Sudah hampir akhir Juli. Namun baru ingat kalau di awal bulan ini, ada peristiwa yang mengesankan sekaligus membuat sedikit berdebar.
Tanggal 3 Juli 2023, untuk pertama kalinya saya berbicara mewakili BaleBengong dalam sebuah sesi diskusi berbahasa Inggris. Sebuah tantangan baru untuk saya yang berbekal kemampuan rata-rata. Namun di sisi lain, ini adalah kesempatan bagus untuk membagikan lebih jauh tentang apa yang BaleBengong lakukan selama ini. Memberikan bocoran tentang informasi-informasi seperti apa yang biasanya dibagikan media dengan pendekatan jurnalisme warga ini, sehingga bisa menguak realitas Bali yang kerap tak tersorot.
Sesi ini adalah rangkaian program Bali Studio yang difasilitasi oleh Paul Trinidad, seorang profesor dari The University of Western Australia School of Design. Paul telah memfasilitasi banyak program di kampus tersebut selama lebih dari 30 tahun masa kerjanya. Sejak tahun 2009, Paul telah berperan penting dalam pertukaran budaya dengan Indonesia. Termasuk membawa seniman pada tur pameran dari Indonesia ke Australia serta mendirikan program studi Bali Studio untuk mahasiswa S1 di UWA. Proyek-proyek ini didasarkan pada modal sosial, inklusivitas, dan konektivitas sebagai penentu utama keberlanjutan.
Rangkaian kegiatan Bali Studio berlangsung selama dua minggu, sejak 26 Juni 2023 lalu. Paul memboyong tujuh belas mahasiswa dari latar belakang jurusan yang berbeda untuk belajar tentang Bali dari sudut pandang yang berbeda. Ketujuh belas mahasiswa tersebut diajak pula untuk mengikuti berbagai kegiatan lain. Merasakan pengalaman melukat, berkunjung ke Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, hingga bertemu dengan Jango Paramartha, seorang kartunis pencetus majalah Bog-Bog yang menghadirkan perubahan sosial Bali dalam karya-karyanya.
“Saya ingin para siswa mengetahui dan lebih dekat tentang isu-isu yang nyata di Bali. Tidak hanya Bali yang cantik,” ungkap Paul. Itu menjadi salah satu alasan mengapa ia akhirnya mengundang BaleBengong dan Gilang Propagila (Dis Print Kultur). Harapannya bisa memperkaya perspektif tentang Bali melalui gerakan dan pendekatan masing-masing.
Saya menceritakan pengalaman bersama BaleBengong dalam mengelola suara-suara akar rumput hingga hal itu pula yang menguatkan media ini. Lebih dari 16 tahun, BaleBengong berusaha konsisten menghadirkan informasi tentang Bali dari perspektif kritis di balik puja-puji tentang Bali, terutama tentang warga di daerah pedesaan, petani, nelayan, penyandang disabilitas, orang dengan skizofrenia, dan lain-lain. Sedangkan Gilang berbagi tentang pendokumentasian dan aktivismenya yang dituangkan melalui media zine serta cukil. Gilang yang aktif pula di skena punk, menekankan bahwa aktivisme dan segala bentuk advokasi yang ia lakukan, mesti dikemas dengan cara yang menyenangkan. Tak heran jika banyak kegiatan, baik diskusi, workshop, hingga aksi yang melibatkannya, kental dengan atraksi seni.
Pada sesi workshop yang berlangsung di Inna Bali Heritage Hotel itu, Gilang membawa puluhan (bahkan mungkin ratusan) koleksi zine miliknya. Ada yang ditulis sendiri, beberapa di antaranya adalah hasil dari workshop yang diadakan sebelumnya, dan banyak juga berasal dari jejaring pegiat zine di daerah lainnya. Mahasiswa-mahasiswa itu pun terlihat antusias. Tak terkecuali saya. Beberapa kali saya tersenyum sambil membaca zine-zine itu. Sebab tulisan-tulisan di dalamnya betul-betul “terserah gue mau nulis apa”. Merekam cerita-cerita personal hingga dinamika sosial politik yang lebih luas.
Gilang mulai mengajak para mahasiswa untuk membuat karya yang kemudian akan dikompilasi menjadi sebuah zine. Gunting, spidol, kertas, majalah dan komik bekas pun disediakan olehnya. Gilang mempersilakan mahasiswa-mahasiswa tersebut untuk menuangkan buah pikir mereka dalam kertas. Bisa berupa tulisan maupun gambar yang merangkum tentang pandangan mereka tentang Bali atau apa saja yang ingin mereka tuangkan.
Saya menyimak proses tersebut sambil sesekali mengobrol dengan Paul. Sejak awal berkenalan, ia juga sudah menyatakan ketertarikannya untuk menggali lebih dalam tentang pulau kecil ini. Lewat rekomendasi dari Gilang, ia mengunjungi banyak kegiatan yang diadakan oleh komunitas. Termasuk acara yang akhirnya mempertemukan kami pada akhir Maret lalu. Dari perkenalan singkat saat itu, ia juga menyampaikan bahwa inisiatif-inisiatif dan gerakan berbasis akar rumput sangat menginspirasi. Sebuah hal yang “mahal” di daerah asalnya. Ia pun berharap bisa membuat sesuatu bersama-sama lagi di masa depan.
Why users still use to read news papers when in this technological world everything is existing on net?
Wow that was strange. I just wrote an extremely long comment but after I clicked submit my comment didn’t show up. Grrrr… well I’m not writing all that over again. Regardless, just wanted to say superb blog!
I read this post fully regarding the comparison of newest and previous technologies, it’s awesome article.