Oleh Anton Muhajir
Dampak sosial akibat maraknya flu burung di Bali lebih besar daripada masalah kesehatan itu sendiri. Sebab masalah ini berdampak pada pariwisata, ekonomi, sosial, dan efek ikutan lainnya. Demikian dikatakan dosen Fakultas Kedokteran Hewan Gusti Ngurah Mahardika pada diskusi di Yayasan Mitra Bali di Lodtunduh, Ubud, Sabtu hari ini. Diskusi di depan sekitar 40 perajin itu dilakukan dalam rangka mengantisipasi maraknya kasus flu burung di Bali saat ini.
Menurut Mahardika, Bali merupakan etalase Indonesia sehingga apa yang terjadi di Bali juga menjadi perhatian banyak negara. “Apalagi di Bali memang banyak warga negara asing sehingga banyak negara juga mengkhawatirkan flu burung itu akan menularkan pada warga negara mereka,” kata Mahardika.
Namun, lanjutnya, kondisi itu jadi semacam dilema. Sebab karena besarnya pengaruh kasus flu burung itu maka pemerintah Bali terkesan menutup-nutupi. Mahardika, yang sudah meneliti kasus flu burung sejak 2004 ini mengaku sudah menyampaikan hasil penelitiannya bahwa Bali rentan mengalami pandemi flu burung. Namun ketika menyampaikan hasil penelitian tersebut, Mahardika justru dia mendapat resistensi dari berbagai instansi pemerintah termasuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali. “Ada yang bilang hasil penelitian saya tidak validlah, ada yang bilang saya hanya cari masalahlah. Padahal saya hanya menyampaikan kebenaran akademis tapi kok kemudian dibawa ke masalah politis,” kata Mahardika.
Dalam penelitian yang dilakukan pada 2004 itu, Mahardika sudah menyatakan bahwa beberapa daerah di Bali rentan mengalami kasus flu burung seperti Jembrana, Buleleng, dan Klungkung. Meski demikian, Bali secara umum juga rentan terkena flu burung karena wilayahnya yang kecil serta banyaknya penduduk Bali yang memelihara hewan ternak seperti unggas dan babi.
Setelah berselang tiga tahun, hasil penelitian itu baru terbukti. Dari dua orang yang positif flu burung, keduanya meninggal. “Artinya tingkat kematian flu burung di Bali sampai seratus persen. Padahal di Indonesia secara umum hanya 70 persen,” katanya.
Saat ini ketika sudah ditemukan dua orang yang positif flu burung, baru pemerintah Bali mencak-mencak. “Kalau sejak dulu mau melakukan antisipasi, pasti kasusnya tidak akan muncul tiba-tiba seperti saat ini,” ujarnya. “Karena itu dua kasus positif itu bisa jadi pelajaran agar pemerintah Bali memberikan perhatian besar pada kasus ini seperti halnya pada kasus HIV/AIDS,” lanjut penemu virus flu burung pada babi ini.
Kalau tidak mendapat perhatian secepatnya, Mahardika khawatir kasus itu akan berimbas pada wilayah-wilayah lain seperti ekonomi dan pariwisata. Hal ini seperti pernah terjadi di Bali pada 1918-an ketika terjadi apa yang disebut sebagai gering agung dan penyakit nyeh. Pada saat itu Bali turut mengalami pandemi flu di Eropa yang menewaskan hingga 50 juta orang sedunia. “Jika tidak ditangani secara benar-benar, maka tidak mungkin hal yang sama juga terjadi di Bali,” lanjutnya.
Diskusi di Mitra Bali itu sendiri dilakukan karena selama ini banyak warga yang acuh pada masalah ini, termasuk perajin. “Kalau tidak terjadi di depan mata kita, biasanya kita cuek saja. Padahal kasus ini bisa terjadi pada kita semua termasuk perajin,” katanya.
Agung Alit, Direktur Mitra Bali juga Sekretaris Jenderal Forum Fair Trade Indonesia, mengatakan banyak peternak kecil yang jadi korban kurangnya antisipasi pemerintah terhadap kasus ini. “Ayam ternak mereka diambil dan dimusnahkan meski masih sebatas diduga terkena flu burung. Parahnya lagi tidak ada ganti rugi apapun atas perlakuan tersebut dari pemerintah,” kata Gung Alit.
Karena itu, menurutnya, pemerintah seharusnya juga memberikan ganti rugi atas apa yang dialami para peternak tersebut. [b]
musibah itu akhirnya hrs menuntut kesadaran masyarakat terutama mrk yg kontak langsung/plg berisiko..kita2 membantu mengingatkan..waspadalah™..
Kalau kita mengamati karakter dari pemerintah dan Legislatif Bali semenjak jatuhnya orde Baru sangat kelihatan seperti yang banyak ditulis oleh orang Barat:
1. Dungu
2. Bohong
3. Terkejut-terkejutan.
Jika ke-3 sifat ini terus dibawa, maka kita hanya tinggal menunggu Bali akan kembali lagi seperti sebelum tahun 1930an dan bahkan lebih parah. Maka senanglah Australia, Malaysia, dan negara-negara yang memang menginginkan Indonesia bangkrut. Dan mudahlah mereka menyikut-nyikut Indonesia tanpa rasa takut sama sekali, karena mereka berpikir ” bali atau indonesia itu tidak ada apa-apanya…!
Siapa yang malu?
Rakyat kecil? tidak, rakyat kecil tidak makan hasil kerja orang lain. Yang malu seharusnya adalah mereka yang makan gaji dari rakyat kecil.
Yang paling saya sesalkan kenapa Bali punya gubernur yang benar-benar tidak punya visi tentang flu burung ini. Mungkin ada agenda tersembunyi di baliknya? Oh tidak… menurut pengamatan berbagai orang pintar di dalam maupun luar negeri pemimpin tertinggi Bali itu memang dungu!
Sebenarnya untuk mengatasi menyebarnya flu burung di Bali,jika tidak berani mengikuti cara Pak Sutiyoso sebenarnya sangat mudah di Bali.
Buat perda khusus untu flu burung yang mengatur kordinasi di lapangan mulai dari tingkat II s/d ketua lingkungan dengan sanksi yang berat. Satgas perda ini difokuskan di tingkat banjar ( wajib ) misalnya dengan memanfaatkan hansip ditambah dengan anggota senior di lingkungan banjar yang bisa bersifat obyektif dan bisa memberikan laporan kepada satgas di tingkat desa, kecamatan, kabupaten s/d provinsi. Hal ini sangat mudah untuk dilakukan karena sekarang sudah ada HP. Ikutkan kepolisian untuk mengawal hukumnya.
Point yang bisa diatur dengan melalui satgas ini misalnya:
1. Setiap RT yang punya ayam harus membuatkan kandang ( mengurungnya )
Jika tidak maka ayamnya akan ditembak mati.
2. Pengamatan setiap RT tentang keadaan tiap hari pada hewan-hewan peliharaan.
3. Pelaporan secara cepat tentang kondisi menyeluruh dari kondisi hewan dilingakungan banjarnya.
4. Melaporkan secara cepat warga yang bandel, superstisius,dsb.
Jika hal di atas tidak dilaksanakan maka akan terjadi mala petaka. Hal ini jelas, karena banyak orang di Bali masih beranggapan bahwa soal “sakit atau tidak itu sudah ada yang ngatur” dan dangat lamban cara berpikirnya seperti yang dimiliki oleh gubernur sekarang. Sifat yang menunjukkan superstiseus inilah yang akan menjadi sumber malapetaka.
Dalam dunia modern kebohongan akan cepat membawa malapetaka, tidak seperti di masa lampau kebohongan bisa saja disimpan puluhan tahun sebelum dicium orang.
Atau mungkin percepat Pilkada.
Kasihan Gubernur Bali !!!
Merebaknya kasus flu buring di Bali telah menimbulkan keresahan, kemarahan dan rasa jengkel yang luar biasa di kalangan masyarakat yang berilmu dan berwawasan di Bali dan juga di linkungan luar Bali yang selama ini wilayahnya mendapatkan berkah pariwisata dari Bali, khususnya Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Lombok, Sumatra Utara dan Yogyakarta. Ada hati kecil yang berkecamuk mengenai:
1. Ternyata Bali tidak lebih baik dari daerah lain, bahkan daerah yang paling terkebelangpun.
2. Fakta bahwa keterbelakangan ini dicerminkan oleh sebagian besar pemegang kebijakan di Bali ( baca eksekutif dan legislative )
3. Pada akhirnya Bali sebagai minoritas dalam pengertian entitas, jika pengelolanya seperti ini, maka Bali tidak lebih dari sebuah titik debu yang demikian mudah untuk lenyap hanya karena angin yang paling lemah sekalipun.
Kondisi ini secara gambling tercermin dari berbagai tindakan konyol yang dilakukan oleh pejabat daerah dan lembaga eksekutif, terutama yang paling parah adalah:
1. Dengan alas an takut pariwisata terusik, flu burung disembunyikan kepada public, namun tidak ada usaha yang berarti untuk mengatasi. Kebohongan ini sama levelnya dengan anak Sekolah Dasar yang baru mengenal kelas I. Ketahuilah di dunia ini tidak ada setitik kejelekanpun bisa ditutupi dalam masa informasi global ini. Dunia dalam informasi global sama dengan detektif global, oleh karena itu jangan coba-coba bohong. Anda mungkin bisa membohongi sebagian dari masyarakat Bali, tapi tidak dengan masyarakat Bali yang sudah berilmu dan orang-orang Negara maju. Orang Negara maju pokoknya adalah 99% jujur. Sekali mereka tahu bahwa ada kebohongan, maka akan sulit mendapatkan kepercayaannya kembali. Itulah sebabnya mengapa travel warning tetap tergantung tak pernah diturunkan.
2. Tidak pernah berpikir empiris, jika kehabisan akal lari ke dunia maya. Ini adalah ciri khas masyarakat di abad ke-12 yang di Eropah dikenal dengan jaman gelap “ dark age “. Walhasil inilah yang dilakukan oleh Gubernur Bali, karena gelap visinya, maka menginstruksikan seluruh kepala daerah di Bali untuk mengatasi flu burung dengtan melakukan upakara nunas tirta di empat pura yakni di Pura Uluwatu, Pura Geger, Pura Sait, dan Pura Narmada. Intruksi gubernur ini segera ditindaklanjuti oleh kepala daerah yang sekelas dengannya. Contohnya surat edaran Wali Kota no. 454/IX/Kesra menginstruksikan seluruh masyarakat kota Denpasar untuk melakukan upacara untuk mengatasi flu burung. Alangkah menyedihkannya !!!!!!!!!
Jika seperti ini kelas pemimpin yang mengelola Bali, saya pribadi sangat sedih, karena harapan Indonesia untuk melangkah maju mestinya dipelopori oleh Bali di mana masyarakatnya berjiwa pluralis dan terbuka. Namun sayang tidak ada pemimpinnya.
Harapan menjadi hampa