MEN COBLONG bercermin di depan meja riasnya.
Merenungi apakah yang tersisa di tengah usia yang semakin meninggi. Juga beragam kebisingan yang selalu membuatnya menjelma menjadi perempuan yang banyak menggerutu. Banyak tidak puas, situasi hidup yang makin rumit dan tidak terkendali. Kebohongan yang beredar semakin menjadi-jadi. Kecurangan yang memiliki ruang, dan diciptakan dengan cara-cara halus.
Orang-orang yang enggan lagi berbicara, memilih mengisi waktunya dengan diri sendiri. Bersolek dengan beragam hal-hal indah, seolah hidup hanya bisa direvisi dan memiliki eksistensi jika wujudnya mudah tersebar dan mudah diakses publik.
Kita terlihat bahagia di media sosial, seolah hidup berjalan linear.
“Kamu saja yang terlalu serius berpikir. Apa pun kamu jadikan renungan. Untuk apa? Apa renunganmu itu menghasilkan duit?” Sahabatnya bertanya melalui telepon.
“Sekarang ini esensi menjadi manusia modern itu ditunjukkan dengan eksis di medsos. Memiliki pergaulan sosial bagus. Minimal sebagai perempuan kamu juga harus tahu perkembangan dan cara-cara merawat keperempuanan. Sehingga kamu tidak diserang pelakor akronim dari “perebut laki orang” kamu tahu itu?” Sahabatnya terus berkata dengan datar.
Pelakor? Bahasa apa pula itu?
Sekarang ini banyak sekali istilah juga akronim yang tidak dipahami Men Coblong. Ketika hal ini dikeluhkah kepada teman-teman ngopi-ngopinya, jawaban mereka seragam, Men Coblong itu perempuan yang tidak gaul. Perempuan yang tidak memiliki wawasan dan pengetahuan generani “now”.
Istilah generasi “now” juga tidak disukai Men Coblong. Kenapa? Sepertinya bahasa Indonesia itu miskin sekali, sehingga tidak memiliki padana kata. Men Coblong lebih suka menyebut generasi “kekinian”. Rasanya lebih familiar dan teringat kata seorang temannya di Belanda.
“Aku heran sekarang ini generasi manusia Indonesia itu sok keminggris,” kata teman itu penuh dagelan dengan bahasanya yang “medok”. Padahal, sahabat Men Coblong itu sudah puluhan tahun berada dan hidup di Belanda. Ketika pulang ke Indonesia dia takjub dengan beragam perubahan di negerinya.
Tetapi, begitulah wajah Indonesia kita saat ini? Men Coblong tidak tahu, apakah ini yang disebut dengan kemajuan? Modern?
Men Coblong kembali menatap matanya di cermin. Wajah anak lelakinya yang sebentar lagi berumur 17 tahun tiba-tiba memantul di wajah Men Coblong. Men Coblong mengernyitkan alis. Tiba-tiba wajah itu berubah menjadi wajah seorang anak lelaki yang masih bayi. Detak jantung Men Coblong berdetak keras, keringat dingin sedikit menetes.
Wajah Men Coblong terlihat sedikit pucat. Akronim. Keminggris. Modernitas. Lalu bagaimana rasanya sebagai perempuan berumur setengah abad?
Men Coblong membaca berita di pesan ringkas WhatsApp (WA): “Ni Luh Putu Septian Parmadani, 33, istri Putu Moh Diana, 35, asal Banjar Sandakan, Desa Sulangai, Petang diduga bunuh diri bersama ketiga anaknya, yakni Putu Ana, 7; Made Mas, 4; dan Nyoman Mas, 2, di Banjar Palak, Sukawati, Gianyar. Sementara Septian sendiri masih kritis di RS Ganesha, Celuk, Gianyar.”
Apakah ini modern? Apakah ini solusi?
Salah satu koran juga memberi predikat “Ibu Jahat”. Apakah yang terjadi dengan perempuan cantik berumur sangat muda itu? Apa yang ada di benaknya ketika berpikir untuk “memutus” umur anak-anak kandungnya yang begitu lucu-lucu dan menggemaskan? Bukankah tidak mudah mengandung dan melahirkan itu? Belum lagi membesarkan seorang bayi?
Hari ini Men Coblong tidak ingin keluar, mencoba memahami perasaan seorang “Ibu” yang dengan perkasa dan penuh kekuasaan mencabut usia anaknnya. Pernahkah ibu itu bertanya, apa mimpi anak-anak itu? Ingin jadi apa mereka kelak? Bagaimana mungkin seorang yang memiliki profesi guru dan menjai wali kelas di kelas satu SD, tega melihat anak-anaknya tersiksa menegak racun.
Apa yang dipikirkan perempuan itu? Apa yang ingin disampaikan dengan korban-korban darah dagingnya sendiri?
“Kamu jangan menyalahkan perempuan itu. Mungkin dia punya beban berat yang tidak bisa dia selesaikan dengan dirinya. Atau dia terlalu banyak menumpuk persoalan, sehingga akhirnya jadi seperi itu,” kata sahabatnya bergetar.
Dari nada suaranya Men Coblong juga tahu sahabatnya itu juga tidak memiliki argumentasi kuat dengan perbuatan ibu itu. Bahkan dalam grup WA dengan para pakar lontar, ada yang melontarkan kata-kata. “Bali sudah tidak dalam kondisi baik, Bali sudah dalam kondisi lampu merah?” kata seorang lelaki dengan sedikit kasar dan geram.
Ya, Men Coblong sedikit suka dengan istilah itu. Dengan banyaknya kejadian belakangan ini, saatnya merenung kembali. Apakah Bali yang konon dikenal sebagai Pulau Surga ini masih bersahabat dengan psikologis warganya? Apakah keindahan masih menjadi milik orang Bali dan bisa diteguk sebagai penghilang dahaga setelah seharian rutin bekerja juga “ngayah” sebagai manusia Bali?
Siapakah sesungguhnya penjaga Bali? Siapakah sesungguhnya yang menikmati beragam ritual Bali yang indah dan bagi orang luar Bali itu unik, sehingga sering mengidentikkan bahwa manusia Bali itu religius?
Manusia Bali itu mistis. Lalu, apa yang ada di benak Anda jika membaca kabar minggu ini tentang seorang ibu yang tega menghabisi seluruh anaknya? Seorang perempuan berpendidikan dan memiliki wawasan tentang dunia anak-anak, karena dia seorang guru? Apakah yang telah berubah di negeri surga ini? Negeri para dewa, negeri sejuta bunga. Negeri yang cocok untuk pelesir.
Apakah kita sebagai orang yang tinggal di Bali masih “tega” mengatakan Bali baik-baik saja? Ketika banyak anak-anak muda yang tertatih mencari pekerjaan. Pasangan muda yang pontang-panting mengumpulkan uang untuk membayar cicilan rumah yang makin hari tidak terjangkau. Apakah “kemegahan” Bali berguna bagi orang Bali untuk hidup mereka? Membangun ekonomi? Kenapa makin hari kita justru ditusuk dengan beragam berita yang tidak menyenangkan. Seorang Ibu muda “melarung” usia anak-anaknya.
Apakah kita masih memiliki wajah Bali dengan segala mitos-mitos itu? Men Coblong menatap kembali wajahnya di cermin. Terlihat sedikit kusut dan kisut. Apakah “Anda” masih tega mengatakan Bali kita masih baik-baik saja? [b]