Oleh Gladis Desyani Putri
Candikusuma tidak pernah mengecewakan, dari keunikan maupun pemandangannya.
Sekilas desa di Bali bagian barat ini tampak seperti ladang gersang yang memprihatinkan, penduduk pasif yang membosankan, dan tidak punya daya tarik khusus. Namun, apabila menjelajah lebih jauh, maka hamparan luas tanaman kakao akan ditemukan di Banjar Moding, Desa Candikusuma, Kecamatan Melaya, Jembrana.
Keunikan tidak serta merta tentang fenomena-fenomena aneh semacam supranatural yang sering diekspos media masa kini. Namun, kerja keras dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki juga termasuk keunikan ketika masyarakat lebih senang berada di zona nyaman, khususnya di Banjar Moding.
Kakao merupakan tanaman yang dapat tumbuh di daerah tropis. Cokelat kegemaran generasi milenial dihasilkan dari buah berbentuk oval ini. Terlihat kecil dan kotor, tetapi jika diolah dengan baik maka hasil yang dihasilkan pun tidak akan mengecewakan.
Salah satu hasil inovasi warga yang begitu luar biasa yakni produk cokelat olahan Rumah Cokelat “Ck”.
Cerita dimulai dari Program Inovasi Desa yang bertujuan untuk menonjolkan potensi masing-masing desa di Jembrana. Hal ini juga menjadi ajang untuk mengetahui lebih jauh hal-hal kecil yang kadang terlewat, tetapi kadang menjadi sesuatu yang menarik dari desa itu sendiri.
Di bawah asuhan Ni Sayu Ketut Suartini, kelompok wanita tani di desa ini pun merintis usaha dengan modal tekad serta usaha pada Desember 2019. Mereka mampu mendirikan rumah cokelat. Ni Sayu Ketut Suartini, ibu dua orang anak ini menjalankan peran ganda, sebagai seorang ibu dari dua orang anak, sekaligus ‘ibu’ dari rumah cokelat.
Sayu Ketut mengatakan Rumah Cokelat “CK” mengambil filosofi dari bahasa Bali sekaligus nama Desa Candikusuma. Apabila “CK” dibaca dengan aksen Inggris maka akan menjadi ‘siki’ yang dalam pengucapan orang Bali bermakna satu. Selain itu, CK juga mempunyai kepanjangan Candikusuma. Ibaratnya adalah rumah cokelat pertama di Candikusuma.
Sama seperti sebuah rumah yang menjadi tempat bernaung pemiliknya, maka rumah cokelat ini pun dimaksudkan supaya bisa memberikan tempat berteduh bagi petani kakao di daerah Candikusuma. “Kita sudah punya potensi yang luar biasa, jika tidak dimanfaatkan maka tidak akan berguna,” kata ibu Sayu optimis.
“Candikusuma kebetulan punya kakao, tapi anak-anak malah membeli cokelat buatan luar. Daripada terus hidup konsumtif, kenapa tidak mencoba untuk menjadi produktif?” Sayu menerangkan dengan senyum sumringah. Wajahnya menyiratkan rasa bangga sekaligus haru saat mengucapkannya.
Membangun sesuatu dari nol dan menjadi yang pertama bukanlah perkara mudah. Berkat berbagai dukungan salah satunya dari mantan kepala desa (perbekel), I Wayan Bagiayasa, serta peran perempuan Banjar Moding, kakao akhirnya mampu diolah menjadi cokelat. Ibu Sayu pun turut mengungkapkan bahwa awalnya tidak mengerti dan tidak tahu menau bagaimana cara mengolah biji kakao.
Pelatihan-pelatihan tentang cara mengolah biji kakao fermentasi sampai menjadi cokelat diikuti oleh Sayu beserta dengan ibu-ibu rumah tangga di Banjar Moding, pada November 2019. Pelatihan ini dilaksanakan dua kali: dari desa, dan dari Bank Indonesia.
Rumah Cokelat dapat bekerja sama dengan Bank Indonesia berkat kontribusi dari Sayu dan I Wayan Bagiayasa. Tanpa disangka, Bank Indonesia ternyata memiliki Program Hulu dan Hilir yang selaras dengan tujuan dari pendirian rumah cokelat. Hingga akhirnya di bulan Desember 2019 berdirilah Rumah Cokelat “CK”, tempat bernaung kakao milik Desa Candikusuma.
Meskipun banyak tantangan yang dihadapi, baik dari awal usaha dirintis sampai berjalan hingga saat ini, tetapi keyakinan dan tekad dari penduduk Banjar Moding menjadi landasan utama rumah cokelat bisa menjadi seperti sekarang. Pemasaran sempat terhalang karena wabah COVID-19, penjualan menurun, dan jarak dibatasi tidak membuat semangat ibu Sayu berserta kawan-kawan menurun. Beberapa platform belanja daring pun menjadi sarana pemasaran di masa pandemi.
Berdasarkan sudut pandang saya sebagai orang di luar Desa Candikusuma, kegigihan penduduk dan tekadnya membuat saya terharu dan jengah. Mengajarkan saya bahwa mengeluh tidak akan menyelesaikan apa-apa, hanya menambah beban dalam diri. Sebaliknya, yang harus dilakukan adalah berbuat sesuatu.
Jelajahi kawasan sekitar, berpikir kritis, pantang menyerah, dan pintar membangun relasilah yang seharusnya digencarkan. Terutama di masa pandemi, berdiam di zona nyaman dan bermalas-malasan bukanlah jalan keluar. Seperti representasi ibu Sayu yang seolah mengatakan, “Ini tentang kemauan dan tekad, dibarengi kerja keras. Tidak ada yang mustahil, bahkan untuk kawasan agak terpencil dan jauh dari kota seperti Banjar Moding ini.” [b]
Keterangan: artikel ini dibuat dari hasil kelas jurnalisme warga di Banjar Moding Kaja, Desa Candikusuma, Kecamatan Melaya pada 23-24 Oktober 2020.