MEN COBLONG sesungguhnya selalu merasa prihatin dengan negeri ini. Namun, prihatin saja apa sudah cukup?
“Aku sudah malas sekarang membaca berita-berita politik. Isinya tidak ada yang mendidik. Beritanya juga basi. Masalah yang diangkat juga muter-muter, seperti tidak ada ide baru. apa sekarang ini wartawan seperti kamu kehabisan berita ya?” tanya sahabat Men Coblong serius.
Men Coblong terdiam. Kalau sahabat yang dosen universitas ternama di Bali ini emoh baca berita politik, terus apa yang dia baca? Bagaimana perempuan hampir setengah baya itu mampu menguji kepekaannya sebagai “guru” yang kerjanya memberi wawasan dan pencerahan untuk murid-muridnya.
Men Coblong menarik napas menatap mata sahabatnya itu serius. “Terus, sekarang ini kamu tertarik pada masalah apa?”
“Kesehatan.”
“Kesehatan? Kamu mau buat disertasi tentang kesehatan di Indonesia? Ilmumu kan politik?” tanya Men Coblong serius.
“Memangnya kenapa dengan disiplin ilmuku?”
“Aneh jika kamu justru update masalah kesehatan.”
“Kok aneh, biasa saja. Ilmu kesehatan minimal untukku sendiri. Cara mengatur pola makan. Tidur yang ideal. Aku lebih suka membaca hal-hal ringan seperti itu. Kupikir itu justru mencerdaskan dibanding membaca berita politik. “
“Apa kamu tidak takut jika di kelas mahasiswamu justru bertanya hal-hal kritis tentang negeri ini.”
“Tidak.”
“Apa kau tidak takut terlihat bodoh di depan mahasiswamu. Atau di depan kolega lelaki?”
“Tidak. Mengikuti beragam hiruk-pikuk politik itulah yang justru membuat aku makin bodoh! Merasa terhina, seolah aku ini idiot. Seolah para perempuan itu tidak punya andil di dalam memelihara table manner kehidupan sosial di negeri ini. Kau lihat saja perseteruan para politisi yang memendam syahwat kekuasaan? Adakah progam-program yang ditawarkan mereka memikatmu? Adakah ide-ide cemerlang dan baru yang bisa membuat kita sebagai warga negara bersemangat? Minimal sebagai rakyat kita disodori menu rasa nyaman dan mimpi yang indah untuk melanjutkan hidup yang makin hari terasa berat. Beras sudah impor, toh harga beras di pasar tetap tinggi. Garam juga impor, eh malah para petingginya ribut.”
Sahabt Men Coblong terus nyerocos. “Yang tidak jelas. Mereka semua tidak mau disalahkan dengan beragam kebijakan yang mereka buat sendiri. Masak sih mereka tidak tahu beragam kondisi negeri ini. Mereka kan pemegang kekuasaan. Minimal mereka punya staf ahli yang kita bayar untuk mendeteksi beragam persoalan yang ada di institusi-institusi yang mereka pimpin.”
Sahabat Men Coblong itu berkata serius. Lalu menurunkan letak kacamata plus tiganya di depan Men Coblong.
“Kau lihat sendiri kondisi negeri ini setiap hari? Kau pikir anak-anak muda itu tertarik dengan politik? Mereka kebanyakan merasa bahwa jadi koruptor itu menyenangkan. Karena bisa masuk TV dan koran. Makin heboh dan tidak masuk akal makin viral mereka jadi bintang. Kau pikir mereka malu dengan dana korupsi yang mereka isap dari kita. Aku tidak habis pikir, bagaimana para kepala daerah itu tega mengisap dana pendidikan. Kemana hati nurani mereka? Tidakkah mereka iba dengan anak-anak SD yang bergelantungan di jembatan penyeberangan menuju ke sekolah. Atau ada gambar anak-anak sekolah yang harus naik rakit, atau berenang melintasi sungai hanya untuk mempersiapkan dan bermimpi untuk memiliki masa depan yang lebih baik di negeri ini? Apakah anak-anak seperti itu tega kita biarkan berjuang sendiri untuk hidupnya hanya untuk bersekolah? Apakah cukup dengan selfie ke daerah-daerah tertinggal saja? Aku sudah tidak bisa berpikiran jernih saat ini. Aku juga tidak tahu akan memilih kepala daerah yang bagaimana? Aku belum mendengar sepotong pun ide-ide cerdas yang terucap dari diri mereka yang ingin berkuasa itu? Kau tahu apa yang kudapat dari calon-calon pemimpin yang ingin jadi kepala daerah?” tanya sahabat Men Coblong sambil membelalakkan matanya.
“Kau tidak bisa apatis begitu. Sebagai pemikir yang memelihara hutan-hutan hijau intelektual di negeri ini kau harus memiliki kekuatan untuk bertarung. Minimal mengajak mahasiswamu berpikir kritis untuk negeri ini.”
“Kritis? Di negeri ini kita sudah tidak bisa berpikir kritis dan keras. Apalagi menyinggung Tuhan? Kau lihat saja, ketika dana sumbangan Pilkada diwajibkan untuk dilaporkan. Kau tahu apa jawabannya? Mereka yang disumbangkan mengatakan: yang menyumbang itu hamba Tuhan. Tuhan saja mereka perkusi untuk menutupi beragam kebobrokan mereka. Apalagi aku? Perempuan biasa, yang sibuk mengurus beragam administrasi untuk meningkatkan kredibilitasku sebagai guru di perguruan tinggi. Kau mungkin tidak memerlukan beragam kewajiban-kewajiban mengikuti beragam seminar-seminar yang kadang tidak ada manfaatnya juga tidak membuat kita cerdas. Kau lihat saja, kondisi negeri ini. Para tokoh sudah bergenit-genit merasa paling unggul dari yang lain. Apa program mereka? Yang bisa membuatmu sedikit nyaman? Rata-rata berisik, ribut. Seperti kanak-kanak yang rebutan mainan baru. Dana Pilkada mau diakses publik saja mereka menuliskan para penyumbang itu NN — No Nama — alias hamba Tuhan. Bukan hamba rakyat, lho,” sahabat Men Coblong berkata serius.
Men Coblong terdiam. Alangkah sulitnya sesungguhnya jadi rakyat di negeri ini. Benar juga kata-kata sahabatnya itu. Men Coblong menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kalau tuhan saja sudah berani dilecehkan, apalagi Men coblong, perempuan nyinyir yang selalu merasa kena bisul ganas melihat ulah para pemikat yang bertarung di ranah kekuasaan.
Terus siapa pemimpin yang memikatmu? Yang bersedia dan ikhlas memberimu kata-kata menyejukkan, bukan marah-marah dan memaki. Sudahkah kau temukan pemimpin yang menyodorkanmu “hidangan” untuk menata Indonesia lebih cantik? [b]