Bermodal keyakinan dan Rp 15 juta untuk melawan pragmatisme politik. Bisakah?
Nama saya I Wayan Dudik Mahendra. Tahun ini saya ikut menjadi caleg DPRD Kota Denpasar dari partai Nasdem dengan nomor urut 12 untuk daerah pemilihan Denpasar Selatan.
Ini kali pertama saya maju sebagai caleg. Tetapi, saya mulai ikut dalam politik praktis sejak 2009 dengan menjadi pengurus kecamatan sebuah partai yang dipimpin seorang raja, saat itu masih calon raja, Majapahit.
Saya memilih bergabung dengan partai PNIM karena partai ini identik dengan sebuah partai besar zaman dahulu di Bali. PNIM memiliki dua sisi dalam sejarah perpolitikan negeri ini. Di tahun 1966 partai inilah yang sangat terkenal sebagai penumpas mereka yang dicurigai sebagai orang komunis. Tameng, istilah untuk menyebut mereka yang membunuh para tercuriga komunis.
Menjelang tahun 1980, justru anggota dan pengurus partai inilah yang menjadi sasaran kuningisasi.
Dari cerita yang saya dengar, orang-orang partai ini seperti mengalami apa yang kita sebut perputaran roda nasib dan roda zaman. Di tahun 1966, mereka ikut mengejar dan menangkapi orang-orang yang dicap komunis. Namun, di tahun 1980-an, merekalah yang dikejar dan diintimidasi. Nasib yang mereka terima mirip dengan keluarga yang kadung tercatat sebagai komunis, meskipun masih lebih baik dalam beberapa hal.
Peritiwa 1966 dan peristiwa 1980-an ini meninggalkan trauma dan dendam di hati warga tempat tinggal saya. Trauma ini membuat politik menjadi satu hal yang tidak dilirik lagi oleh orang-orang yang berusia di atas saya.
Politik No, Ekonomi Yes… Doktrin ini mampu membuat lingkungan kami hampir kuning total dalam setiap pemilu. Hanya ada beberapa keluarga yang masih nekat mengibarkan bendera merah. Meski mendapat intimidasi mereka tetap ngotot memegang idealism politiknya. Hasilnya, setiap menjelang pemilu rumah mereka sering menjadi sasaran lemparan batu dari oknum-oknum yang tidak pernah kelihatan.
Perubahan Besar
Maka ketika kuliah di Fakultas Sastra Unud sejak 1995, saya tertarik dengan para senior yang seenaknya menjelekkan pemerintah, mengumbar bobroknya rezim Orde Baru. Sesuatu yang tidak ada di lingkungan saya.
Ini membuat perubahan besar dalam pola pikir saya. Saya mulai melihat kejadian-kejadian di sekitar dengan lebih kritis. Hingga tahun 1997 mulai muncul demo-demo mahasiswa. Saya tentu ikut, walau hanya sebagai pelengkap. Ini masih hal yang tidak lazim bagi lingkungan saya.
1998 rezim Orba tumbang, digantikan Rezim Reformasi. Tetapi saya ingat eufora saat itu begitu hebatnya. Hingga mahasiswa yang menjadi penggerak reformasi seperti lupa akan tugas selanjutnya setelah kemenangan tersebut. Mahasiswa tidak menyiapkan pemimpin untuk mengawal reformasi kepada tujuan yang lebih besar.
1999 drama reformasi dimulai. Megawati sebagai representasi perlawanan terhadap Orba waktu itu dengan partainya berhasil memenangi pemilu. Di Bali hampir menang mutlak. Tetapi dalam sebuah dagelan politik reformasi, partai pemenang gagal mengantarkan pemimpinnya menjadi presiden.
Bali kembali membara. Pohon perindang jalan ditumbangkan, gedung pemerintahan dibakar dendam yang telah mengendap lama meledak dan Bali pun lumpuh. Para pengusung merah marah pada pemerintah yang dianggap masih dikuasai golongan kuning.
2004 aku melihat sebuah romantika mega terulang. Sosok tertindas dan santun muncul pada seorang jendral yang sukses menjadi presiden. Politik di lingkunganku sudah lebih cair. Hanya saja, mereka yang berpolitik masih sedikit. Trauma politik masih kuat sehingga kami hanya menjadi pengembira dan penyumbang suara saja.
Tahun 2009 terjadi perubahan besar dalam sistem politik kita. Partai yang ikut pemilu sangat banyak. Proporsional terbuka atau tarung bebas membuat orang lebih semangat untuk ikut maju sebagai caleg. Dengan banyaknya partai politik yang muncul tentu memerlukan banyak caleg juga. Sehingga muncullah politikus-politikus asal comot. Kriteria caleg untuk mewakili rakyat sudah tidak jelas, asal punya ijazah SMA dan berduit bisa jadi caleg.
Mafia Politik
Saya diajak masuk partai oleh salah satu caleg dari banjar sebelah. Rupanya dia berharap saya bisa membantu mendapatkan suara untuk dirinya. Saya pun ditunjuk menjadi ketua pemenangan untuk kota Denpasar. Di sinilah saya belajar tentang wajah politik bangsa ini. Sebuah sistem tarung bebas ini membuat mereka yang berduit dan berotot bisa menjadi wakil rakyat yang terhormat.
Asal tahu saja, pada periode ini ada beberapa anggota dewan terpilih bahkan tidak berani memimpin rapat apalagi berpidato di depan masyarakat umum.
Di sinilah saya mulai memiliki pemahaman, telah terjadi periodisasi politik sejak bangsa ini merdeka. Pertama politik ideologi, ini dimulai tahun 1945 hingga 1966. Pada zaman ini, dari yang saya dengar dan perhatikan, orang-orang yang ikut partai politik atau menjadi anggota underbow-nya akan menjalankan ideologi partai dengan konsisten. Yang nasionalis akan sangat nasionalis, yang religius pun begitu, juga yang komunis.
Kedua, politik pemaksaan atau rekayasa ini dimulai sejak 1967 hingga 1998. Saat ini orang dipaksa untuk memenangkan salah satu peserta pemilu. Partai politik dikerdilkan. Partai beridelogi nasionalis dilebur paksa jadi satu. Partai berbasis agama berfusi juga menjadi satu. Keduanya hanya sebagai pelengkap prasyarat pemilu yang demokratis. Kampus bebas dari segala politik praktis. Slogan politik no, ekonomi yes menggelegar.
Ketiga, politik reformasi, sebuah sistem politik yang sedang mencari bentuknya yang baru. Pada saat ini dunia politik kita seperti kehilangan bentuk. Periodenya dimulai tahun 1999 hingga menjelang 2009.
Hingga akhir munculah bentuk keempat yaitu politik pragmatis. Politik yang menghalalkan segala cara demi meraih kekuasan, mungkin pikiran Machiavelli dalam The Prince-nya diterjemahkan dengan vulgar saat ini. Sehingga transaksional politik, pelacuran politik dan mafia politik begitu berkuasa. Politikus berubah menjadi koruptor begitu mudah dan jumlahnya juga banyak.
Selesai pemilu 2009, saya tidak aktif lagi di partai. Karena saya tahu suara banjar saya ternyata mampu untuk melahirkan satu anggota dewan. Jadi aku ingin tahun 2014 di banjar saya akan bisa memiliki satu warganya untuk dijadikan wakil yang benar-benar bisa merebut hak kami.
Karena dalam sejarah pemilu negeri ini, hanya banjar kami yang tidak pernah memiliki anggota dewan. Akibatnya, kami jarang mendapat bansos dan juga paling terakhir mendapat jatah perbaikan infrastruktur. Saya pun siap menjadi tim sukses buat banjar, tidak peduli apapun partainya.
Karena ada tiga orang yang ikut dalam perhelatan pemilu 2009 semuanya dari partai yang berbeda maka saya pun memutuskan melepas atribut partai agar lebih bebas mendukung warga sendiri.
21 April saya mendapat berita, bahwa satu-satunya bakal calon yang maju mewakili banjar kami untuk pemilu 2014 dicoret partainya. Saya panik. Saya pun memutuskan untuk maju sebagai bakal calon. Saya bersyukur juga karena di tempat kerja, saya sempat ditawari seminggu sebelumnya untuk ikut maju sebagai caleg. Pertama di Nasdem dan kedua di Hanura. Saya tidak berminat pada kedua partai itu. Saya ogah masuk partai sakit hati. ?
Ketika dua tahun lalu Nasdem dideklarasikan, saya memandangnya dengan sinis. Apalagi ini??? Semangat restorasi seperti apa? Lha wong pendirinya saja bekas pentolan partai kuning, lebih parahnya gara-gara kalah perebutan ketua umum lalu membuat partai baru jadi tidak beda dengan Gerindra dan Hanura.
Saya menyebutnya partai sakit hati. Setidaknya itu alasan saya menolak diajak bergabung ke partai Nasdem saat itu.
Dalam pikiran saya, ini masa politik pragmatis. Tidak peduli apapun partainya yang penting bisa maju agar banjar saya memiliki caleg untuk dipilih. Saya pun memilih Nasdem. Karena tidak mungkin memilih Hanura yang dipimpin Jendral, sepertinya bangsa ini tidak begitu mulus dipimpin oleh para jendral…
Menimbun Kekayaan
Kehidupan bernegara tidak bisa dilepaskan dengan politik. Perjuangan untuk kesejahteraan bersama ditempuh melalui jalur politik. Politik ini bukanlah tujuan, hanya jalan untuk mencapai tujuan. Dengan berpolitik, melalui jalur politik, tentu targetnya adalah masuk ke lingkar kekuasaan.
Dengan memegang tampuk kekuasaan maka pengerahan secara optimal segala potensi suatu daerah atau Negara bisa dilakukan untuk mewujudkan sebuah masyarakat yang sejahtera.
Sayangnya, sejak reformasi berhasil menumbangkan rezim Orba, politik justru hanya bergerak hingga mencapai kekuasaan. Sesampainya para politikus pada titik ini yang kita saksiskan adalah memaksimalkan segala cara dan upaya untuk menimbun kekayaan bagi diri sendiri dan kelompok kecilnya.
Saat ini telah terbentuk dalam opini masyarakat secara umum, untuk masuk jalur politik perlu uang yang besar. Transaksional politik yang lebih vulgar disajikan dengan jelas, bahkan dalam kampanye terbuka yang diliput media masih ada caleg yang dengan pongah membagi-bagikan uang. Melakukan money politic yang jelas-jelas tindakan terlarang.
Tetapi inilah Indonesia, ada yang ditegur oleh Panitia Pengawas tetapi lebih banyak lagi yang melenggang tanpa tersentuh.
Biaya politik menjadi begitu mahal. Triliunan uang Negara untuk menggelar hajatan pemilu dan pemilu kada begitu pula triliuanan uang para caleg harus keluar di saat kampanye. Sayangnya bukan untuk menghasilkan sebuah sistem pemerintahan yang kuat untuk mewujudkan kesejahteraan bersama, yang tersaji justru perlombaan mengambil kekayaan Negara untuk kepentingan pribadi.
Kisah BLBI, Bail out Century, kasus Hambalang, impor sapi dan dana haji adalah beberapa kelumit cerita kelam praktik politik hitam di negeri ini.
Hal ini tidak bisa dibiarkan terus terjadi, karena pasti Negara akan melarat dan rakyatnya akan sekarat.
Pilihannya adalah terus berteriak dari luar, berkarya di luar sistem dan melihat pemiskinan terhadap kehidupan bernegara ini terjadi atau berjibaku masuk ke dalam sistem politik ini dengan segala tantangannya utnuk menghentikan segala kebohongan para politikus yang sedang berkuasa. Pilihan saya ada pada yang kedua.
Pilihan ini muncul sesungguhnya diinspirasikan oleh keberhasilan Jokowi Ahok dalam memenangi pilkada DKI Jakarta. Bahwa politik masih memberi ruang buat orang-orang yang mau bekerja dengan benar demi kesejahteraan rakyat.
Surat Ahok yang mengajak kaum muda untuk mau terjun ke politik semakin membuat saya mantap memilih terjun sebagai politikus dan maju sebagai caleg, tidak lagi hanya sebagai tim sukses dan pengembira. Munculnya pemimpin-pemimpin seperti Jokowi, Risma, Ridwan Kamil dan Rai D Mantra semakin meyakinkan hati ini, bahwa masih ada harapan yang besar dari Negara ini untuk lepas dari penjajahan oleh kelompok anak bangsa sendiri.
Membulatkan Tekad
Sakit hati adalah hal pertama yang saya dapatkan setelah resmi muncul dalam daftar calon sementara KPU. Beberapa teman yang awalnya mendorong untuk maju sebagai caleg malah masuk sebagai tim sukses orang lain. Alasannya jelas di sana ada uang yang banyak, sementara saya hanya berbekal pemikiran dan semangat untuk berbuat bagi masyarakat sekitar.
Padahal mereka ini dulu pernah saya ajak bersama-sama melakukan demo terhadap pungli di sekolah yang ada di lingkungan kami. Mereka juga telah melihat bahwa pungli di sekolah itu terjadi karena kita semua diam dan ketika kita bergerak bersama ternyata pungli itu bisa dihentikan. Karena telah membulatkan tekad, saya pun jalan terus.
Bersyukurnya adalah partai yang saya pilih sebagai kendaraan politik tidak membebani para calegnya dengan sumbangan-sumbangan untuk partai. Maka ketika Daftar Calon Tetap (DCT) diumumkan, nama saya pun tetap tercantum sebagai salah satu caleg dari partai Nasdem dengan nomor urut 12.
Pemilihan nomor urut paling bawah ini pun sebenarnya sebuah strategi yang ternyata tidak banyak diketahui para politikus yang lebih dahulu berpolitik praktis. Satu lagi bukti banyak orang ikut berpolitik tanpa tujuan dan strategi jelas. Nomor urut terakhir menjadi strategis karena masih banyak pemilih kita dari kelompok tua yang memiliki keterbatasan dalam membaca dan melihat.
Dengan memilih nomor paling bawah maka risiko salah coblos lebih sedikit dan dalam sosialisasi hal ini lebih mudah. Cukup coblos ane si benten, coblos yang paling bawah di partai pertama.
Saya sadar bahwa politik pasti perlu biaya, saya pun menarik tabungan untuk dana kampanye. Rp 15 juta. Itu pun telah habis saat saya buat tulisan ini. Syukurnya ada bantuan dari paman dan saudara lagi Rp 10 juta.
Uang itu habis untuk membuat spanduk dan dana konsumsi beberapa kali pertemuan. Tetapi perjuangan harus tetap berjalan.
Di lapangan inilah saya sadar bahwa rakyat sudah merasa pintar dalam berpolitik. Mereka akan mencari calon yang memiliki dana besar untuk diundang dalam komunitas atau kelompok sanggah. Tentu saja akan ada sumbangan yang didapat. Lebih parahnya banyak banjar bahkan yang membuat kebulatan tekad untuk memilih satu orang karena digelontorkan bantuan sosial (bansos) besar.
Padahal kalau mau cerdas, calon yang menggelontorkan banos ini baru datang menjelang pemilu. Ketika itu saya jelaskan, maka mereka menjawab, dari pada sing maan apa, jani sube kesempatan ngalih pipis…. Mereka tidak terlalu peduli ketika saya jelaskan bahwa uang itu adalah bansos yang memang menjadi hak rakyat.
Meskipun berat dan mahal tetapi saya selalu ingat akan Jokowi Ahok. Mereka telah memberi harapan baru di dunia perpolitikan kita. Harus lebih banyak lagi orang yang mau dengan jujur dan cerdas masuk ke lingkaran ini. Dengan demikian Jokowi Ahok-Jokowi Ahok akan lebih banyak lagi muncul atau paling tidak semakin banyak yang mendukung model pemimpin seperti ini sehingga Rp 1.400-an triliun APBN itu benar-benar mewujud bagi kesejahteraan bangsa. [b]