MEN COBLONG membelalakkan matanya lebar-lebar menonton televisi.
Dahi Men Coblong terasa panas. Begitu pula ubun-ubunnya. Mulutnya merengut. Dahinya juga berkerut membuat lukisan-lukisan timbul tidak menarik di wajahnya yang tidak lagi muda. Matanya yang sedikit rabun terus mendelik.
Di depan televisi, Men Coblong menyaksikan alangkah girangnya para petinggi partai jika diundang orang nomor satu di republik ini. Senyum mereka semringah. Tutur katanya sopan, bahasa tubuhnya terlihat penuh hormat.
Seolah tidak ada satu potong huruf pun dari pertemuan yang sulit dideteksi orang awam itu terlihat penuh gontok-gontokan dan terasa berhawa panas. Bak dunia akan kimiat mendadak jika suara-suara mereka tidak didengar. Para petinggi itu tersenyum manis dengan wajah tampan dan berseri.
Tidak ada makian. Tidak amarah. Tidak ada juga dengki. Tidak ada saling sindir. Tidak ada yang satu merasa lebih tinggi kedudukannya dari yang lain. Tidak juga terlihat yang satu lebih dicintai Tuhan yang satu tidak. Tidak terlihat juga yang satu keturunan malaikat yang satu lagi keturunan setan.
Suasana pertemuan itu terlihat damai di televisi. Juga wajah-wajah girang melintas sangat damai di pesawat televisi Men Coblong. Wajah orang nomor satu di Republik ini bagi Men Coblong tidak berubah. Begitu-begitu saja. Caranya bicara, gerak tubuhnya, agaknya tidak ada yang berubah.
“Berubahlah, sedikit,” kata sahabat Men Coblong serius.
“Tidak. Wajahnya tetap datar dan sulit ditebak,” jawab Men Coblong tidak kalah serius.
“Kupikir makin hari presiden kita makin cerdas, kok. Caranya berhadapan dengan orang-orang di negeri ini sudah semakin mahir. Minimal saat ini presiden kita sudah mampu mengeja arah angin. Walau pun yang ngerecokin makin hari makin bertambah bukannya berkurang. Tapi aku yakin, itu bagian pembelajaran untuk naik ke kelas yang lebih tinggi.”
Men Coblong setuju dengan argumentasi sahabatnya itu. Agaknya presiden sudah mulai belajar banyak dengan segala atraksi-atraksi yang jujur saja seringkali tidak masuk akal dan membuat hal-hal yang harusnya tidak jadi urusan presiden, justru presiden akhirnya harus turun tangan. Bahkan sampai hal-hal kecil.
“Kupikir presiden kita itu oke juga.”
“Ya, kalau tidak oke bagaimana menghadapi para “perusuh” yang tidak jelas di dalam tubuhnya sendiri,” Men Coblong berkata sungguh-sungguh.
Perusuh yang menghabiskan energi adalah perusuh yang muncul dari tubuh kita sendiri. Perusuh yang membuat energi hidup tergerus juga berasal dari orang-orang terdekat, orang-orang yang menikam dari belakang. Pengecut yang terus melecut dirinya untuk tidak jadi penakut.
Ya, senyum orang nomor satu itu dirasakan Men Coblong penuh kewaspadaan, karena hampir lima tahun disenggol kiri-kanan. Dibenturkan juga dengan orang-orang yang dipilihnya sendiri dan diharapkan bisa membantu kerja kerasnya untuk membangun negeri ini. Orang-orang yang menyodorkan para asisten terbaik ala mereka untuk meringankan bebannya. Namun, justru orang-orang inilah yang bingung mencari jalan untuk mengusik dan mengurai beragam program-program yang telah disusunnya.
Dan hari ini, entah sampai kapan, wajah-wajah semringah jika dipanggil orang nomor satu itu justru terasa memunculkan sesuatu yang berbeda.
Men Coblong merasa tidak begitu mengenal orang-orang berwajah semringah itu. Dengan senyum menebar rasa damai. Dengan burung garuda di dada dan Pancasila di hati. Apakah mereka semua itu benar-benar telah memasang wajah mereka sendiri?
Wajah-wajah yang terasa asing bagi Men Coblong bahkan terasa aneh. Mereka seperti tampil dengan wajah orang lain.
Selama ini wajah-wajah itu, wajah-wajah yang dikenal Men Coblong selalu memberi pernyataan kepada pers tentang beragam kebijakan-kebijakan, yang justru sering membuat yang mendengar makin linglung dan bingung.
Biasanya, sepanjang pengetahuan Men coblong wajah-wajah itu tidak seperti yang dilihat di TV. Wajah ruwet dengan sorot mata penuh perhitungan. Hawa yang menyembur dari wajah mereka sangat tidak memberi ketenangan, karena berisi hujatan, kritik dan hal-hal yang membuat Men Coblong gagal paham. Sudah diberi kursi menteri kok malah tambah keras berteriak memberi kritik tanpa solusi.
Ke mana larinya wajah-wajah itu? Jangan-jangan mereka lupa wajah mereka sendiri, karena terlalu sering mengganti wajah mereka untuk setiap karakter yang dimainkan.
Celaka kalau begitu. Men Coblong menarik napas dalam-dalam. Lalu, apakah yang telah dibicarakan orang nomor satu itu kepada mereka? Sehingga mampu membuat orang-orang itu mengubah wajahnya sendiri. Wajah yang dijamin tidak mereka kenali sendiri. [b]