MEN COBLONG benar-benar tidak habis pikir. Apakah yang sedang melanda manusia-manusia di negeri ini?
Belakangan ini Men Coblong lebih asyik memotret orang-orang di lingkungan kecilnya lalu memasukkan potret-potret mereka ke dalam matanya. Dia kemudian membiarkan otak melumatnya beberapa hari sebelum digelindingkan masuk ke dalam hatinya. Orang-orang yang dikenal dan tidak dikenalnya berbaur melabur pikirannya.
Syahwat apakah yang sedang bergejolak di dalam hati manusia masa kini? Orang-orang yang sangat dimudahkan mengonsumsi beragam informasi. Manusia-manusia di era industri generasi keempat (4.0), begitu media memberi mereka nama. Orang-orang yang “tidak masuk akal”, cepat emosi, dan mau benar sendiri. Tidak peduli suku, bangsa, agama, dan identitas diri lainnya.
Suatu siang yang terik Men Coblong begitu “terpukau” ketika tersandung lampu merah di seputar jalan Teuku Umar menuju rumah. Hampir saja mobilnya menabrak seorang lelaki yang tiba-tiba saja menyelip melewati marka jalan. Lelaki itu lalu berdiri dengan gagahnya di depan mobil Men Coblong. Dia juga melewati lampu lalulintas. Motornya diputar tidak menghadap ke depan tetapi ke samping.
Lelaki muda itu pun itu bergaya sambil menenteng helm. Merasa bangga ketika mata semua orang yang tersandung lampu merah menatapnya serius. Kelihatan sekali lelaki muda itu merasa dirinya “hebat”. Hal yang mengejutkan, dia ternyata lelaki asing. Gayanya “ampun”, berlebihan dan cenderung norak.
Seorang ibu setengah baya yang dibonceng anaknya berkata sambil berkerut. “Bule juga bisa berkelakuan seperti itu? Lihat! Dia hampir menabrak mobil orang. Dan, gayanya seperti tidak sekolah!” Ibu setengah baya itu berkata cukup keras sambil mengangguk ke arah Men Coblong. Men Coblong hanya tersenyum. Jujur, bingung!
Dulu orangtua Men Coblong selalu berlalu keras dan berulang-ulang.
“Kalau mau jadi orang, kalian harus sekolah yang tinggi. Tidak peduli kalian-lelaki atau perempuan. Pokoknya sekolah harus tuntas. Makin tinggi, makin bagus. Apalagi kalau nilai-nilai kalian juga bagus. Kelak, kalian akan mudah mencari kerja. Kerja yang bagus membuat masa depan kalian juga gemilang,” begitu selalu kata-kata yang digaungkan ayah Men Coblong ketika Men Coblong dan adik-adiknya sarapan pagi menuju sekolah.
Pokoknya pendidikan tinggi identik dengan jabatan tinggi. Pendidikan bagus identik dengan kapasitas dan kualitas orang yang bersangkutan. “Pendidikan tinggi membuat kalian bisa berpikir lebih jernih menghadapi situasi sosial,” begitu kata Ayah di meja makan setiap pagi.
Pokoknya seseorang akan jadi manusia yang sesungguhnya jika sekolah dengan baik dan benar. Bagaimana sekolah yang baik dan benar itu? “Nilai-nilai sekolah kalian yang jadi ukuran.” Men Coblong terdiam. Mungkin karena ayahnya percaya bahwa dengan memiliki anak dengan rapor baik, ayah dan keluarga Men Coblong juga akan bangga.
Makanya pada masa tahun 1980-an, ayah Men Coblong hobi memberi hadiah bagi anak-anaknya yang memiliki nilai bagus. Untuk satu angka 8 di dalam rapor, akan mendapat uang Rp 50.000. Wah sungguh menggiurkan “sogokan” ayah masa itu. Dulu Men Coblong tidak berpikir ingin jadi ini-itu. Tawaran uang Rp.50.000 untuk satu angka 8 di rapor lebih menggiurkan. Minimal bisa buat beli ini-itu. Maklum, anak perempuan biasanya hobi berat untuk membeli ini-itu yang kadang-kadang juga tidak menjadi kebutuhan utama.
Begitulah orang-orang tua masa itu percaya pendidikan akan mampu mendongkrak status sosial dan psikologis. Minimal jika punya anak dengan akademik bagus sekolah-sekolah prestisius di kota Denpasar pun mudah ditembus. Begitulah syahwat orang tua pada masa itu.
Namun, belakangan ini, di negeri kita justru banyak orang-orang berpendidikan tinggi dengan nilai akademik menjulang dan tamatan sekolah di luar negeri, justru sering buat kisruh.
Bagaimana dengan manusia 4.0? Ya, seperti bule yang bergaya di depan lampu lalulintas, tanpa helm dan tidak merasa malu.
“Manusia modern saat ini itu tidak peduli. Mau benar sendiri, dan tidak ingin diusik tetapi mengusik.”
“Siapa yang berani mengusikmu?”
“Orang-orang di jalan. Pokoknya banyak. Kehidupan sosial tidak berjalan dengan menyenangkan. Banyak sekali orang memiliki syahwat tidak becus, agama juga jadi “mainan” yang menggiurkan,” Men Coblong menggerutu sambil menunjukkan sebuah berita di media daring.
Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri dan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) membahas aliran dana kelompok penyebar hoax The Family Muslim Cyber Army The Family MCA). Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Ari Dono Sukmanto mengatakan telah meminta PPATK menelusuri aliran dana kelompok tersebut. “Kami sudah meminta PPATK melakukan itu,” katanya di kantor PPATK, Jakarta Pusat, Jumat, 9 Maret 2018.
Menurut Ari, polisi terus mendalami peran para tersangka untuk membongkar aktor yang mendanai The Family MCA. “Masih ada yang perlu kami telusuri lagi,” ujarnya. Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin mengaku siap berkoordinasi dengan Polri untuk menelusuri aliran dana itu. Kiagus mengatakan dari level atasan hingga level analis di PPATK telah melakukan komunikasi.
Meski begitu, Kiagus mengatakan PPATK masih menunggu hasil penyelidikan lebih lanjut dari Bareskrim Polri. PPATK, kata dia, masih menunggu Bareskrim memberikan nama-nama tersangka serta perannya agar bisa mulai menganalisis aliran dana dari rekening mereka. “Kalau sudah ada nama-namanya, baru bisa kami tindaklanjuti,” ucapnya.
“Kalau orang sudah tega menjual berita-berita bohong, mengadu domba, syahwat apa yang sesungguhnya mereka inginkan bagi hidup mereka? Eksistensi? Kekuasaan? Atau…”
“Syahwat!” Sahabat Men Coblong mendelik. Men Coblong mengangguk tegas.
Men Coblong terdiam, tidak habis pikir, bagaimana mulai memperbaiki negeri ini? Harus memulai dari mana? Ke mana? Buktinya dalam kehidupan sehari-hari, yang kecil-kecil saja banyak sekali Men Coblong menemukan orang-orang yang tidak punya hati dan perasaan. Dari urusan parkir sembarangan, sampai tega membuat berita bohong.
Apakah karena uang? Atau Tuhan berbisik pada mereka minta dibela atas nama agama? Bukankah agama itu semuanya memiliki “keindahan” dan “kegundahan” yang memang tetap jadi misteri bagi hidup manusia? Apakah tingkat pendidikan tinggi bisa menjamin orang-orang berpikir jernih?
Apakah tingkah bule itu juga bagian dari tidak jelasnya perangkat hukum negeri ini? Lemahnya sistem dan aturan di negeri ini? Bahkan ketika Men Cobleng berada di Adelaide, Australia hal-hal ganjil seperti ini tidak terjadi. Tidak ditemukan hal-hal aneh. Kenapa di sini semua orang jadi tidak memiliki rasa hormat pada orang lain. Minimal memiliki rasa malu.
Apa yang salah dengan mengelola syahwat pikiran dan karakter orang Indonesia sehingga seorang bule yang tertib di negaranya jadi “alien” di Indonesia? [b]