Oktober ini, Bentara Budaya Bali menggelar serangkaian acara teater.
Kegiatan tersebut terangkum dalam program pekan teater “Oktober Teater Bentara Budaya Bali” yang berlangsung pada 28 Oktober hingga 31 Oktober 2014.
Pekan teater ini menghadirkan berbagai agenda; dialog dan diskusi buku teater, pementasan teater, pemutaran dokumenter, pertunjukan alih kreasi puisi hingga video art, bertempat di Jl. Prof. Ida Bagus Mantra No. 88A Ketewel, Gianyar.
Program Oktober Teater Bentara Budaya Bali (BBB) ini mencoba membuka satu ruang kreasi dan diskusi bagi penekun maupun penikmat teater di Bali. Sebagaimana disebut oleh dramawan dan sastrawan, Radhar Panca Dahana, teater harus kembali pada “Realitas”.
“Maka penonton, selain dihadapkan pada seni pertunjukan di atas panggung, diajak pula untuk mencermati kedalaman isi, hingga mengkritisi bentuk pemanggungan tersebut yang kontekstual dengan realita kekinian kita,” ujar Ni Wayan Idayati, Penata Program Oktober Teater BBB.
Mengawali pekan teater, pada Selasa kemarin dihadirkan sebuah dialog kerja sama dengan Federasi Teater Indonesia. Dialog membahas buku terkini karya Radhar Panca Dahana, bertajuk “Teater dalam Tiga Dunia”. Buku ini adalah sejumlah esai atau tulisan terpilih yang mengeksplorasi seni pertunjukan di Indonesia, khususnya teater modern.
Sebagai pembahas adalah dramawan dan sutradara teater, Abu Bakar, serta budayawan dan pengamat, Dr. Ketut Sumadi, M.Par.
Melalui buku “Teater dalam Tiga Dunia”, diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan (2012), terefleksikan pula sebentuk memoar kreatif Radhar Panca Dahana selaku pekerja teater, sutradara dan penulis naskah yang sedini usianya (14 tahun) telah memutuskan jalan hidupnya sebagai sastrawan juga penggiat dunia panggung.
Melengkapi dialog seputar dunia panggung, selama dua hari berturut-turut, pada 29 dan 30 Oktober 2014, dihadirkan pertunjukan teater bayangan tangan atau Hand Shadows Theatre ala Budrugana-Gagra asal Tlibisi, Georgia-Eropa Timur. Kelompok ini akan mementaskan dua lakon yakni The Four Seasons of The Year dan Isn’t This a Lovely Day.
Pertunjukan teater Budrugana Gagra yang merupakan kerja sama Bentara Budaya Bali dengan Kedutaan Besar Georgia di Jakarta ini baru pertama kali dipentaskan di Indonesia, bermula di Salihara, Jakarta dan kemudian di Bentara Budaya Bali.
Pertunjukan-pertunjukan mereka tak jarang dipresentasikan untuk anak-anak dan juga bagian dari bentuk kepedulian pada para pengungsi perang atau mereka-mereka yang terpinggirkan.
Kelompok teater Budrugana Gagra didirikan oleh Gela Kandelaki pada 1982. Dianggap terpujikan karena menghadirkan pertunjukan-pertunjukan yang otentik-unik, mempertautkan antara unsur musik dan lakon panggung, dirangkum dalam seni multimedia.
Selama kurun waktu 15 tahun terakhir, Budrugana telah memproduksi tak kurang dari 300 pertunjukan, diundang untuk pentas dalam sejumlah festival internasional, seperti di Paris, Jerman, Amerika Serikat, Ukraina, Turki, Iran, dan bahkan di Jepang.
Serangkaian pertunjukan dari Budrugana Gagra ini digelar pula pemutaran dokumenter pementsan dan perjalanan kelompok teater ini yang akan disandingkan dengan dokumenter pertunjukan Wayang Listrik kreasi I Made Sidia. Program ini berlangsung pada hari Kamis, 30 Oktober 2014, pukul 15.00 WITA.
Menarik juga untuk menyimak bagaimana kreator berbagai bidang merespon dan mengalihkreasikan puisi menjadi berbagai bentuk seni pemanggungan hingga video art. Kali ini, puisi-puisi penyair Gde Artawan yang terangkum dalam buku “Tubuhku Luka Pesisir, Tubuhmu Luka Pegunungan”, akan dialihkreasikan oleh Komunitas Cemara Angin menjadi musikalisasi puisi.
Ada juga pembacaan puisi dengan tembang pupuh oleh Komunitas NIRENG dan diadaptasi pula menjadi karya video art yang digarap oleh Putu Satriya Kusuma bersama Komunitas Film Buleleng. Acara ini merupakan penghujung rangkaian Oktober Teater Bentara Budaya Bali, berlangsung Jumat besok, pukul 18.30 WITA.
Penyair Gde Artawan merupakan sastrawan kelahiran Klungkung, 20 Februari 1959. Dia meraih gelar doktor linguistik di Universitas Udayana. Pengajar Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja ini terbilang produktif menulis esai sastra dan budaya, serta kerap diundang sebagai pembicara dalam berbagai seminar nasional dan internasional.
Artawan memperoleh berbegai anugerah seni, termasuk Anugerah Seni Wijaya Kusuma dari pemerintah Buleleng dan Anugerah Widya Pataka dari Gubenur Bali untuk kumpulan cerpennya “Petarung Jambul”(2008). Buku-buku karyanya antara lain; “Antologi Puisi Kaki Langit” (1984), “Kesaksian Burung Sukma: Antologi Empat Penyair Bali” (1998), “ Puisi Bali” (2006).
Informasi selengkapnya perihal program dapat disimak melalui situs : www.bentarabudayabali.wordpress.com. [b]