2020 menjalankan social distancing dan daring total di bilangan Denpasar ini rasanya baik dilakukan. Terutama, banyak yang mengatakan nanti menjadi kehidupan “normal baru” (bersama rentetan perekonomiannya), sebenarnya terkesan para manusia sekitar memang ingin “normal” lagi, padahal mungkin belum saatnya saking abstraknya si CCOVID-19-19.
Secara personal, saat memulai menjalankan daring total dalam hal pekerjaan sebenarnya adalah hal yang cukup biasa dilakukan sebagai pekerja lepas. Tetapi interaksi yang hilang secara fisik dan kebiasaan ke tempat yang berbeda untuk setiap pekerjaan membuat ada tekanan baru ke diri sendiri.
Misalnya, yang biasanya bekerja di laptop di satu bilangan cafe, menjadi satu hal yang sebaiknya bisa dilakukan di ruang tengah rumah saja. Contoh lainnya, yang seharusnya ada kegiatan bertemu di kegiatan kesenian entah itu sebuah acara pameran, diskusi, ataupun musik, terpaksa jarak jauh dari tempat masing-masing untuk mencegah kerumunan terjadi dimana si COVID-19 dapat menyebar begitu saja.
Sungguh, antara Maret dan Mei 2020 ini, kami diminta untuk menahan diri – godaan untuk keluar bersliweran itu tidak baik – bagai Amati Lelungan di saat Catur Brata Penyepian pada Hari Nyepi dilaksanakan. Nyepi yang jatuh pada 25 Maret 2020 lalu pun terasa datang lebih awal dan lebih panjang. Di saat yang sama, ada juga tulisan budayawan Sugi Lanus bahwa saat ini Amati Lelungan memang seharusnya dilaksanakan untuk memasuki era baru yang saat itu belum terlihat seperti apa era baru itu, karena sesungguhnya yang ingin dilakukan oleh semua adalah bagaimana bisa hidup saat ini dahulu.
Rasanya, hal yang abstrak ini membuat kita berpikir abstrak dan mencerna hal-hal dengan abstrak, karena tidak ada yang pasti. Lalu, penanganan secara tidak pasti pun terjadi dari pihak aparat resmi negara yang diakui oleh negara Republik Indonesia, terdekat untuk Denpasar adalah pemerintah Kota Denpasar dan Provinsi Bali. Terutama terhadap pekerja-pekerja yang terdampak akan penghasil ekonomi terbesar Bali, pariwisata.
Terdengar nantinya, di pulau yang turistik ini, akhirnya aparat desalah yang mengambil langkah cepat tersendiri. Salah satu contoh yang ditemukan dari saat daring total ini ada pada Webinar yang ditayangkan oleh Udayana TV di YouTube dari Universitas Udayana.
Dalam Webinar Pusat Penelitian Kebudayaan LPPM Universitas Udayana “Nafas Desa di Bali di Masa Pandemi” yang dilaksanakan 23 Mei 20202, terdapat salah satu narasumber-nya Dr. I Wayan Mertha, S.E., M.Si., Bendesa (Kepala Desa) Adat Kedonganan dan Dosen Pengajar Program Studi Destinasi Pariwisata di Politeknik Pariwisata Bali. Ia menceritakan bahwa di Desa Adat Kedonganan, Badung, yang terkenal dengan restoran pinggir lautnya dipenuhi oleh wisatawan itu akhirnya harus menghentikan total aktivitas pariwisata tersebut.
Ia berbagi untuk kepala keluarga (KK) yang berhenti penghasilan bulanannya mendapatkan bantuan stimulus ekonomi yang dilaksanakan bersama LPD (Lembaga Perkreditan Desa) Kedonganan. Salah satunya menggunakan keuntungan yang didapatkan LPD terkait dari tahun 2019 sebesar Rp 3,5 miliar dapat memberikan bantuan sembako senilai Rp 550.000 selama tiga bulan sampai Juni 2020 kepada masing-masing KK tersebut.
Ia juga berbagi bahwa sebenarnya kegiatan ekonomi perikanan pun awalnya juga diminta dihentikan karena adanya kerumunan yang dapat terjadi saat para nelayan menepi ke darat. Namun, ini tidak mungkin terjadi karena masih memungkinkan untuk dijalankan selama protokol kesehatan mencegah COVID-19 dapat dilaksanakan. Ia menegaskan bahwa kegiatan perikanan tetap beroperasi dengan penjagaan yang sangat ketat melibatkan aparatur negara seperti polisi air, Syahbandar dan Satpol PP.
Mendengar pemaparan Dr. Mertha ini di penghujung Mei 2020 membuat pertanyaan muncul: lalu benar-benar tidak ada bantuan dari pihak Pemerintah Provinsi? Sama sekali? Sejak pariwisata dihentikan 22 Maret 2020?
Sempat waktu ini saya menulis, karena sistem yang ada saat ini adalah pemerintahan atas satu negara, maka si kepala negara lah yang menjadi sorotan setiap hari, manusia yang harusnya bisa mengarahkan apa yang “terbaik” untuk warga/rakyatnya. Rasanya, seharusnya, demikian juga turunannya. Namun, apakah ini berarti di Bali yang benar-benar hanya bisa melakukan stimulus ekonomi dari strata terkecilnya yang bukan merupakan aparatur negara resmi Indonesia?
Cerita lain yang menguatkan fakta ini ada pada artikel yang ditulis Ngurah Suryawan di Beritabali.com berjudul ‘Jaen Hidup di Bali?’ yang diterbitkan 12 April 2020 lalu. Di sini ia bercerita bagaimana “rakyat kecil yang rentan saat grubug (wabah) COVID-19 harus memikirkan nasibnya di tengah himbauan bekerja dari rumah.” Karena “mereka bukanlah para pejabat, birokrat, anggota DPR, atau ASN yang setiap bulan dipastikan memiliki pendapatan meskipun work from home” dan mempertanyakan kembali semboyan kekinian di Bali, “Sing perlu ruwet, nak mule jaen hidup di Bali (Tidak perlu berpikir ribet, enak hidup di Bali).”
Ia melihat semboyan ini bagai “tipu muslihat para elite lokal Bali” yang ingin menunjukkan “Bali baik-baik saja” di mana “masyarakat bahagia dan sejahtera” karena “dampak pariwisata”. Namun, “wabah COVID-19 ini memaparkan kerapuhan Bali dalam penanganan krisis dan wabah. Masyarakat tidak bisa berharap banyak dari pemerintah ataupun dari para elit yang sebelumnya memanjakan mereka.”
Dan, terlihatlah bahwa “solidaritas sosial justru terjadi pada ruang-ruang solidaritas komunitas” dengan adanya Desa Adat dan LPD ”sebagai komunitas tradisional yang berakar kuat di Bali” dapat “memberikan langkah kongkrit untuk membantu meringankan kesulitan warganya di masa wabah.” Ia menyebut Desa Adat Kedonganan sebagai salah satu contohnya, beserta Desa Adat Dukuh Panaban di Karangasem, Desa Adat Batuan di Gianyar, Desa Adat Panjer di Kota Denpasar, dan Desa Adat Jumpai di Klungkung.
Solidaritas sosial yang ada pada ruang-ruang solidaritas komunitas tersebut juga bisa dilihat lewat media sosial. Bagi yang tidak terdaftar di LPD dan Desa Adat maka mencari cara lain untuk bertahan hidup. Setidaknya yang terobservasi terjadi sekitaran Denpasar. Ada yang ikut menjual hasil perkebunan, pertanian, dan perikanan yang surplus di Bali. Ada yang berdalih berjualan di ranah kuliner karena banyak yang ingin menenangkan diri dengan berbagai makanan selama di rumah saja.
Ada yang ikut membuat dan berjualan masker kain karena diadakannya peraturan wajib masker oleh para Satgas Covid di Desa Adat. Ada yang ikut membeli serta mendukung produk-produk di sekitarnya dengan cara sharing lewat Insta Story-nya Instagram misalnya. Ada juga yang berbagi pangan dan sembako gratis seperti Solidaritas Pangan Bali, Denpasar Kolektif, serta Covid 19 Community Care, dan seterusnya.
Di saat si aparatur negara tidak memberikan solusi cepat, ternyata rakyat bisa bergerak cepat dengan sendirinya. Telekomunikasi saat ini memudahkan antar teman, kolega, dengan lainnya.
Seperti yang saya katakan di atas, di saat seperti ini, kedudukan aparat resmi/aparatur negara sangatlah diuji. Lalu, teringat tulisan Giorgio Agamben yang membahas tentang apparatus. Dalam bukunya What is an Apparatus?: and Other Essays, di dalam tulisan Franz Kafka berjudul Penal Colony, apparatus sama dengan apparat yang di Bahasa Indonesia aparat adalah pejabat pemerintah yang memiliki kekuasaan.
Agamben menyebutkan bahwa apparatus adalah sesuatu yang selalu bermain dalam kekuasaan dan mengkondisikan apa yang ia ketahui. Di saat yang sama, ia juga menyebutkan bahwa aparat bukan saja seseorang yang memerintah, tetapi bisa apa saja yang bisa membuat kontrol dan memiliki kekuatan/kekuasaan untuk melakukannya.
Maka, apa yang telah terjadi selama dua berjalannya imbauan untuk social distancing, elemen solidaritas rakyat di sekitar Denpasarlah yang berubah menjadi aparat-nya, menyebabkan kedudukan aparat resmi itu seperti tidak berfungsi sebagai aparat/apparatus. Yang terlihat dari pemerintah melalui daring total adalah para pejabat dan tokoh, atau yang disebut elite lokal Bali oleh Suryawan, adalah membuat poster-pakai-masker, ikut mengimbau di rumah saja entah lewat foto atau video. Rasanya tidak lebih dari itu.
Lalu, di awal Mei 2020, lewat daring total, Pembatasan Kegiatan Masyarakat oleh Kota Denpasar menampar para rakyat setelah dua bulan mereka yang telah menjadi aparat. Telah berhasil menjalankan solidaritas besarnya lewat daring total sama-sama mendukung, dari pangan, keperluan kesehatan, keperluan pengetahuan, keperluan kesehatan mental, bahkan bisnis kecil keperluan tersier harus memikirkan terus survival/ketahanan mereka, ada bisnis baru untuk mereka yang harus beralih pekerjaan, dan teman-teman yang siap menjadi advertisernya. Sepertinya pemerintah Kota Denpasar baru sadar bahwa perubahan status aparat itu terjadi. PKM, yang terjadi 15 Mei 2020, seperti cerminan menyatakan bahwa mereka tidak lupa memerintah.
Namun, rasanya sangat janggal, PKM tidak membantu dan mendukung berjalannya solidaritas ini. Membatasi gerak gerik dan hanya memperlihatkan dukungan terhadap bisnis-bisnis resmi berizin daripada bisnis yang sudah menjadi ekonomi ketahanan atau survival economy. Jadi kesannya bukannya mencoba membantu yang baru mulai tetapi hanya mendukung yang sudah ada.
Termasuk dalam harus adanya surat jalan yang merupakan kertas yang harus didapatkan dari Kantor Desa. Sesuatu yang sebenarnya bisa menyebarkan si virus penyebab pandemi. Belum lagi adanya kerumunan di tempat-tempat pengecekan yang seharusnya dihindari untuk terjadi. Lalu, dengar-dengar, PKM tidak berjalan sesuai dalam hal cek-mengecek dokumen. Hanya di awal saja, setelah itu, tidak ada yang jaga katanya.
Ya, aparat yang lebih kuat saat ini rasanya tetap di kekuatan solidaritas rakyat. Sampai saat ini di mana katanya perekonomian harus mulai normal lagi dengan berdamai dengan virus ini, tetap tidak ada bantuan ekonomi maupun metode ekonomi yang signifikan dari pihak aparat resmi/aparatur negara. Maka, benarkah “normal baru” itu ada? Bukannya dengan kita harus kembali bekerja demi perekonomian sesama adalah “normal” lagi seperti biasanya?
Pada 27 Mei 2020, ada webinar menarik dari Balitbang Kabupaten Badung yang berjudul “Menyongsong Normalitas Kehidupan yang Baru Pasca COVID-19”4 dengan narasumber dr. Achmad Yurianto, Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI, Wakil Gubernur Prof. Dr. Ir. Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati, M.Si. atau Cok Ace selaku Ketua BPD PHRI Bali, dan Trisno Nugroho, S.E., MBA, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali. Webinar tersebut dihadiri banyak pejabat ikut menanggapi termasuk Duta Besar dari berbagai negara.
Di saat dr. Achmad menyampaikan kesimpulannya bahwa kurva jumlah kasus di Indonesia akan landai, beberapa penanggap dan narasumber sangat optimis pariwisata Bali akan kembali normal seperti dahulu tidak lama ini, dengan pengertian adanya “normal baru” juga diaplikasikan. Padahal, faktanya, para Duta Besar dari negara penyumbang wisatawan selama ini, menyampaikan di saat ini tidak ada penduduk negara di tempatnya yang diperbolehkan terbang kemanapun.
Lagi, terlihat pariwisata di webinar ini bagaikan jawaban dari bukannya dengan kita harus kembali bekerja demi perekonomian sesama adalah “normal” lagi seperti biasanya? Setidaknya untuk di Bali sendiri?
Dan lagi, rasanya, di penghujung Mei 2020, hal yang abstrak ini membuat kita berpikir abstrak dan mencerna hal-hal dengan abstrak, karena tidak ada yang pasti. Lalu, penanganan secara tidak pasti pun terjadi dari pihak aparat resmi/aparatur negara yang diakui oleh negara Republik Indonesia, terdekat untuk Denpasar adalah pemerintah Kota Denpasar dan Provinsi Bali. Terutama terhadap pekerja-pekerja yang terdampak akan penghasil ekonomi terbesar Bali, pariwisata. Dan, rasanya, pemaparan Dr. Mertha tentang tantangan Desa Adat Kedonganan ke depan di bawah ini, menjadi titik henti sementara observasi daring total ini. [b]