MEN COBLONG bersungut-sungut.
Ada yang getir meluap dari ubun-ubun otaknya, melumuri seluruh tubuh pikirannya. Seolah membuatnya merasa seperti terserang stroke. Penyakit itu adalah penyakit yang selalu hidup dan tumbuh di sulur-sulur otaknya. Bayangkan saja, Men Coblong tiba-tiba saja merasa hidup apakah yang sedang melumuri negeri ini?
“Maksudmu apa?” tanya sahabat Men Coblong serius. “Kamu itu terlalu membawa-bawa perasaan, makanya semua hal jadi pikiran. Nanti kamu yang repot karena kalau hal-hal kecil jadi pikiran dan tidak bisa kamu selesaikan, efeknya negatif. Tahu!” Sahabat Men Coblong berkata sungguh-sungguh.
Men Coblong sesungguhnya sadar, hari ini zaman penuturan. Orang bicara semaunya dengan mulut yang tidak terkontrol. Orang juga tidak peduli dengan perasaan orang lain. Yang penting mereka tidak terganggu. Habis perkara.
“Kamu tahu, saat ini kamu harus mulai belajar membuat tuli telingamu. Karena kalau semua hal, semua omongonan, semua gosip, semua takhayul kamu simpan di memori otakmu, apa kamu tidak prihatin dengan otakmu? Kita kan sudah berusia setengah abad, harus pandai-pandai menyaring berita. Menyaring informasi. Memangnya kamu bisa apa untuk negeri ini?”
Men Coblong terdiam. Berusaha bertanya-tanya, kenapa makin tinggi usianya, makin banyak yang dipikirkan. Kenapa orang-orang di sekitarnya tidak peduli dan menurut pemikiran Men Coblong mereka asyik-asyik dengan dirinya sendiri. Men Coblong terdiam, sambil meneguk secangkir coklat panas tanpa gula.
Terbayang seorang tetangga bertanya padanya, kenapa Men Coblong menanam banyak pohon kamboja di rumahnya yang kecil. Pohon kamboja seharusnya tidak layak ditanam karena persoalan yang mengingatkan pada simbol agama tertentu. Men Coblong tidak habis pikir sejak kapan pohon memiliki simbol agama? Sejak kapan pohon beragama?
Duluuuu, ketika bunga kamboja sedang mahal-mahalnya halaman rumah Men Coblong selalu bersih. Bahkan beberapa tetangga rela menunggu satu demi satu bunga kamboja jatuh sehingga mereka bisa mengumpulkannya. Jujur saja kadang-kadang mereka sampai berebutan.
Konon, kata ibu-ibu dan tetangga di sekitar perumahan Men Coblong, harga bunga kamboja sedang bagus dan mahal. Bahkan ada tetangga yang rela membersihkan atap rumah Men Coblong dengan riang dan girang. Tanpa dibayar. Mereka juga tidak ingat apa agama mereka.
Kenapa sekarang pohon kamboja jadi memiliki agama? Dan, kenapa tidak pantas ditanam oleh kepercayaan tertentu? Men coblong jengkel.
Dulu lagi, ketika kecil dan masih hidup di Jakarta sempat juga Men Coblong takut dengan pohon kamboja. Takut dan merasa terteror jika melihat dan mencium aroma pohon kamboja. Karena pada masa pertumbuhannya Men Coblong tidak pernah melihat pohon kamboja itu bunga yang indah. Karena bagi Men Coblong kecil pohon kamboja saat itu adalah pohon yang jadi simbol kuburan. Pokoknya menyeramkan!
Makanya ketika ibu Men Coblong ingin mendandaninya dengan busana adat Bali, Men Coblong menjerit-jerit dan berteriak histeris ketika ibunya merangkai bunga kamboja yang akan disematkan dirambut Men coblong. Biar terlihat seperti gadis Bali yang selalu memakai bunga kamboja sebagai simbol. Pada saat itu Men coblong merasa ibu kandungnya seperti ingin menggiringnya ke dalam kubur. Jika teringat kejadian kanak-kanak itu Men Coblong tertawa.
Tetapi saat ini, di tengah kondisi perkembangan teknologi yang makin maju Men Coblong merasa ada yang salah dengan cara orang-orang memandang simbol. Ada simbol nasionalis ada simbol keagamaan. Men Coblong juga tidak habis pikir, sejak kapan pohon kamboja Men Coblong memiliki agama? Bahkan pohon kamboja yang cantik itu harus ditebang?
Men Coblong pun bereaksi keras dengan kritik dari seorang perempuan yang memberi simbol pada pohonnya. Masak Men Coblong harus menanam kaktus? Atau pohon kurma? Atau pohon… yang mengingatkan pada agama tertentu. Sejak kapan pohon jadi simbol agama.
Oh Hyang Jagat. Kenapa simbol-simol itu terus tumbuh dan menjadi mengerikan.
Men Coblong menarik napas, mungkin ini yang menyebabkan bangsa ini terbelah. Bisa bayangkan korbannya? Masyarakat kelas bawah yang aspirasi, impian, dan masa depannya tidak terpenuhi mengalami luka hati. Merekalah yang akan jadi korban untuk dimanfaatkan oleh orang-orang di tahun politik ini. Sejak kapan pohon punya agama?
“Hust! Jangan menyebut agama apa pun sekarang ini bangsa kita sedang sensitif. Kau jangan menambah beban. Mau mereka berkata batu punya agama juga tidak apa-apa. Jangan ditenteng masuk hati. Memangnya kamu punya masa untuk mengadu dan protes? Kamu mau protes dan mengadu ke mana?” Sahabat Men coblong menatap mata Men coblong tajam.
“Kamu mau melihat-lihat buket bunga? Sebentar lagi Hari Valentine, perlu juga kita sok romantis. Atau kamu mau memesan kue Imlek? Aku punya langganan kue Imlek enak dan dibuat khusus pada hari menjelang Imlek? Bagaimana? Kamu pilih yang mana? Bunga Valentine dan kue keranjang memang simbol. Apa kau masih tegang dengan pohonmu? Dengan simbol dari orang-orang tidak masuk akal itu!” [b]
Mungkin saja bunga kamboja di tempat lain tumbuh di kuburan, hingga dianggap orang bunga kuburan.
Bunga sakura karena terkenal di Jepang, dianggap sebagai simbol negara tersebut.
Bunga tulip diasosiasikan dengan Belanda.
Simbol punya kisahnya sendiri, yang aku tak tahu.