Oleh Anton Muhajir
Buku tentang Puputan Badung dari persepektif Belanda dan Bali. Tanpa kesimpulan jadi pilihan mengambang.
Peringatan seabad perang antara Belanda dan kerajaan Badung diperingati di Denpasar, Bali September tahun lalu. Ribuan orang mengiringi arak-arakan Gerebek Aksara sepanjang sekitar 100 km dari Karangasem ke Denpasar. Selain mengarak benda-benda pusaka, termasuk buku Sutasoma dan Negara Kertagama, juga ada parade kerajaan-kerajaan nusantara. Perang yang dikenal dengan nama Puputan Badung itu dikenang sebagai salah satu peristiwa besar, setidaknya bagi warga Denpasar.
Meski dianggap peristiwa besar, catatan sejarah tentang perang pada 20 September 1906 itu termasuk kurang. Kalau toh ada, berupa bahasa Belanda atau geguritan Bali dan Jawa kuno, bahasa yang susah dimengerti sebagian besar orang Bali saat ini. Maka, peneliti sejarah Bali University of Queensland Australia Helen Creese, guru besar Sejarah Asia Erasmus University Rotterdam Belanda Henk Schulte Nordholt, dan dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana Bali Darma Putra menghimpun bahan-bahan tentang Puputan Badung dalam satu buku. Buku itu diluncurkan sehari sebelum puncak peringatan seabad Puputan Badung.
Buku berjudul Seabad Puputan Badung, Persepektif Belanda dan Bali itu menghimpun catatan-catatan resmi tentang Puputan Badung. Laporan dari Belanda, antara lain laporan pimpinan ekspedisi militer Belanda Jenderal Rost van Tonningen, catatan embedded journalist HM van Weede, dan catatan prajurit Cees, yang terlibat dalam perang. Adapun catatan dari Bali yaitu catatan harian juru bahasa I Gusti Putu Jlantik, kidung geguritan Bhuwanawinasa, Babad Arya Tabanan, dan cerita salah satu keluarga raja Badung.
Meski menggunakan kata “Seabad” sebagai judul, buku ini tak memberikan penilaian apa pun atas peritiwa tersebut. Padahal kata “Seabad” menunjukkan adanya proses perjalanan waktu. Toh, Darma, Henk, dan Helen sama sekali tak memberikan kesimpulan, atau setidaknya bahan renungan, atas perang besar itu. Padahal dengan latar belakang yang berbeda, mereka seharusnya mampu memberikan renungan atas perang itu.
Darma Putra, selain aktif mengajar di Fakultas Sastra Universitas Udayana juga aktif sebagai wartawan dan menulis tentang sastra dan kebudyaan Bali. Henk sebagai kepala riset KITLV di Leiden saat ini juga intens meneliti perubahan kebudayaan Bali. Helen sudah menulis artikel tentang Bali di berbagai jurnal internasional. Akan menarik kalau penilaian Darma dari persepektif Bali bisa berdialektika dengan pendapat Henk dari persepektif Belanda dengan Helen sebagai “penengah”.
Nyatanya itu tak ada. Ketiga editor sejak awal sudah menegaskan itu. Penyajian sumber-sumber sejarah di buku ini tidak bertujuan memberikan penafsiran tertentu terhadap Puputan Badung. Analisis dan perenungan moral diserahkan sepenuhnya pada pembaca.
Maka, buku terbitan Pustaka Larasan, Denpasar setebal 196 halaman ini benar-benar hanya kumpulan tujuh sumber tentang Puputan Badung, tiga dari Belanda, empat dari Bali. Dua persepektif itu masing-masing jadi satu bagian disertai satu bagian khusus berisi foto-foto peristiwa.
Pengungkapan dua persepektif itu memberikan catatan dari dua sudut pandang berbeda. Misalnya tentang penyebab perang pertempuran yang berlangsung tak sampai dua jam itu. Versi Belanda menyebutnya karena kerajaan Badung membiarkan penjarahan pada kapal Sri Kumala yang terdampar di Sanur. Ketika diminta membayar denda 3000 ringgit akibat perampasan, raja Badung menolak.
Menurut Tonningen, penyerangan pada raja Badung juga dilakukan karena raja Badung tak mau menghapus adat mesatia, ritual istri raja ikut membakar diri hidup-hidup saat suaminya meninggal sebagai tanda kesetiaan. Penyebab lain berlarut-larutnya masalah perbatasan anatar Badung, Gianyar, dan Bangli. Tiga wilayah yang berbatasan itu sering bentrok.
Namun versi kerajaan Badung, permintaan denda itu hanya alasan yang dicari-cari. Raja Badung menolak tuntutan denda karena telah melakukan penyelidikan dan tidak ada orang Sanur yang merampas isi kapal, bahkan beberapa di antara mereka telah disumpah di Pura Tambang Badung. Bagi raja Badung, bukan besarnya denda yang jadi masalah tapi karena Belanda nyata-nyata menginjak kebebasan atau hak rakyat berupa kejujuran dan kebenaran. [hal 166]
Meski ada perbedaan perspektif, termasuk banyaknya jumlah korban, buku ini sama-sama menceritakan perang itu sebagai tragedi kemanusiaan. HM van Weede, wartawan yang ikut dalam perang menyebut kematian raja Badung dan anak buahnya akan masuk surga sebagai penghargaan atas keberanian mereka. [hal 79].
AA Sagung Putri Agung Kapandyan, yang tulisannya dikutip dalam buku ini memberi gambaran lebih detail tentang matinya kemanusiaan ini. Ada ibu-ibu kehilangan suami, ada bayi kehilangan kasih sayang.. [hal 184].
Dalam setiap perang, kemanusiaan memang selalu jadi korban. Mungkin itu yang bisa jadi kesimpulan. [b]