Tak Sekadar Melali, Melali ke Terunyan, GRATIS!
Siapa yang bisa menolak diajak bersenang-senang macam begini: melali gratis ke Terunyan. Saya beruntung memperoleh pengalaman ini.
Tawaran ini datang dari @BaleBengong, akun twitter milik Bale Bengong, portal jurnalisme warga di Bali. Sabtu pekan lalu, saya sedang berselancar di internet. Tak sengaja, kicauan Bale Bengong mampir di linimasa saya: ada program melali ke Desa Terunyan, Bangli.
Saya memutar otak karena waktunya mepet. Tapi nekat saja, saya mengirim biodata dan satu contoh tulisan. Horeeee, berhasil! Saya menjadi salah satu peserta melali.
Walaupun hampir setengah abad hidup di Bali, tak sekalipun saya pernah pergi ke Terunyan. Alhasil, ini adalah perjalanan pertama ke sana, debutan.
Terunyan dikenal seantero dunia karena kuburannya yang unik. Magnet lain, desa ini terletak di pinggir Danau Batur dengan panorama Gunung Batur yang mempesona. Saking bersemangatnya, semalaman saya tak bisa tidur memikirkan perjalanan ini. Ini bakal menjadi pengalaman seru.
Melali ke Terunyan diselenggarakan atas kerja sama BaleBengong dengan komunitas filantropi I’m An Angel.
Terunyan dikenal seantero dunia karena kuburannya yang unik. Magnet lain, desa ini terletak di pinggir Danau Batur dengan panorama Gunung Batur yang mempesona.
Minggu pagi, kami memulai perjalanan. Saya satu kendaraan dengan Dewa Keta dan Intan Paramitha. Saling tukar cerita membuat perjalanan tak terasa melelahkan.
Lho, lho, saya baru sadar jika kendaraan tak melalui Danau Batur yang berair biru. Namun, mobil yang saya tumpangi justru melewati jelanan terjal berdebu. Bayangan bakal tertawa riang menyeberangi danau Batur pupus seketika.
Setelah mengorek info dari Andi, seorang relawan dari I’m An Angel, kami akhirnya tahu Terunyan kami capai via darat melalui Desa Ban, Karangasem. Perjalanan akhirnya menjadi penuh kejutan.
Pertama, ketika rombongan berhenti di semak belukar untuk buang air. Katanya air dan toilet di sana terbatas, jadi kami harus pintar memanfaatkan situasi. Saya dan Intan sigap mencari ‘tempat aman’.
Kejutan rupanya tak berhenti. Ketika melewati Desa Ban menuju Dusun Bunut, Bangli kami disambut dengan jalan jebol. Saat itulah Asana Viebeke Lengkong dari I’m An Angel bercerita bahwa dirinya ikut dalam proses perbaikan jalan tersebut. Dia berkisah jalan ini ambruk padahal baru saja diselesaikan pemerintah. Warga lalu menghubunginya agar bersedia membantu memperbaiki jalan.
“Dulu jalan ini tidak selebar sekarang, berkat kerja sama dari warga jalan ini bisa segera diperbaiki. Batu mereka cari sendiri serta bahan bangunan juga beli di toko sini,” kata Viebeke.
Pembangunan jalan ini ternyata membawa efek lain yaitu konflik internal yang sempat terjadi antara dua dusun yang dilalui jalan ini. Gesekan tak dapat dihindari namun berhasil diredakan.
Terbukanya akses menuju kota besar seiring dengan peningkatan peluang kerja juga dapat meningkatkan risiko kriminalitas seperti perdagangan orang. Warga pernah punya pengalaman buruk soal ini. Dulu, seorang anak bekerja di luar daerah sebagai pembantu rumah tangga. Sempat dikabarkan hilang, dia justru pulang dalam keadaan hamil.
Kisah hidupnya berakhir tragis karena si gadis meninggal gantung diri. Karena itu, I’m an Angel ingin membekali warga dengan pelatihan dan keterampilan saat bekerja di luar dusun. Tujuannya agar, warga punya kualitas ketika pergi merantau.
Di perjalanan kami sempat berjumpa dengan seorang anak kecil dengan ibunya yang tengah mengandung anak keenam. Kami juga berjumpa dengan seorang ibu muda yang menikah saat berusia 13 tahun. Pendidikan mengenai keluarga dan generasi berencana sepertinya sangat penting diberikan kepada warga.
Pendidikan mengenai keluarga dan generasi berencana sepertinya sangat penting diberikan kepada warga.
Tiba di SD Negeri 3 Terunyan, kami disambut penuh semangat oleh anak-anak dan orang tua yang mengantar ke sekolah. Anak-anak berkerumun saat Viebeke mengajak tepuk tangan bersama dan menanyakan kabar mereka.
Beliau bertanya, apa janji yang akan ditepatinya kali ini? Anak-anak menjawab serentak, “Sepatuuuu baruuu!”.
Hari itu anak-anak memperoleh sepasang sepatu baru, pemeriksaan kesehatan telinga hidung dan tenggorokan gratis dan bergembira bersama relawan yang hadir.
Saya bertugas di kelas kesehatan, memberikan semangat dan berbagi kekuatan agar anak-anak tidak takut saat diperiksa giginya. Padahal, jujur saja ya, saya takut banget kalau harus berhadapan dengan dokter gigi, hehehe.
Setelah itu saya pindah ke kelas pembagian sepatu. Awalnya hanya membantu petugas I’m An Angel mengatur rapi barisan anak-anak. Namun saya akhirnya ikut membagikan karena anak-anak tak sabar memperoleh sepatu baru.
Di luar kelas, Viebeke berdiskusi dengan penduduk setempat mengenai berbagai kendala yang dihadapi. Misalnya, dari penuturan sejumlah warga, keterbatasan akses jalan, kesulitan mendapatkan air bersih, serta usaha-usaha yang bisa dilakukan untuk menjaga hubungan baik antar dusun.
Tidak mudah memang berkomunikasi dengan penduduk desa. Selain harus memiliki kemampuan untuk membuat mereka bersuara, perlu kesabaran ekstra menghadapi mereka. Menurut pengamatan saya ada beberapa hal perlu mendapatkan perhatian lebih dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat di sana.
Kurangnya pendidikan reproduksi, banyaknya warga yang terjangkit penyakit kulit dan rendahnya perilaku hidup bersih dan sehat.
Masalah lain seperti minimnya pembekalan keterampilan bagi warga, teknik pemasaran hasil pertanian, serta peningkatan sosialisasi pendidikan dasar memerlukan cara-cara kreatif agar warga lebih produktif untuk berkarya.
Di akhir kunjungan, kami diajak menikmati indahnya danau dan gunung dari puncak Bukit Madya. Saya tak menyia-nyiakan kesempatan mengabadikan setiap momen indah bersama sahabat.
Nggak lupa pula berswafoto atau selfie dengan latar bukit-bukit cantik. Kalian juga bisa mengintip akun twitter saya @kadekdoi dengan tagar #MelaliTrunyan untuk tahu kilasan perjalanan ini. Melali kali ini memberi saya pengalaman menikmati Terunyan dari sisi berbeda. [Kadek Ridoi Rahayu]
Apakah alami pencegatan atau dibuntuti oleh orang berkendara kemudian salip mobil dan dia menghentikan untuk bertanya? Warga Trunyan yang tawarkan wisata ke kuburan. Dulu aku seperti itu dan aku ho oh saja pake jasa orang itu. Ternyata harganya mencekik leher. Tahu setelah bandingkan harga penyeberangan di Kedisan. Katanya ada semacam ‘travel warning’ dikalangan guide sendiri untuk Trunyan akibat aksi ‘palak’ itu.