Oleh Kadek Didi Suprapta
Melahirkan anak kembar mungkin sudah menjadi berita biasa bagi sebagian besar masyarakat. Tapi lain halnya dengan di Bali, dan lebih khusus di desa saya. Ada satu tradisi unik di desa saya yang mungkin di tempat lain tidak ada. Melahirkan anak kembar di Desa Songan, Kecamatan Kintamani, Bangli dianggap sebagai suatu berkah bagi masyarakat di sana.
Jika dulu ketika masa-masa feodal masih kuat pengaruhnya di Bali, bisa jadi melahirkan anak kembar menjadi suatu bencana bagi keluarga yang mempunyai anak kembar itu. Apalagi sampai yang dilahirkan adalah anak kembar buncing (satu laki, satu perempuan), bisa-bisa si bapak dan si ibu beserta bayinya diungsikan, karena melahirkan anak kembar dianggap suatu aib.
Dulu ketika sebuah keluarga biasa melahirkan anak kembar buncing dianggap merupakan suatu aib bagi desa dimana keluarga itu tinggal. Sedangkan jika anak kembar lahir di keluarga puri atau kerajaan, penafsirannya lantas berbeda. Si anak kembar dianggap memang berjodoh sejak lahir dan biasanya dibesarkan di tempat yang terpisah, hingga ketika remaja nanti dipertemukan kembali sebagai pasangan suami istri dan akan mendapat tempat yang sangat terhormat di lingkungan keluarga kerajaan.
Mungkin atas dasar itulah, kemudian jika ada warga masyarakat biasa melahirkan anak kembar dianggap menyaingi keluarga kerajaan, sehingga layaklah warga yang melahirkan anak kembar buncing tadi mendapat hukuman dari sang raja. Lantas hukuman pengungsian dijatuhkan kepada si warga tadi. Biasanya warga yang melahirkan anak kembar dibuatkan tenda darurat yang biasanya berlokasi di tempat terpencil, kadang ada yang berlokasi di dekat kuburan desa dan tidak seorang pun boleh menjenguknya.
Mungkin setiap desa adat di Bali mempunyai cara yang berbeda dalam memperlakukan masyarakat yang melahirkan kembar.
Kembali ke desaku, saya masih ingat pada tahun 80-an tradisi “membuang” atau mengungsikan warga yang melahirkan anak kembar masih terjadi. Namun belakangan tradisi itu sudah tidak ada lagi. Mungkin tokoh-tokoh masyarakat di Songan sudah mempunyai awig yang baru mengenai hal ini, atau mungkin juga merujuk kepada peraturan perundang-undangan yang telah ada seperti : Bhisama PHDI tahun 1971 dan Peraturan Daerah Bali Nomor 3 Tahun 2002. Semuanya berintikan mengimbau kepada komunitas adat, terutama jajaran prajuru (pengurus desa adat), supaya menyesuaikan awig-awig-nya dengan hukum agama dan hukum yang berlaku.
Tapi di sisi lain ada keunikan lain yang berkaitan dengan melahirkan anak kembar ini. Jika di tempat lain di Bali dianggap sebagai suatu aib, di tempatku justru dianggap suatu berkah. Anak kembar dianggap sebagai dewa, dibuatkan pelinggih layaknya sebuah sanggah. (Kemarin, di lingkungan keluargaku habis ngeteg linggih pelinggih dewa kembar ini, dan menhgabiskan sekitar 40 juta untuk bangunannya saja.) Si kembar kemudian dipanggil dengan sebutan jero. Jika anak yang dilahirkan keduanya laki-laki, maka yang lahir duluan akan dipanggil Jero Ageng atau Jero Agung sedangkan yang lahir belakangan akan dipanggil Jero Alit. Sedangkan jika lahir laki-perempuan, yang laki dipanggil Jero Lanang dan yang perempuan dipanggil Jero Istri.
Setiap enam bulanan Bali (satu bulan Bali berumur 35 hari kalender), di kembar dibuatkan upacara yang bisa dibilang cukup besar. Tapi biasanya upacara ini ditanggung oleh “penyungsungnya” yaitu semua orang yang ikut urunan untuk merayakan ultah Bali si kembar ini. Yang menjadi penyungsung bukan hanya ayah dan ibu dari si kembar, tapi kadangkala meluas sampai ke semua kerabat dekat dari keluarga si kembar, bisa sampai misan, mindon bahkan lebih jauh lagi.
Upacara ini berlangsung terus, bahkan hingga si kembar telah meninggal dunia upcara masih terus dilangsungkan tiap bulan. Jika tidak, dianggap arwah si kembar yang dianggap dewa bisa memberi kutukan yang bisa menyengsarakan garis keturunan dan keluarga terdekatnya.
Saya masih belum paham betul, mengapa tradisi ini bisa terjadi. Kadang perasaan menjadi bercampur antara percaya dan tidak percaya, jadi ngikut saja, selama itu masih bukan sebuah beban bagi saya. Sayangnya saya tidak pernah melakukan penelitian mendalam tentang tradisi ini.
Mungkin suatu saat….
oooo begitu to sejarahnya prend,,
trus sekarang gi mana, sesuai tulisan smpean ini, masih rancu ya?..
memang semua tergantung dari sugesti kita, tp kalo keyakinan sampean kuat sugestinya, berarti itu suatu keyakinan juga 🙂
aduuhh,, kok jd ngelantur nich,, sorry prend, 😉
wow..
sisi lain kelahiran bayi kembar ternyata ada juga.
nice review bli didi
WAh, gitu ya sejarahnya.. Saya yang orang kintamani ga tau. hehe..
saja to le
maju trus
salam hormat warga songan
Lalu siapakah Nama Dari dewa kemba
R???
Kisah anak kembar di desa ini sungguh menarik. Karena saya pernah diceritakan olehbayah saya dulu mengenaik ibu yang melahirkan anak kembar buncing lalu dibuang ke area setra.
Kini rasanya itu tidak terjadi, ya? Karena saya punya kenalan 2 pasang kembar buncing. Keduanya mengalami pemisahan.
Oh ya, ada putra dewa Aswini yang kembar dalam Pandawa namanya Nakula dan Sadewa