Oleh Luh De Suriyani
Petugas paramedis atau perawat pasien orang dengan HIV/AIDS (Odha) mengaku tak takut bekerja melakukan tugas keperawatan. Yang membuat mereka selalu awas adalah menjaga kerahasiaan pasien dari kerabatnya yang belum tahu, karena status HIV seseorang bersifat rahasia.
Di sebuah ruangan, lima perawat, tiga perempuan dan dua laki-laki tengah melakukan tugas rutinnya. Sebagian dari petugas paramedis itu berusia 18 tahun. Maklum mereka tengah menjalani tugas praktek semester II di sekolah keperawatannya.
Sal di Rumah Sakit (RS) Sanglah ini diperuntukkan bagi pasien dengan penyakit tropik seperti tuberkulosis (TBC), flu burung, dan lainnya. Pada akhir Juni lalu, sebagian pasien yang terinfeksi TBC diidap orang dengan HIV/AIDS (Odha).
TBC, kini disebut TB saja adalah salah satu penyakit yang mudah menghinggapi orang dengan sistem kekebalan tubuh rendah. Karena itu kebanyakan Odha terpapar TBC karena HIV menyerang sel darah putih yang bertugas menahan gempuran penyakit pada tubuh kita. Banyak Odha yang meninggal akibat infeksi oportunistiknya seperti TBC atau kompikasi penyakit lainnya.
Tak semua pasien di ruangan itu yang mengidap TB adalah Odha. Namun sal ini menuntut perawat disiplin menerapkan standar pencegahan universal atau universal precaution (UP) karena jenis penyakit pasien mudah menulari orang lain.
Kondisi ini tak membuat lima perawat itu tegang. Mereka terlihat rileks sambil kadang bercanda kecil di sela-sela tugasnya. Buku catatan dan tindakan medis untuk masing-masing pasien menjadi panduan mereka. Misalnya ada yang menyuntikkan obat di cairan infus, memeriksa denyut nadi dan mengecek obat pasien.
Ari, 18 tahun, salah satu perawat itu tengah mengecek denyut nadi Wayan, nama samaran, salah satu pasien Odha. Wayan saat ini telah berada pada fase AIDS, suatu kondisi ketika sekumpulan gejala penyakit atau infeksi oportunistik telah menyerang akibat HIV dalam tubuh yang terus meluas. Bisa diperkirakan Wayan telah terinfeksi HIV 5-10 tahun yang lalu.
Perempuan muda ini baru dua bulan bertugas di sal ini. Ia terlihat tak canggung sama sekali merawat Wayan, memegang tangannya yang tertancap jarum infus kemudian membalik untuk memasang alat pengukur denyut nadi.
Secara fisik, Wayan memang terlihat menyedihkan. Tubuhnya kurus, nafasnya terdengar tak teratur. Ia terlihat tak langsung bisa merespon pertanyaan dari perawat atau istrinya yang setia menjaganya hampir seminggu ini di sal itu.
Walau baru dua bulan praktek di sal ini, Ari mengaku tak takut bertugas merawat setiap pasien dengan penyakit menular seperti TB, hepatitis C, dan penyakit tropik lainnya. Malah ia merasa lebih aman praktek di tempat ini karena standar pencegahannya dilaksanakan dnegan disiplin tinggi.
Seluruh perawat dan petugas lain di sal ini terlihat menggunkan masker penutup hidung dan mulut. Perlengkapan ini adalah beberapa tindakan UP.
“Belum tentu di sal lain, perawatnya seperti ini,” katanya sambil tersenyum. Padahal standar pencegahan atau UP ini harus dilakukan oleh semua petugas medis dan paramedis di rumah sakit dengan pasien penyakit apa pun. Komentar yang sama juga dikatakan Janur, perawat pria teman akademi keperawatannya.
Kenyataan ini bertolak belakang dengan citra sal ini di antara teman-teman akademi keperawatannya. Ari dan Janur mengaku diejek temannya karena mendapat praktek di sal khusus penyakit tropik ini. ”Hayo, dapat di nusa indah, ya?,” demikian sindiran temannya menakut-nakuti Ari.
Sal Nusa Indah di antara petugas medis memang lebih dikenal sebagai ruang perawatan Odha. Padahal, tak hanya penyakit akibat infeksi HIV yang dirawat. Persepsi ini akibat kuatnya stigma soal HIV/AIDS di masyarakat.
HIV dianggap infeksi mengerikan. Padahal yang muncul akibat HIV adalah gejala penyakit pada umumnya seperti diare, TB, dan hepatitis C. Orang yang tak kena HIV pun banyak yang mengidap penyakit tersebut.
Karena itulah, Ari, Janur, dan perawat lainnya merasa lebih aman bekerja di sal ini karena standar pencegahannya tinggi. Inilah yang dirasakan Agnes, 24 tahun. Ia baru tiga bulan bertugas di sal Nusa Indah, pindahan dari sal Mawar.
Bekerja di Nusa Indah membuka wawasannya bahwa semua pasien dengan penyakit apapun harus ditangani dengan kewaspadaan tinggi. Ia merasa lebih terlindungi karena pasien telah diketahui pasti riwayat medisnya. Hal ini yang mengurangi ketakutan yang dirasakan sebelumnya.
Pun demikian, bertugas di sal perawatan penyakit tropis memerlukan stamina dan mental yang tinggi. Muriyani, 32 tahun, sudah merasa jenuh bertugas di sal ini. Ia hampir tiga tahun merawat pasien disini. ”Takut juga tertular TB,” ujarnya.
Berbeda yang terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah Buleleng. Di rumah sakit yang terletak di Kabupaten Buleleng, kabupaten paling utara Pulau Bali ini, pada akhir Juni lalu baru ada tiga pasien Odha yang dirawat.
“Di rumah sakit ini, tidak ada perawat yang khusus merawat Odha. Odha bisa dirawat di ruang mana saja. Jadi semua perawat harus siap. Perawat yang di sini harus siap menerima kondisi apapun,” tegas Joanna Kristianty, salah seorang perawat yang juga Kepala Ruangan Jempiring RSUD Buleleng.
Joanna termasuk salah satu perawat di RSUD Buleleng yang cukup sering merawat Odha. Seperti yang dilakukannya pagi itu. Bermodal senyum yang menyapa hangat, Joanna Kristianty menemui satu persatu pasien di ruang rawat inap Jempiring Rumah Sakit Umum Daerah Buleleng. Ada 16 pasien di ruangan cukup luas itu, yang harus disapanya. Tiga diantaranya, diketahui terinfeksi HIV.
“Selamat pagi. Gimana, sudah enakan?” sapa perempuan Sunda yang bersuami orang Bali itu. Sapaan yang sama disampaikan kepada semua pasien di salah satu dari dua ruangan besar yang ada di Sal Jempiring itu. Juga ketika Joanna sampai di bed paling tengah, tempat salah seorang pasien Odha terbaring lemah. Sebut saja namanya Made Karsa. Sudah beberapa minggu belakangan, Karsa bolak balik rumah sakit akibat sesak nafas yang dialami. Beruntung, HIV belum menggerogoti tubuh Karsa. Badannya masih kelihatan padat berisi. Ketika disapa Joanna, ia pun bisa merespon dengan cepat. ”Bu, tolong infusnya,” pinta Karsa kepada Joanna. Rupanya, selang infusnya tak berfungsi dengan baik. Sedikit sentuhan tangan Joanna, melegakan Karsa. Sakit di tangannya akibat selang infus yang mampet, kini mulai berkurang. Dengan bantuan sang istri, Karsa kembali berbaring dengan sedikit kelegaan.
Dan, Joanna pun meneruskan langkahnya pada pasien-pasien lain. Termasuk salah seorang pasien Odha perempuan, yang diduga terinfeksi HIV dari suaminya. Perempuan itu tampak sumringah. Rupanya, ia sedang menunggu jemputan keluarganya. Setelah lebih dari seminggu dirawat, hari itu ia diperbolehkan pulang ke rumah.
“Jadi pulang hari ini?“ tanya Joanna, dijawab dengan sebuah anggukan dan senyuman lebar. “Iya deh. Selamat ya,“ ujar Joanna sambil berlalu. Ia pun ke luar ruangan, mengerjakan beberapa kewajibannya yang lain.
“Begitulah. Nggak ada yang tahu kalau mereka kena HIV. Karena semua kami perlakukan sama,” tegas Joanna kepada Kulkul, beberapa saat setelah meninggalkan ruangan. Bagi Joanna, merawat Odha tak ada bedanya dengan merawat pasien lain yang tanpa HIV, atau bahkan pasien yang tidak mengetahui status HIV-nya. Dalam sehari, rata-rata ada dua sampai tiga Odha yang harus dirawat di Jempiring.
Meski demikian, tetap ada kesan beda di benak Joana, kala menghadapi Odha. Ini terutama karena kondisi psikologis Odha yang sangat mempengaruhi kondisi fisiknya. ”Jarak antara hidup dan kematian itu kayaknya tipis sekali. Pagi kita anggap dia sehat, masih bisa bercanda dengan kita, sore dia sudah meninggal. Itu yang kadang-kadang agak aneh buat kita.
Dampak psikologisnya sangat besar mempengaruhi fisiknya. Jadi pasien-pasien odha ini meninggalnya bukan karena infeksi oportunistiknya, tapi gangguan psikologisnya,” terang Joanna.
Belum lagi, Joanna dan perawat lain juga kerap harus merawat Odha yang itu-itu juga. Ketahanan tubuh yang lemah, ditambah tekanan psikologis yang kuat, membuat beberapa Odha harus bolak balik dirawat hanya dalam hitungan hari atau minggu. Bahkan, ada Odha yang dirawatnya sampai 1,5 bulan dan kemudian meninggal.
Luh De Suriyani dan Komang Erviani, diterbitkan di Tabloid Kulkul, edisi 30/Juli 2007