TUBUH yang tua itu ternyata tidak bisa ditipu.
Apalagi dengan polah dan tingkah Men Coblong yang ibarat seorang anak, hiperaktif akut. Ada-ada saja yang selalu menjadi beban, menguliti sulur-sulur urat yang terhubung dengan otaknya.
Pasti hipertensi “jatuh cinta“ lagi pada tubuhnya. Men Coblong pun terbirit-birit menghadap dokter internis langganan yang sekaligus sahabatnya. Hasilnya? Men Coblong bukannya mendapat hadiah dan pengharggan, tetapi harus menelan: Clopidogrel 75 m, Atorvastatin 20 mg dan Irbesartan 150 mg.
Namun, empat minggu berselang kemudian, Men Coblong belum juga sembuh. Men Coblong yang enggan menggunakan layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, karena antre panjang dan tentu agak ribet sementara kondisi makin drop dan tidak terdeteksi, dengan jelas membuat perasaan dijamin makin rusuh.
Tak apalah keluar duit lebih banyak. Yang penting segala kerusuhan di dalam tubuh tuntas dulu. Duit bisa dicari kapan saja, karena tak ada manusia yang bisa menutup jendela dan pintu rezeki.
Lewat empat minggu kondisi tubuh belum juga tuntas. Begini ini kalau tidak sempurna mengenal tubuh sendiri. Jadi ingat orang-orang yang bicara tentang keindonesian, padahal Indonesia di kepala mereka juga belum tuntas belum khatam. Jadi begini sesungguhnya hal sederhana untuk berkenalan dengan sesuatu, semua harus dimulai dari diri dulu.
Diri yang paling kecil, yang tak terpikirkan, rumah kehidupan: tubuh kita sendiri!
Tensi normal, sahabat Men Coblong pun menyarankan cek up ke dokter spesialis saraf. Jika dibiarkan bisa menderika pikun dini. Dewa Ratu! Ya, Tuhan. Men Coblong menggigit bibirnya sendiri.
Lengkaplah sudah penderitaan dunia. Bagaimana bisa berpikir? Bagaimana bisa menulis kalau berdiri saja sempoyongan?
Jadilah Men Coblong antre di depan ruang tunggu dokter spesialis saraf. Hasilnya dokter yang ramah dan menenangkan menyuruh Men Coblong merapatkan kedua kaki kemudian menutup mata. Setelah itu membuka mata.
Hampir saja Men Coblong berteriak keras-keras karena merasa atap dan tembok kiri-kanan terasa mau runtuh menimba tubuhnya. Dokter setengah tua dengan kacamata yang selalu melorot itu memberi kado: betaserc betashistine 24 mg, eperisone HCL 50 mg, dan flunarizine HCL 5 mg. Waduhhhh, alamat neraka dunia di depan mata dengan dugaan ala dokter Vertigo posisional paroksismal benigna atau Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV).
Ini adalah gangguan keseimbangan perifer yang sering dijumpai. Gejala yang dikeluhkan adalah vertigo yang datang tiba-tiba pada perubahan posisi kepala. Celaka!
Tubuh harusnya sudah dipahami seperti kita mencintai rumah kita. Men Coblong menggerutu sambil terus menutup matanya. Terjawab sudah penyakitnya selama hampir sebulan lebih pusing dan mual. Tadinya Men Coblong berpikir apa mungkin ngidam!
“Ngidam?! Kamu itu kan sudah menopause mana mungkin ngidam! Pikiranmu itu yang perlu ditata, disusun rapi. Berhentilah memikirkan segala hal. Ayo kita senang-senang.” Suatu hari sahabatnya berkata dengan datar tanpa ekpresi. Men Coblong menarik napas dalam-dalam.
Ya, sesungguhnya mungkin hidup ini sederhana itu kata kebanyakan orang-orang. Tetapi Men Coblong kadang-kadang berpikir banyak hal tidak sederhana. Bagaimana dengan tim seleksi yang dipercaya presiden untuk memilih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan menyisakan banyak persoalan-persoalan dan protes karena diduga ada banyak calon yang justru tidak tertib.
Bahkan Ahmad Syafii Maarif mengomentari panitia dengan kata-kata yang “telanjang” seharusnya mudah dipahami isinya: “…, orang bermasalah, yang ada titik-titik hitamnya jangan dipilih. Orang baik masih ada di republik ini..” Masak kata-kata itu tidak jelas? Tidak mudah dipahami? Tidak jlimet juga, kok.
Anak Men Cobilong yang baru saja jadi mahasiswa justru paham betul maksud kata-kata itu sambil berbisik mengatakan sesuatu yang tidak etis. Jadi sebaiknya komentar mahasiswa baru jurusan Teknik Informatika itu tidak perlu ditulis. Takut juga kena ciduk Pasal 27 ayat 3 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Paasal yang menyebut melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Kembali soal seleksi calon pimpinan KPK. Suara Mahfud MD justru lebih miris dan menyanyat untuk sembilan anggota Panitia Seleksi Calon Pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi katanya: “…, KPK itu anak kandung reformasi yang telah berhasil membangun optimisme masyarakat tentang masa depan perang melawan korupsi.”
Apakah dua kata-kata itu belum juga jelas? Padahal jika kita merasa mencintai Indonesia, mari mencintai rumah ini dengan baik dan benar. Hukum seberat-beratnya para “pencuri” di dalam rumah rakyat seberat-beratnya. Karena jika korupsi terus menggurita, kesenjangan ekonomi akan semakin lebar.
Jika banyak warga miskin tentu akan menimbulkan banyak kesenjangan. Kesenjangan sosial, budaya. Jika ini terus terjadi maka penghuni rumah akan menjadi penghuni Indonesia yang belum tuntas. Jika belum tuntas menjadi Indonesia efeknya rasisme akan mudah tumbuh, ini sangat berbahaya.
Rasisme itu mengandung bibit kejahatan terhadap manusia dan akan melahirkan: intoleransi dan diskriminasi. Itulah yang harus diperhatikan para penghuni rumah bernama Indonesia ini. Kita tidak bisa hidup sendiri. Waktunya memperhatikan hal-hal kecil dulu.
“Sudah, kau jangan bicara terlalu banyak, jangan lupa minum obat. Mulai teliti memilih makanan. Mulai waspada terhadap jam tubuh. Kurangi begadang yang tidak perlu. Jangan lupa olahraga. Lebih bagus lagi jika sebelum tidur meditasi,” suara sahabat Men Coblong seperti memekakkan telinga.
Rumah? Tubuhku rumah hidupku. Apa anggota Pangsel sadar ya jika keliru memilih anggota rumah yang baik, korupsi akan menjalar makin kejam. “Hust! Istirahat!” Suara dokter internis itu kembali menendang telinga kanan dan kiri. [b]