Sebatang pohon beringin besar hancur hanya karena ditatap oleh Calon Arang. Penghancuran beringin itu bertujuan untuk menunjukkan kesaktian pada besannya.
Bukannya takut, Baradah justru meminta Calon Arang untuk menunjukkan kesaktian yang lebih dahsyat. Tidak tanggung-tanggung, Calon Arang mengeluarkan api dari tubuhnya. Api berkobar keluar dari mata, hidung, telinga, dan mulut Calon Arang lalu membakar Mpu Baradah. Sedikit pun, Baradah tak bergeming. Tidak ada rasa panas dirasanya. Kini giliran Baradah membalas, ia memakai Hastacapala.
Apakah Hastacapala? Hastacapala menurut kamus, berarti perbuatan kasar dengan tangan. Singkatnya, mungkin sejenis tinjuan. Tapi saya masih ragu kalau Hastacapala hanya sekadar tinjuan semata. Sebab hanya dengan sekali serang saja, Hastacapala mampu mengalahkan Calon Arang. Entah tinjuan sedahsyat apa yang mampu mengalahkah Calon Arang hanya dengan sekali serang.
Calon Arang tak berkutik. Ia mati di tempatnya berdiri. Baradah sadar, ia belum menyampaikan ajaran kalepasan pada Calon Arang. Karena itu, Calon Arang dihidupkan kembali. Yang dihidupkan, bukannya senang malah marah pada Baradah. “Kenapa kau hidupkan aku kembali?”
Dari pertanyaan Calon Arang, kita tahu kalau orang mati belum tentu suka dihidupkan kembali. Mengapa? Barangkali karena Calon Arang tahu, hidup ini hanya untuk ‘menikmati ikatan’ suka dan duka. Mungkin saja dia bosan, karena seolah dipaksa menikmati ikatan hidup. Atau karena ia paham, jika hidup belum cukup hanya dengan menikmati suka-duka tapi juga sakit [lara] dan mati. Terus saja begitu.
Baradah menjawab, “Karena aku belum menyampaikan ajaran kalepasan padamu. Belum menunjukkan surgamu. Belum pula ku sampaikan cara menghilangkan segala penghalangmu. Yang terpenting kau belum paham tentang putusnya ajaran. ”
Dari jawaban Baradah, kita tahu bahwa ada syarat-syarat yang mesti dipenuhi oleh seseorang yang ingin mati dengan cara yang benar. Menurut Baradah, setidaknya seseorang harus menguasai ajaran kalepasan. Ajaran kalepasan, berarti ajaran yang menunjukkan cara melepaskan ruh dari tubuh. Ajaran ini banyak ditulis pada lontar-lontar yang kini diwarisi di Bali. Sayangnya, ajaran kalepasan tidak boleh dipelajari tanpa pengawasan yang ketat dari guru. Ternyata hidup menikmati ikatan tidak mudah, belajar cara mati tidak gampang.
Melepaskan ruh dari tubuh mengisyaratkan bahwa tubuh adalah ikatan bagi ruh. Penjelasan mengenai hal ini, bisa dicari-cari pada teks-teks kalepasan. Terutama teks-teks yang menjelaskan perihal kasunyatan.
Salah satu penjelasannya, kenapa tubuh disebut sebagai ikatan terdapat di dalam teks Wrehaspati Tattwa. Tubuh disebut sebagai Yoni. Yoni adalah penyebab manusia terlahir. Konon, Yoni inilah sebagai hasil segala jenis perbuatan. Singkatnya, tubuh berasal dari segala jenis perilaku yang dilakukan manusia. Mulai dari makanan, minuman, pikiran, perkataan dan sebagainya. Karena melakukan berbagai macam hal mengakibatkan ikatan, maka ada juga ajaran yang mengajarkan agar manusia mendiamkan segala potensi geraknya. Tujuan pendiaman itu, adalah mempersedikit ikatan karma. Contoh usaha pemberhentian karma itu adalah tidak makan, tidak minum, tidak bergerak, tidak berucap, tidak berpikir.
Dalam teks Calon Arang, tidak dijelaskan secara spesifik apa saja ajaran yang dimaksud oleh Baradah. Ceritanya sangat singkat, tiba-tiba Calon Arang diceritakan telah berhasil menguasai seluk beluk kematian [tingkeng kapatin]. Setelah segala ajaran Baradah dipegang teguh, Calon Arang merasai dirinya telah dilukat. Dilukat berarti dibersihkan secara lahir dan batin. Tidak ada lagi kegelapan yang menyelimuti hatinya.
Calon Arang yang telah dilukat itu, lalu mati. Dia mati setelah memberikan penghormatan di kaki Baradah. Jadi, Calon Arang mati bukan karena dibunuh oleh Baradah. Tapi atas dasar kesadarannya sendiri. Barangkali ilmu kalepasan itulah yang dipraktikkan oleh Calon Arang. Setelah lepas, Calon Arang masih menyisakan jasad. Jasadnya dibakar oleh Baradah. Dua murid kesayangan Calon Arang, Weksirsa dan Mahisawadana tidak dapat dilukat begitu saja oleh Baradah. Mereka harus dijadikan wiku.
Menarik juga struktur cerita Calon Arang sampai pada titik ini. Sebab Calon Arang yang dikatakan keji karena telah membunuh banyak orang, bisa dilukat oleh Baradah dengan ajarannya. Tapi justru muridnya, Weksirsa dan Mahisawadana tidak bisa dilukat dengan cara yang sama. Malah keduanya harus menjadi wiku. Menjadi wiku berarti menjadi pribadi yang telah berhasil melepaskan kulit-kulitnya. Apakah yang dimaksud kulit? Salah satunya adalah wangsa. Salah duanya adalah wasana [sisa-sisa karma]. Struktur cerita ini, sangat mirip dengan teks Aji Terus Tunjung. Pada teks Aji Terus Tunjung, pelakunya adalah Bhatari Durga yang diiringi oleh Ni Maya Kresna [disebut juga dengan Batur Kalika]. Bhatari Durga berhasil dilukat oleh Sahadewa, sedangkan Maya Kresna tidak. Ia mesti mencari Wiku Sangkan Rare agar bisa kembali menjadi bidadari. Apakah yang dimaksudkan oleh kedua cerita itu? Apakah agar bisa dilukat, orang mesti menjadi wiku atau menjadi sekelas wiku?
Saya belum tahu jawabannya sekarang. Tapi saya yakin, ada sesuatu yang disembunyikan secara sangat rahasia lewat kedua cerita tadi. Karena begitulah tugas cerita, ia menyembunyikan yang ada. Hanya dengan membaca dan mencari rujukan lain segala yang tersembunyi itu bisa diungkap. Sayangnya, setelah rahasia-rahasia itu diungkap, tidak kepada sembarang orang hasil pengungkapan boleh diberitahukan. Alasannya barangkali agar rahasia tetap menjadi hal yang menarik untuk dicari-cari, digali-gali, dipaham-pahami. Dengan begitu, cerita tidak berhenti pada satu otak.
Cerita berlanjut, Bahula lalu dipanggil oleh Baradah dan diberitahu tentang kematian mertuanya. Bahula diberi tugas menyampaikan kematian Calon Arang dan pertobatan kedua murid Calon Arang kepada Raja Airlangga. Pertobatan itu dalam teks diistilahkan sebagai anyurud ayu. Istilah itu jika diterjemahkan, menjadi ‘memohon anugerah’ meski tidak benar-benar tepat. Kata Anyurud sebenarnya kata kerja yang berkata dasar surud.
Di Bali, kata ini lebih sering digunakan dengan pola surudan [sesajian yang telah dipersembahkan]. Karenanya, apapun yang dipersembahkan, itulah yang disurud [ditunas, dimohon kembali]. Maka anyurud ayu bisa berkonotasi sisa-sisa persembahan kebaikan [ayu] yang dimohonkan kembali [disurud]. Di dalam kamus, anyurud ayu berarti memohon anugerah agar disucikan menjadi pendeta.
Kenapa bukan Baradah yang menyampaikan berita itu langsung kepada Raja? Karena Baradah masih disibukkan dengan segala jenis upacara pembersihan di tempat tinggal Calon Arang. Terutama sekali terhadap Banaspati milik Calon Arang akan dilakukan upacara pembersihan. Banaspati itu nantinya agar dipuja oleh seluruh orang yang ada di Jirah.
Saya tidak tahu pasti apa yang dimaksud dengan Banaspati milik Calon Arang. Nama Banaspati pernah saya baca, tapi tidak berhubungan dengan Calon Arang. Nama itu ada di dalam teks Kanda Pat. Nama Banaspati dalam teks Kanda Pat bukanlah sebentuk patung, peliharaan, atau tempat, tapi nama salah satu saudara yang dilahirkan bersama dengan manusia. Jadi saya belum menemukan satu petunjuk apapun mengenai Banaspati yang dimaksud dalam teks Calon Arang ini. Yang lebih menarik lagi, Banaspati dalam teks Calon Arang konon akan dipuja oleh orang-orang di Girah setelah disucikan oleh Baradah.
Baradah melakukan penyucian itu, tidak sendirian tapi dibantu oleh Kanuruhan. Segala jenis biaya yang ditimbulkan dari usaha upacara penyucian itu, ditanggung oleh raja. Semuanya. Setelah berhasil disucikan, tempat itu bernama Rabut Girah. Baradah diiringi Kanuruhan dengan menaiki kuda merah lalu kembali ke kerajaan. Mereka disambut dengan sangat baik.
Raja Airlangga tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Ia memohon kepada Baradah agar diajarkan seluk beluk ajaran kalepasan. Tidak mudah ajaran itu bisa didapat, ada syarat yang harus dipenuhi oleh sang Raja. Syaratnya terdiri dari sikap dan perlengkapan berguru. Ada beberapa syarat yang disebutkan dalam teks secara mendetail. Karena sangat panjang prosesi dan syarat itu, sebaiknya kita bicarakan nanti.
Comments 1