“Ayah, biarkan hamba tinggal di sini. Sampai mati hamba ingin tetap di sini.”
Demikian kata Wedawati kepada Mpu Baradah, setelah ia merasa tidak dipedulikan di rumahnya sendiri. Saat itu juga ia memutuskan akan tinggal di kuburan, di mana ibunya diupacarai dahulu. Mpu Baradah hanya bisa mengikuti kemauan anaknya. Mulai saat itu, Mpu Baradah memutuskan untuk membangun Pasraman di kuburan itu.
Tanah diratakan, juga diupacarai agar layak ditinggali. Nama upacaranya Bumi Suddha. Setelahnya didirikanlah balai-balai Patani, Patamuan, Pakulem-kuleman, juga Bukur. Gerbang masuk juga dibangun. Bunga-bunga mulai ditanam, seperti bunga Angsoka, Andul, Surabi, Tanjung, Kamuning, Campaka Gondok, Warsiki, Asana, Jering, dan Bujaga Puspa.
Tidak kurang lagi bunga Cabol Atuwa, Gambir, Malati Puspa, Caparnuja, Kuranta, Tari Naka, Cina, Teleng, Wari Dadu, Wari Petak, Wari Jingga, Wari Bang, Padma, dan Lungid Sabrang. Banyak jenis-jenis bunga di Pasraman itu, dan jenis bunga yang sudah tidak kita kenali lagi. Setelah Pasraman itu selesai, di sana Mpu Baradah mengajarkan banyak hal kepada murid-muridnya siang dan malam.
Sampai di sana, cerita tentang Mpu Baradah dan Wedawati berhenti. Atau lebih tepatnya dihentikan. Yang memiliki otoritas untuk menghentikan dan melanjutkan cerita adalah pencerita. Pencerita menjadi maha kuasa di dunia yang ia ciptakan sendiri. Tokoh-tokoh di dalamnya, bergerak sesuai dengan keinginannya. Sedangkan pembaca hanya bisa pasrah mengikuti aliran pikiran pencerita, sambil menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya.
Maharaja Erlanggya namanya, raja dari kerajaan Daha. Ia disebut Tilingeng Karesyan. Kata Tiling bisa berarti pilihan. Karesyan tampaknya sangat dekat hubungannya dengan suatu tempat para Resi. Barangkali maksudnya, bahwa Erlanggya adalah raja yang dipilih dari salah satu tempat para Resi. Dengan demikian, sangat besar kemungkinan Erlanggya adalah salah satu pelajar di Karesyan itu.
Ada seorang Randa diceritakan kemudian. Randa ini bertempat di Girah. Ia dikenal dengan sebutan Calwan Arang. Anaknya satu bernama Ratna Manggali, cantik sekali. Sayangnya tidak ada yang melamarnya, entah orang-orang Girah, Daha atau orang dari negara pinggiran. Semuanya takut karena terdengar berita Adyan Ing Girah [Calon Arang] mempraktikkan Laku Geleh. Laku Geleh kita terjemahkan sebagai tindakan jahat. Kata Geleh berarti kotoran, noda, kejahatan. Entah kejahatan jenis apa yang konon dilakukan oleh Calwan Arang, belum dijelaskan pada bagian ini.
Calwan Arang merasa tidak terima dengan situasi yang harus diahadapi putrinya. “Apa kurangnya anakku? Kurang cantik? Tidak mungkin!” Karena itu, ia memutuskan untuk Manggangsala Pustaka. Manggangsala Pustaka berarti menurunkan atau mengambil Pustaka. Pustaka dalam hal ini berarti ajaran. Ajaran apakah yang hendak diturunkan? Menurut teks, yang diturunkan adalah Lipyakara. Tidak ada penjelasan yang cukup menjanjikan untuk memahami, apa yang dimaksud dengan Lipyakara. Tapi teks menunjukkan bahwa Lipyakara itu dilakukan dengan menghadap kepada Sri Bagawati. Sri Bagawati adalah nama lain dari Durga. Tujuannya hanya satu: tumpura nikang wwang sanagara [agar semua orang di negara itu terkena penyakit].
Tidak ada yang harus ditunggu lagi, Calwan Arang bersama dengan murid-muridnya menghadap Sri Bagawati di kuburan. Agar tidak ada yang tertinggal, murid-murid itu diabsen terlebih dahulu. Si Weksirsa, Mahisawadana, Si Lendya, Si Lende, Si Lendi, Si Guyang, Si Larung dan Si Gandi. Semuanya menari di kuburan!
Maka yang disembah merasa senang dan mewujudkan diri bersama dengan para pasukannya. Pasukan-pasukan itu datang dan menari di kuburan. Kuburan menjadi sebuah panggung tarian bagi pemuja dan pujaan. Bayangkan, jika drama tari Calwan Arang diadakan di kuburan. Tarian kembali kepada esensinya sebagai ritus pemujaan yang dilakukan dengan gerakan ritmis-mistis. Dengan demikian, penonton tidak perlu lagi menunggu-nunggu saat mayat-mayatan dibawa ke kuburan. Sebab panggung tarian sudah menyajikan kemistisan dari awal pertunjukan dimulai. Juga mereka tidak menjaga jarak sebagai penikmat, tapi juga sebagai pelaku yang dinikmati oleh dirinya sendiri.
Sri Bagawati merasa senang, dan mengabulkan permintaan Calwan Arang. Namun dengan syarat, jangan membunuh sampai ke tengah [kerajaan?], dan jangan sampai kematian itu menyebabkan duka yang teramat sangat. Calwan Arang senang bukan kepalang, lalu melanjutkan tariannya di tempat itu. Ketika tengah malam, berbunyilah Kamanak dan Kangsi. Keduanya dalam seni Gambuh adalah alat musik. Kedua instrument ini tampaknya juga sangat penting dihadirkan pada drama tari Calwan Arang. Jadi ada beberapa hal yang dapat kita ketahui dari cerita Calon Arang yang kita baca. Begini:
- Calon Arang menari bersama delapan orang muridnya di Kuburan. Tujuannya adalah memuja Sri Bagawati;
- Waktunya adalah tengah malam [madya ratri];
- Instrumen musik yang disebut mengiringi tarian itu adalah Kamanak dan Kangsi.
Jadi beberapa point penting itu perlu dicatat oleh kita yang mengaku gemar pada drama tari Calwan Arang. Teks menyajikan sesuatu yang lain dari pada pertunjukan yang sering dipentaskan. Di tingkat ini, kita mesti memikirkan kembali hal-hal lain yang mungkin masih tersimpan dalam teks dan membandingkannya dengan seni pertunjukan. Barangkali di antaranya ada sesuatu yang bisa kita gunakan untuk mengeksplorasi lebih jauh seni pertunjukkan Calon Arang.
Permohonan Calwan Arang benar-benar terkabul. Banyak orang di negara itu mati. Kematian banyak orang membuat Negara serasa mencekam. Rakryan Apatih menghadap kepada raja Erlanggya, melaporkan kejadian yang menimpa negara. “Penyebab semua ini adalah Randeng Girah, dialah Calwan Arang!”, demikian isi laporan sang Patih.
“Tidak ada ampun untuk Calwan Arang, pergilah kalian semua punggawa, serang si Calwan Arang”, dengan geram raja Erlanggya memerintahkan semua punggawanya menuju Girah. Sang Bretya sampai di kediaman Calwan Arang, yang dicari masih tertidur pulas. Moment itu dimanfaatkan dengan baik, Sang Bretya menyerang Calwan Arang. Rambutnya dijambak lalu bersiap menusuknya. Saat itu, entah kenapa kaki Sang Bretya terasa berat dan gemetar. Calwan Arang sadar, seketika itu keluar api dari mata, telinga dan mulutnya. Api itu makin lama makin besar dan membakar Sang Bretya. Maka matilah dua orang Bretya yang menyerang Calwan Arang.
Ada beberapa teks yang mendukung kejadian yang menimpa punggawa Daha itu. Api konon memang bisa dikeluarkan dari lubang-lubang yang disebutkan dalam teks Calwan Arang. Masing-masing lubang itu mengeluarkan api yang berbeda warna. Api dari mata berwarna putih, sebab api ini berasal dari jantung. Jantung dalam peta mistis, terletak di timur tubuh. Telinga mengeluarkan api kuning. Menurut teks yang sama, dari ginjal ada saluran berupa urat yang tembus ke telinga. Ginjal dalam tubuh, ada di barat. Dari mulut keluar api merah. Api itu konon bersumber dari hati. Hati dalam peta mistis berada di selatan berwarna merah.
Selain beberapa lubang yang sudah disebutkan tadi, menurut teks Calwan Arang ada lagi satu lubang tubuh Calwan Arang yang mengeluarkan api. Lubang itu disebut Garba. Garba adalah sebutan untuk Rahim. Jadi dari lubang Rahim itulah api keluar berkobar dan membakar Bretya dari Daha. Bretya barangkali sebutan untuk punggawa kerajaan Daha. Semua kejadian itu dilaporkan kepada raja Erlanggya.
Calwan Arang yang sudah marah, menjadi makin marah setelah kejadian itu. Maka sekali lagi ia pergi ke kuburan dan menurunkan Lipyakara. Di kuburan, Calwan Arang duduk di bawah pohon Kepuh. Murid-muridnya mendekat. Si Lendya memberanikan diri bicara, “Maafkan hamba guru, untuk apa kita melakukan semua ini? Tidakkah sebaiknya kita berbuat baik dan menyerahkan diri kepada Sang Mahamuni?”.
Larung, muridnya yang lain berkata, “Apa yang mesti kita takutkan guru? Kemarahan raja? Jangan ragu guru, kita serang saja kerajaan itu!”. Dihadapkan pada dua pilihan, Calwan Arang memilih menyerang.
“Cepat, bunyikan Kamanak dan Kangsi! Menarilah! Menari! Menari!”.
Tanpa cang-cing-cong lagi, Calwan Arang dan murid-muridnya menari lagi di kuburan. Tujuannya agar kerajaan Daha diserang penyakit. Tidak lagi syarat Sri Bagawati diperhatikan oleh Calwan Arang. Negeri Daha diserang sampai ke tengah kerajaannya.Mereka menari dengan caranya masing-masing. Si Guyang menari dengan tangan terlentang lalu menepuk-nepuk. Jalannya terbalik [nyungsang]. Juga memakai kain [sinjang]. Matanya mendelik, melihat ke kanan dan ke kiri.
Si Larung menari, lagaknya seperti macan akan menerkam buruan. Matanya mendelik seperti permata merah. Rambutnya terurai panjang. Si Gandi menari melompat-lompat. Rambutnya terurai dan berjuntai. Si Lendi menari berjinjit-jinjit memakai kain. Matanya bersinar terang seperti api berkobar. Si Weksirsa beda lagi, dia menari menunduk-nunduk. Matanya mendelik tanpa berkedip. Mahisawadana menari dengan satu kaki. Setelahnya ia berbalik, kepalanya di bawah. Lidahnya menjulur-julur. Calwan Arang merasa senang.
Tarian itu belum selesai. Mereka membagi tugas melingkar. Lenda bertugas di Selatan. Larung di Utara. Guyang di Timur. Gandi di Barat. Calwan Arang di tengah. Begitu juga Weksirsa dan Mahisawadana, di tengah bersama Calwan Arang. Formasi itu mirip bunga teratai dengan empat kelopak. Masing-masing kelopak menunjuk satu arah. Calwan Arang dan dua muridnya menjadi sari bunga teratai.
Konsep ini tidak asing bagi mereka yang menekuni teks-teks lontar. Bahkan, konsep itu tidak asing pula bagi orang-orang yang peduli pada ritual. Salah satu ritual yang menggunakan konsep teratai empat kelopak adalah upacara caru. Masing-masing arah diwakilkan oleh satu ayam. Ayamnya bukan ayam sembarangan. Tapi ayam yang bulu-bulunya diseleksi.
Formasi yang dibangun sudah siap. Saat itu mereka melihat satu mayat. Tampaknya mati saat Tumpek Kaliwon. Tumpek Kaliwon artinya Sabtu Kaliwon. Mayat itu diletakkan pada batang pohon Kepuh. Apa yang dilakukan dengan mayat itu? Dimakan? Dicincang? Tidak. Mayat itu lalu dihidupkan! Teknik menghidupkan ini disebut binaywan-baywan. Artinya memberikan sumber tenaga [bayu]. Dalam banyak sumber lontar, kita diberi tahu bahwa yang disebut bayu ada sepuluh. Bahkan menurut sumber lainnya, jumlah bayu ada dua puluh. Keduapuluh bayu itu bernama bayu rwang puluh.
Teks menyajikan sesuatu untuk dibaca. Pembaca bertugas memahami. Pergulatan antara teks dan pembaca terjadi terus menerus. Hadiah dari pergulatan itu adalah pemahaman yang terkesan selalu baru, selalu segar. Calwan Arang dituduh melakukan kejahatan, bahkan pencerita sendiri tidak menjelaskan kejahatan macam apa yang dilakukannya.
Melalui teks, kita tahu kalau Lipyakara dilakukan oleh Calwan Arang karena dua hal. Pertama karena putrinya tidak ada yang berani melamar, sebab tuduhan yang ditusukkan pada dirinya. Kedua, karena ia diserang oleh punggawa Erlanggya. Keduanya berpusat pada dendam. Dendam karena dituduh, dan dendam karena diserang.
Ternyata dongeng Calon Arang tidak hanya di Jawa, terima kasih menambah wawasan
Mengapa NYI calonarang mempelajari ilmu leak