MEN COBLONG sengaja bersandar dengan memejamkan mata.
Minggu-minggu terakhir ini tidak ada berita yang menyenangkan hatinya. Seharusnya dengan informasi berlimpah ada berita-berita baru yang membuatnya bisa semakin semangat menikmati perjalanan waktu yang telah diteguknya setengah abad.
Kata orang, hidup di usia yang makin dewasa harus diisi dengan riang, girang, juga gemilang. Jika banyak tekanan “dijamin” beragam musuh menyentuh tubuh sehingga akan merepotkan banyak orang, karena stres akut.
Padahal selama hidup dan tumbuh di Denpasar, tahun-tahun belakangan ini Men Coblong merasa riang. Persoalan yang sering jadi ceruk mengganggu kesempurnaan sebuah kota adalah, minimnya angkutan umum di Denpasar. Sehingga bisa dibayangkan, Denpasar yang kecil makin krodit, dan bikin kepala nyelekit. Apalagi jika harus naik mobil menuju ke suatu tempat. Dijamin, jika tidak mempersiapkan diri lebih awal pasti terlambat.
Lalu lintas di Denpasar makin hari makin buat sakit juga. Kemacetan di mana-mana, terlebih jiwa jam-jam sibuk anak-anak berangkat sekolah atau para “buruh” pulang kerja.
“Nyicil motor sekarang itu murah, Bu,” suara tukang cat pagar rumah Men Coblong terdengar serius. Matanya berbinar. Menunjukkan rasa bangga karena bisa memberi informasi kepada Men Coblong. Ah… Bahagia bagi lelaki pekerja keras di sektor informal itu ternyata “sederhana” .
Men Coblong jadi merasa malu, selama ini meraasa dirinya sendiri terlalu “serius” menjalani hidup miliknya. Men Coblong tersenyum getir. Mungkin karena keseriusan menjalani hidup, beragam penyakit mulai “menyentuh” Men Coblong. Walaupun tidak berat-berat amat tetapi penyakit itu sangat mengganggu, karena beragam aktivitas yang menjadi fokus dan target seharusnya tuntas dalam hitungan hari atau minggu, jadi berantakan.
Men Coblong juga mulai wajib menata pikiran dan hatinya mulai “diwajibkan” untuk berdialog dengan tubuhnya sendiri. Belum lancar juga sih, tetapi sudah berusaha dilakukan. Namanya juga baru belajar. Ibarat seorang anak yang baru belajar menulis, masih mencang-mencong. Yang penting ada niat baik untuk berubah dan mengubah hidup.
Ah… Men Coblong terharu, menatap mata tukangnya.
Wajahnya terlihat ringan. Lelaki muda yang selalu jadi langganan memperbaiki beragam persoalan rumah, dari genteng bocor sampai pagar garasi lepas adalah tanggung jawab Mas Wagiso, lelaki yang memiliki perawakan kecil tetapi kerjanya jangan ditanya. Pokoknya hasilnya super maksimal, dan sangat memuaskan.
Lelaki itu bisa dengan mudah bergelantungan di pohon kamboja atau dengan ringannya meloncat di atas genteng. Bagi Men Coblong, Mas Wagiso adalah cahaya yang memberi kebahagiaan di dalam rumah. Karena hanya lelaki berperawakan kecil itulah yang sangat terampil memulas rumah Men Coblong dan memperbaiki beragam ceruk-ceruk yang mengganggu sehingga bisa kembali normal.
Dia satu-satunya tukang yang sangat profesional di perumahan tempat Men Coblong tinggal. Dia bisa memperbaiki listrik dengan cepat dijamin rapi. Lelaki kecil itu juga sangat sadar bahwa pekerjaaannya yang dimiliki untuk menghidupi keluarganya adalah “menjual jasa”. Dia sadar, untuk menjual jasa prioritas yang harus dimiliki adalah “kepercayaan” konsumen. Mas Wagiso sangat sadar bahwa konsumen adalah raja yang harus dipuaskan “libido”nya. Kesadaran yang luar biasa dari seorang tukang bangunan, yang menurutnya, dia lebih suka bekerja dibanding sekolah.
“Sejak kelas tiga SD, saya sudah ikut ayah bekerja. Mengaduk semen, mengangkat batu, bata, atau pasir. Saya senang sekali bisa mendapatkan uang untuk membantu Ibu membeli beras.” Suaranya masih terdengar riang dengan binar matanya yang menggelembung memancarkan kebahagiaan yang tulus.
“Bekerja kan, bisa sambil sekolah?” tanya Men Coblong dengan mimik serius.
“Ayah saya jatuh dari atas genteng rumah tingkat, Bu. Kepalanya pecah. Saya masih punya dua adik perempuan yang masih kecil.” Suaranya terdengar lirih. Men Coblong tersekat.
“Untung saya sudah bertahun-tahun mengikuti ayah bekerja, jadi saya sudah tahu teknik pekerja. Dua adik perempuan saya semuanya tamat SMA, sekarang SMU ya, Bu?” Wajahnya kembali benderang. Merasa hidupnya berarti dan sama sekali tidak tercetak penyesalan di wajahnya yang terlihat sedikit lelah.
“Jual jasa di Bali itu ternyata mudah, Bu.”
“Hah?! Maksudmu?”
“Yang penting kita kerja harus jujur. Namanya juga jualaan jasa, ya, harus sabar dengan kecerewetan orang-orang yang mempekerjakan saya, Bu.” Dia berkata datar sambil memulas pintu pagar.
Penghormatan pada konsumen? Indah sekali cara berpikirnya lelaki kecil yang belum genap empat puluh tahun itu. Dengan kesabaran, kerja keras dan kesadarannya yang tinggi sebagai penjual jasa, lelaki itu bisa mengontak tanah milik orang Bali, seluas 10 are, kemudian membangun tempat kos. Lelaki itu sekarang sudah memiliki tanah sawah hampir 25 are di Banyuwangi, tempatnya lahir.
Men Coblong menarik napas. Kesadaran produsen di Indonesia memang harus belajar pada Mas Wagiso, sekarang ini beragam transportasi daring membuat Men Coblong takjub. Mau ke mana-mana gampang. Sayangnya kejadian pembunuhan dan pelecehan membuat transportasi daring menjadi mencemaskan hati dan pikiran Men Coblong, meninggalkan ceruk yang dalam. Apalagi tidak ada kesadaran bagi para pengemudi transportasi daring, bahwa mereka adalah penjual jasa.
Berat. Men Coblong merasa transportasi daring sangat menolong aktivitasnya, walaupun sering juga Men coblong dapat sopir yang menyetel musik keras-keras atau merokok sehingga membuat kenyamanan terganggu. Solusi termudah adalah berpulang pada diri. Jangan pernah “kelilipan” dengan keberhasilan orang. Ayo belajar kesadaran sebagai “pelayan masyarakat” ala Wagiso— lelaki kecil dari Bayuwangi. Jangan muluk-muluk dengan aturan. Jika di Denpasar transportasi umum bisa nyaman, dijamin kemacetan juga tidak akan pernah terjadi. [b]