Pernah dimarahi Ibu karena bermain hingga kotor?
Program Charcoal for Children (CFC) justru mengajak anak-anak berkreasi dan berimajinasi tanpa peduli kotor. Program di bawah naungan CushCush Gallery ini merupakan bagian dari inisiatif sosial LagiLagi sebagai respon terhadap lingkungan hidup dan sosial di sekitar kita.
Kegiatan ini bersifat non-profit (tidak mencari keuntungan), dimulai dari ide untuk mengolah sisa material sekitar kita menjadi barang yang kembali bernilai dan berguna bagi kehidupan sehari-hari (upcycling program).
Koleksi LagiLagi kemudian dijual melalui bazaar maupun titip jual (consignment) ke berbagai tempat/toko. Keuntungan dari hasil penjualan akan kami olah dan lanjutkan untuk menggelar acara bagi anak-anak (fundraising mission).
“Ini bentuk kontribusi kami terhadap lingkungan,” tutur Sagung Alit Satyari, Asisten Manajer CushCush Gallery.
Program CFC menggabungkan seniman, komunitas kreatif dan anak-anak dengan latar belakang yang beragam, untuk bersama-sama membuat karya kolaborasi yang penuh dengan kreatifitas. Tahun lalu, workshop CFC diadakan dalam tiga sesi yang melibatkan 6 seniman, 35 relawan dan 103 anak-anak dari berbagai sekolah dan organisasi di Bali.
Dalam setiap workshop CFC, setiap peserta workshop menggunakan LagiLagi DIY Charcoal (arang gambar) sebagai medium untuk membuat karya kolaborasi. Pada akhir workshop, karya tersebut dipamerkan dalam DRAWING FUTURE: Charcoal for Children Charity Exhibition Februari 2017 lalu.
Tiga sesi workshop di CFC tahun ini
Arang gambar tetap menjadi medium yang digunakan untuk workshop CFC tahun ini. LagiLagi memproduksi sendiri arang gambar yang terbuat dari limbah kayu asli Indonesia, seperti kayu jati, suar, pinus dan kamper. Sesuai dengan visi LagiLagi, mereka selalu ingin berbagi lagi dan mengolah lagi.
Workshop CFC tahun ini dibagi menjadi tiga sesi yang mengundang tiga seniman/grup pertunjukan. Rangkaian kegiatan diawali dengan workshop bersama kelompok teater pertunjukan asal Yogyakarta, Papermoon Puppet Theater, pada 23 September 2017. Papermoon Puppet Theatre tampaknya penasaran tentang pohon-pohon di Bali yang dipenuhi sesajen dan dililit kain poleng.
Oleh karena itu, mereka pun menggali cerita bersama anak-anak dengan cara yang berbeda, yaitu dengan meminta mereka membuat pohon dan boneka dengan menggunakan charcoal stick, charcoal ink dan barang-barang bekas seperti sisa kayu dan kertas koran. Boneka yang mereka buat harus merepresentasikan tokoh- tokoh yang mereka gambar, dan boneka tersebut akan menjadi makhluk-makhluk yang hidup di pohon seperti apa yang mereka bayangkan sebelumnya.
Sesi workshop CFC kedua diadakan pada 8 Oktober 2017 bersama Kawamura Koheisai (Kohe), seorang musisi, pelukis, serta dalang pertunjukan wayang kontemporer asal Jepang. Kali ini Kohe membuat konsep workshop dengan mengikutsertakan keluarga (orang tua/saudara kandung/paman/bibi/kakek/nenek) dari anak-anak yang menjadi partisipan workshop.
Kohe ingin mengajak anak-anak untuk bercerita dan membuat wayang tentang leluhur mereka, sehingga bantuan dari keluarga sangat diperlukan di workshop ini. Bukan hanya dibutuhkan untuk membantu dalam proses pembuatan wayang, tetapi juga sekaligus membantu anak-anak mereka untuk lebih mengenal siapa leluhur mereka terdahulu.
Sesi terakhir workshop CFC ditutup dengan kegiatan bersama ilustrator asal Bali, Monez dan seniman pertunjukan yang juga seorang arsitek, Adhika Annissa ‘Ninus’. Keduanya berkolaborasi menghasilkan sebuah karya yang menggabungkan seni dua dimensi dan tiga dimensi. Sesi ini dilaksanakan pada 18 November 2017 dengan melibatkan puluhan anak berasal dari Bali dan Papua.
Ninus membuka acara dengan mengajak anak-anak untuk bergerak dalam sebuah permainan. Siapa yang ditunjuk, maka ia harus bergerak sesuai perintah. Permainan ini cukup sukses mencairkan suasana antara anak-anak dan relawan yang bertugas hari itu. Kegiatan dilanjutkan dengan menggambar di dinding yang terlah dilapisi kertas. Anak-anak menggambar sesuka hati hingga menghasilkan karakter monster yang terbentuk dari beragam garis.
Berikutnya, Monez mengenalkan seni topeng dari berbagai daerah di Indonesia. Masing-masing daerah memiliki seni topeng dengan ceritanya sendiri. Beberapa bentuk topeng merupakan gambaran monster yang menakutkan. Dari sini, Monez mengajak anak-anak menggali imajinasi tentang karakter monster.
Pertunjukan amal
Para seniman pertunjukan tersebut telah menggali ide dan mencari inspirasi bersama dengan anak-anak dalam tiga sesi workshop CFC tahun 2017. Hasil dari ketiga workshop itu akan menjadi bagian dari pertunjukan amal yang akan diselenggarakan pada Februari 2018. Hasil penjualan tiket dari pertunjukan tersebut akan dilanjutkan untuk mendanai kegiatan kreatif program Charcoal for Children selanjutnya.
“Melalui kegiatan ini, kami ingin meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya untuk mendukung dan menggali jiwa kreatif anak-anak sejak dini, dengan mengundang seniman dan komunitas kreatif untuk berkumpul bersama dan saling berinteraksi,” ungkap Sagung.
Bagi tim CushCush Gallery, anak-anak dapat meningkatkan rasa kepercayaan diri dalam mengambil risiko, mengeksplorasi pembelajaran, dan menyampaikan pendapat/ ide, jika mereka mendapatkan ruang berekspresi yang bebas. Tak ada lagi batasan karena pengaruh penilaian orang. Hal-hal baik ini akan menjadi suatu hal yang berguna bagi generasi di masa depan.
Ini bocoran awal jadwal pertunjukan amal Charcoal for Children yang akan diselenggarakan pada tahun 2018 mendatang:
2,3,4 Februari : Papermoon Puppet Theatre dan MonezxNinus
23,24,25 Februari : Kawamura Koheisai dan MonezxNinus
Informasi jadwal selengkapnya akan diumumkan di situs CushCush Gallery dan media sosial milik LagiLagi. [b]