Menolak atau diam adalah dilema bagi sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini.
Peristiwa itu tergambarkan dalam film dokumenter berjudul Sexy Killers. Saya menyaksikan film ini pertama kali pada Sabtu akhir April lalu di Desa Celukan Bawang, Kabupaten Buleleng, Bali. Desa ini menjadi salah satu lokasi yang muncul di film tersebut.
Revolusi Industri 4.0, pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan lain-lain, sudah menjadi terminologi yang dapat merangsang keinginan beropini bagi para penikmat dunia akademik dan politik di Indonesia. Tak terkecuali para akademisi dan aktivis lingkungan hidup di Pulau Bali.
Bali, salah satu destinasi wisata terpopuler dunia, nampaknya terlihat keteteran menghadapi Revolusi Industri 4.0.
Jutaan wisatawan yang setiap tahun hadir di Bali memiliki alasan tersendiri, mengapa memilih Bali sebagai tempat berlibur. Alasan paling populer karena keindahan pantai dan keasrian terumbu karangnya. Terik matahari di pesisir pantai ataupun keindahan terumbu karang di bawah laut adalah dua dari beragam keindahan alam yang dipertontonkan Bali kepada masyarakat internasional.
Lalu apa yang mengakibatkan alam di pulau Bali tetap indah di tengah gejolak pembangunan nasional negeri ini? Jawabannya ada pada filosofi masyarakat Bali itu sendiri yaitu Tri Hita Karana. Konsep filosofi yang menjadi kunci keseimbangan antara hubungan-hubungan yang saling berkaitan: dengan Tuhan sebagai pencipta alam semesta, manusia sebagai mahluk mulia ciptaanNya dan alam sebagai habitat untuk seluruh mahluk hidup yang ada di bumi yang kita cintai ini.
Namun apakah filosofi itu sudah das sein atau konkret sepenuhnya dalam kehidupan masyarakat Bali? Pertanyaan itu menjadi polemik beberapa tahun terakhir ini.
Untuk hubungan sesama manusia, Bali sangat kokoh dan solid. Perbedaan dan sekat yang mencolok antarmasyarakat dari aspek sosial, budaya dan agama, nampak tidak menghalangi penduduk di Pulau Bali untuk saling berinteraksi dan bertenggang rasa. Sebab, perbedaan-perbedaan dalam diri manusia adalah sama di hadapan Tuhan dan toleransi terhadap perbedaan antarmanusia menjadi hal lumrah.
Mungkin alasan seperti itu yang disebutkan secara verbatim oleh Pak Kuwi, salah satu tokoh masyarakat di Desa Celukan Bawang. Pak Kuwi begitulah sapaan akrab warga Desa Celukan Bawang yang muncul beberapa menit dalam film dokumentasi Sexy Killers. Beliau menyatakan bahwa hubungan antarwarga di Celukan Bawang masih baik-baik saja bahkan amalgamasi antarpenduduk yang berbeda agama di Celukan Bawang adalah hal biasa di tengah ketar-ketir konflik sosial yang acapkali muncul di dalam ataupun di luar negeri.
Maka dapatlah dikatakan bahwa hubungan antarpenduduk yang mencakup hubungan sosial dan religi di pulau Bali masih sejalan dengan Konsep Tri Hita Karana.
Kesulitan
Lalu apakah hubungan dengan Alam masih berjalan dengan baik atau terjadi sesuatu yang menyebabkan hubungan dengan alam terasa semakin renggang di tanah Bali?
Pertanyaan tersebut bisa terjawab apabila kalian menemui langsung para nelayan di Desa Celukan Bawang, Buleleng, Bali. Pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Celukan Bawang yang dibangun di pesisir pantai adalah biang masalahnya. Pembangunan PLTU di sekitar pantai mengakibatkan para nelayan Celukan Bawang semakin kesulitan mencari ikan. Ikan enggan merapatkan jaraknya dengan para nelayan semenjak PLTU tersebut dibangun.
Padahal hanya ikan yang dapat menentukan penghasilan para nelayan. Besar kecilnya tangkapan ikan tergantung keadaan lautnya, apakah bersih atau tidak, apakah masih ada terumbu karang atau tidak. Namun, kini ikan menjauh dari laut Celukan Bawang karena terumbu karang sebagai habitat ikan dirusak oleh jangkar kapal tongkang pengangkut batu bara.
Ikan yang menjadi pemasok makanan sumber kecerdasan orang Jepang dalam berpikir dan bertindak, nampaknya tidak begitu dihargai di negeri ini.
Dampaknya, kini ikan semakin menjauh dari kehidupan anak-anak Indonesia. Orangtua mereka akan berpikir dua kali untuk membeli ikan di warung karena harga ikan semakin melunjak di pasaran. Hal itu karena nelayan semakin kesulitan untuk mencari ikan di laut yang tercemar.
Mungkin karena masalah ini pula, anak-anak Indonesia semakin menurun kemampuannya dalam memecahkan soal-soal matematika. Hal itu terbukti dari semakin menurunnya rerata nilai ujian nasional (UN) di tingkat SD, SMP, ataupun SMA.
Penerapan sistem Hight Orders Thingking Skills (HOTS) yang dilakukan Ahli Riset Pendidikan nampaknya gagal dicerna oleh murid-murid di Indonesia. Koordinasi antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan terlihat sangat tidak koordinatif dalam memecahkan permasalahan ini. Padahal sangat jelas ada hubungan erat antara dua variabel masalah tersebut.
Entah mereka sadar atau tidak, tapi nampaknya mereka sibuk mencitrakan lembaga mereka agar fit and proper dengan situasi negeri yang semakin banyak proyek pembangunannya tetapi semakin sempit cara berpikirnya. Mereka membangkitkan listrik di seluruh wilayah tetapi mereka menurunkan moral dan cara berpikir masyarakatnya.
Mungkin itu pesan yang tersampaikan dari kondisi dan situasi alam kita saat ini.
Bagaimanapun pembangunan yang tidak memerhatikan dampak lingkungan serta merusak alam adalah musuh kita bersama dan itu tidak bisa kita tolerir terus-menerus, PLTU Celukan Bawang adalah satu dari ratusan proyek yang tidak sejalan dengan konsep Tri Hita Karana, apabila tahap-tahap pengembangan PLTU tersebut semakin gencar dilakukan maka jangan salahkan alam apabila nanti ada bencana yang menghampiri.
Bali adalah rumah bagi alam yang bersih dan asri, udara yang segar tidak bisa diproduksi dari cerobong asap PLTU ataupun kilang minyak batu bara. Praktisi hukum seperti hakim dan legislator di gedung DPR harus menyadari sedini mungkin bahaya yang terjadi apabila peningkatan produksi limbah dan pencemaran semakin banyak diproduksi di negeri ini.
Sebenarnya masih banyak keluhan dan jeritan dari masyarakat yang menjadi korban dari mega proyek pembangunan di negara ini, seperti yang terjadi pada para nelayan di Celukan Bawang. Keluhan dan jeritan dari masyarakat Indonesia nampaknya berbanding lurus dengan banyaknya permintaan kerja sama ekonomi pemerintah Indonesia kepada pemerintah China.
Namun, sebesar apapun kerusakan di Indonesia akibat pertambangan, para aktivis lingkungan akan selalu menyuarakan kebenarannya. Tulisan ini menjadi satu bukti nyata dari pengalaman langsung berdialog dengan masyarakat Celukan Bawang.
Pesan saya untuk para petinggi di negeri ini, siapapun dia, apapun tugasnya, tolong, lindungilah alam kita seperti alam melindungi kita. Dan untuk para aktivis lingkungan yang dengan lantang menyuarakan perlawanan terhadap perusahaan tambang dan konglomerat tanah di Indonesia, saya kutipkan pendapat filsuf dari Jerman Friedrich Nietzsche: “Siapa saja yang bertanding melawan monster harus bisa memastikan bahwa dalam prosesnya, dia tidak akan berubah menjadi monster. Dan jika Anda menatap cukup lama ke dalam jurang, maka jurang akan menatap kembali Anda.”.
Pesan tersebut silakan tafsirkan dengan pemahaman masing-masing dan yakinkanlah bahwa perjuangan untuk melindungi alam akan terus berlanjut. [b]