Jalanan terlihat lengang ketika saya dan Juni, sampai di Rumah Kita, sebuah hotel yang terletak di seputar Pantai Lovina, Singaraja. 20 November 2020 sekitar pukul 3 sore.
Sebenarnya kami terlambat, karena sepanjang perjalanan dari jalur Bedugul-Munduk, hujan lebat dan kabut sungguh tak bersahabat. Sambil melepas seperangkat jas hujan yang kami kenakan, sesekali saya perhatikan lagi ruas jalan di tempat kami menginap itu.
Sunyi. Toko-toko, restoran, dan penginapan masih banyak yang tutup. Di seberang, terlihat seorang bapak dan ibu paruh baya sedang menyapu sambil mengawasi balita (mungkin cucunya) bermain di halaman penginapan yang tutup itu. Saya juga sempat melihat mereka beberapa kali memperhatikan kami. Pikir saya, mungkin mereka sedikit heran melihat ada tamu datang setelah lama sepi akibat pandemi.
Istirahat singkat kami sore itu semakin tak terasa karena harus menyusun agenda, dan memaksimalkan tugas kami sebelum dilahap gelap. Kira-kira rute mana yang akan kami tempuh terlebih dahulu, juga siapa yang memungkinkan kami temui pertama untuk didengar ceritanya. Tentu tentang bagaimana mereka bertahan dan beradaptasi di masa pandemi yang entah akan sampai kapan ini.
Dengan sedikit terburu-buru, kami bersiap.
Mendekati pukul 5 sore. Kembali saya ingin lihat jalanan di depan hotel. Tak jauh berbeda dengan situasi ketika kami baru sampai hampir 2 jam sebelumnya. Hanya terlihat 1-2 kendaraan melintas, termasuk kendaraan dari petugas penyemprotan desinfektan.
Menurut Luh Ami, seorang pedagang, desinfektasi di wilayah Pantai Lovina, memang masih rutin dilakukan sebagai upaya pencegahan COVID.
“Pakai masker iya, tapi kalau jaga jarak atau cuci tangan, jarang. Di sini sempat menyediakan air dan tempat cuci tangan, tapi jarang ada yang mau cuci tangan. Ya kita kan persiapkan saja,” ungkap Luh Ami saat ditemui di warungnya, tak jauh dari lokasi kami menginap. Pedagang yang sudah 2 tahun menjalankan usaha di Lovina ini melanjutkan bahwa sebelumnya, memang ada petugas yang mengharuskan penerapan protokol kesehatan. Namun karena sekarang wisatawan lebih sepi, peraturan itu sudah tidak seketat dulu. “Dulu kalau nggak pakai masker, pasti akan distop sama yang jaga,” imbuh Luh Ami.
Pandemi ini menjadi pukulan tersendiri bagi Luh Ami dan anaknya. Sebab, selain karena usahanya yang baru seumur jagung, mereka juga tidak memiliki pekerjaan lain sebagai alternatif selepas pensiunnya anak kedua Luh Ami dari kapal pesiar.
“Dumun tiang petani. Ada sawah, ada kebun. Di kebun tiang mula pisang, duren sedikit, dan jambu juga. Tapi karena anak kedua saya ngontrak toko ini sejak 2 tahun lalu, kerjanya di sini saja,” jelas Luh Ami, mengenang pekerjaannya sebagai petani. Ketiga anaknya pun tidak ada yang meneruskan. Seperti kebanyakan anak muda di lingkungan Desa Kalibukbuk, anak-anak Luh Ami lebih tertarik pada sektor pariwisata. 2 dari 3 anaknya berpengalaman kerja di kapal pesiar. Sementara si sulung, bekerja sebagai Kadus Kalibukbuk.
Sebelum pandemi, kawasan Pantai Lovina dikunjungi banyak wisatawan mancanegara, di antaranya Amerika, Jerman, dan Jepang. Biasanya Luh Ami membuka kiosnya pukul 8 pagi hingga 9 malam. “Sebelum COVID, penghasilannya sehari bisa Rp1.000.000 – Rp1.500.000. Kalau kain yang laku, bisa lebih banyak lagi,” jelasnya. Di masa pandemi ini, kiosnya tutup jam 4 sore karena sepinya pengunjung.
Selain menjual snack, minuman, dan suvenir, Luh Ami juga menjual kain pantai, dress, dan sarung. Barang-barang inilah yang biasanya digandrungi para wisatawan, sehingga ia jual dengan harga cukup tinggi. “Waktu keadaan normal, biasanya dalam selang waktu 3 bulan sekali, saya akan beli stok kain. Pedagang langganan dari Kumbasari akan membawakan ke Lovina. Biasanya saya belanja Rp10.000.000 – Rp20.000.000,” kenangnya.
Namun apa daya, semenjak COVID menyebar awal Maret 2020, Luh Ami belum membeli stok baru lagi. Hal itu terjadi karena penurunan penghasilan. Penghasilannya sekarang hanya sekitar Rp 200.000 – Rp \250.000 perhari, tidak pernah mencapai setengah penghasilan normal.
Luh Ami bukan satu-satunya yang merasakan dampak ini. Nelayan, pemilik restoran, pemandu wisata, serta pemilik hotel sekitar sana pun turut terdampak. Putu Kusuma, yang kami temui keesokan harinya juga menceritakan hal senada. “Untuk kami sebagai pemilik hotel, karena konsep di sini untuk tamu luar negeri, kami mati total. Di sini tidak ada yang disenangi oleh tamu domestik, tak ada TV. Karena kami konsepnya bukan begitu,” ungkap pemilik hotel Rumah Kita ini.
Pagi itu kami berbincang di salah satu balai. Pada dasarnya hotel ini adalah tempat menginap yang nyaman. Udaranya sejuk dan penuh dengan tumbuhan hijau. Namun tak bisa dipungkiri, cukup jelas terlihat bahwa hotel ini memang sudah lama tidak beroperasi. Rumput-rumput liar yang meninggi terlihat menyelinap di sela tanaman hias. Fasilitas kolam renang pun tidak difungsikan. Di sudut lainnya, sofa berdebu, rak buku, dan peralatan dapur seperti kehilangan gairah.
“Strategi pemeliharaan fasilitas hotel di masa pandemi ini sangat sulit. Saya juga masih mempertanyakan. Kamu tahu, ketika kamu ingin datang, sebenarnya sulit juga. Di satu sisi saya ingin ada orang, di sisi lain kami belum siap, karena ini harus dibersihkan,” ungkap Putu Kusuma pada saya dan Juni.
“Saya kehilangan akal, sehingga untuk kehidupan sehari-hari cukup bersyukur saja,” tambahnya. Di tengah penurunan kondisi ekonomi ini, Putu Kusuma merasa masih beruntung, sebab istrinya yang berprofesi sebagai guru, masih mendapatkan honor yang bisa mereka manfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari. Selain itu, Putu Kusuma juga menggeluti hal lain di luar pariwisata yang masih bisa dia usahakan selama pandemi ini, yaitu membuat film dan hal kreatif lainnya.
Putu Kusuma melanjutkan, bahwa segala keterbatasan, akan meletupkan ide-ide liar yang harus ditangkap. “Ketika kamu ingin membuat film dengan 2 orang, bisa. Film dengan lokasi 1 tempat, bisa. Ide-ide festival online itu sebenarnya bagus sekali. Mendorong kita untuk jadi lebih kreatif dengan segala keterbatasan,” terang Putu Kusuma.
Berbagai usaha dilakukan oleh Putu Kusuma agar tetap bertahan di masa sulit ini. Misalnya dengan memenuhi kebutuhan sesuai anggaran yang ada, menghitung keperluan dengan skala prioritas, dan berpikir keseimbangan mana yang harus dilakukan. Beruntungnya lagi, para staf hotelnya juga mempunyai hal yang lain yang dikerjakan semasa pandemi. Mereka yang kebanyakan berasal dari Desa Tigawasa, sedang panen cengkeh dan berhasil menjualnya dengan harga yang layak.
Sejalan dengan itu, Luh Ami juga melakukan penyesuaian dalam menjalankan roda usahanya. Jika sebelum pandemi harga produk dibedakan antara wisatawan lokal dan mancanegara, di masa pandemi ini akhirnya harga disamaratakan. Itu terpaksa dilakukan agar produk-produknya tetap terjual. Menyadari dampak pandemi ini begitu besar hingga anak bungsunya tidak bisa berangkat lagi ke kapal pesiar, akhirnya ia memilih membangun usaha rumah kos di Kalibukbuk.
“Kalau terus COVID, terpaksa (balik lagi ternak babi dan bertani). Kalau sekarang tunggu saja dulu, siapa tahu tamunya mulai normal. Kanggoang tunggu dulu setekan tamune,” kata Luh Ami pasrah dan tetap berharap wisatawan akan kembali datang.
Luh Ami juga menerangkan bahwa pandemi ini berpengaruh pada banyak hal. Tak hanya ekonomi, tetapi juga kehidupan bermasyarakat. Sebagai bentuk adaptasi dari kondisi ini, di banjarnya pun mengikuti peraturan yang dianjurkan pemerintah untuk mengurangi kerumunan. Kegiatan keagamaan dan kepentingan adat yang biasanya dilakukan seluruh warga, kini harus dibatasi jumlah orangnya.
Ngerodok
Putu Kusuma beranggapan, pandemi ini membuatnya belajar. Industri pariwisata sangat masif di Bali, tapi tidak diimbangi dengan sektor yang lainnya. “Kita tidak kapok-kapok. Pertanyaannya, apakah Bali akan terus di pariwisata yang “bergantung” pada orang atau kita mulai tergantung pada diri kita? Banyak yang bisa digali, ada pertanian dan yang lainnya,” pungkasnya.
Denpasar, apalagi Kuta, menurut Putu Kusuma sangat bergantung pada pariwisata. Tapi kalau kita lihat daerah lain seperti Jembrana, Buleleng, atau Karangasem, yang tidak semua orang menggantungkan secara langsung kehidupannya pada pariwisata, mungkin masih ngerodok, masih agak hangat. Karena mereka bertani. Ini yang perlu dipertimbangkan. Apakah kita akan mati-matian bertahan di pariwisata atau kita berpikir ke arah lain?
“Kenapa orang ke Bali? Kalau kita sudah mengerti, kita akan mengerti apa yang terpenting. Saya pikir orang ke Bali itu untuk melihat budayanya, cara hidupnya, ketenangan, keseimbangan hidup. Untuk melihat pertaniannya. Kalau itu kamu hilangkan, ya, untuk apa mereka kemari? Yang akan ada, kita hanya dijadikan tempat untuk hura-hura mereka,” tutupnya.