Mpu Baradah bersama tiga orang muridnya berangkat dari asrama.
Di sebuah desa ia bertemu dengan orang-orang yang hendak membakar mayat. Mayat itu dibakar karena begitu cara menghormati tubuh yang sudah mati.
Ada banyak aturan untuk melakukan upacara pembakaran ini. Tidak sekadar membakar, apalagi seperti jagung bakar. Ada hal-hal yang mesti dipenuhi oleh orang yang menggelar ritual pembakaran. Ritual itu bisa dicari sumbernya dalam berbagai naskah lontar, di antaranya: Yama Purwa Tattwa, Yama Purwana Tattwa, Yama Purana Tattwa, Pratekaning Wong Pejah, Siwa Tattwa Purana.
Nama-nama lontar itu hanya beberapa yang sempat diperiksa. Selain itu ada banyak lagi seperti lontar Putru Sangaskara. Pada lontar-lontar itulah orang-orang mestinya mencari tahu tentang apa yang boleh dan tidak boleh dalam ritual pembakaran mayat.
Di dalam teks Calon Arang, upacara pembakaran itu tidak dijelaskan prosesinya. Namun, disebutkan, bahwa mayat itu ditutupi kain putih, dipeluk dan dielus-elus oleh istrinya. Sepasang kekasih ini dipisahkan oleh kematian yang tidak bisa ditolaknya.
Mpu Baradah konon merasa kasihan melihat hal itu. Maka atas nama kebaikan budi, Mpu Baradah berkenan menolong mereka. Caranya adalah dengan membangkitkan lagi mayat itu dari kematian.
Tidak dijelaskan pula bagaimana orang itu dihidupkan kembali oleh Mpu Baradah. Teks hanya menyebut ketika Mpu Baradah menyuruh wanita itu membuka kain penutup mayat suaminya, saat itu pula jantungnya kembali berdenyut. Kain itu dibuka-tutup sebanyak dua kali. Pada bukaan kedua, napas kembali ke dalam tubuh itu dan memberi kehidupan.
Lalu dalam jangka waktu kurang lebih rwang sepah, orang mati yang sudah hidup itu bisa duduk kembali dan menghaturkan terimakasih kepada Mpu Baradah.
Rwang sepah berarti dua kali mengunyah sirih pinang. Berapa lama kira-kira tepatnya, barangkali bisa dihitung dengan mencoba sirih pinang [nginang] terlebih dahulu. Memakan sirih yang telah dicampur kapur, gambir, pinang adalah tradisi yang sekarang sulit ditemukan. Hanya beberapa orang yang masih melakukannya.
Jika kini kita melihat ada orang yang makan sirih, bagaimana? Apakah ada asumsi-asumsi mistik pada pikiran kita yang lugu ini? Praktik makan sirih pinang memang bermuatan mistik. Sebab, ada lontar menyebutkan beberapa mantra yang biasa diucapkan saat akan mulai mencampur, mengunyah, hingga menelan.
Ada juga catatan-catatan pendek yang menyebutkan sirih pinang bisa dipersembahkan untuk menjadi bekal kepada orang-orang mati yang akan melalui ritual pembakaran. Namun, sirih pinang dalam kakawin malah bernuansa erotik. Sebab dimakan sepasang kekasih yang menikmati persenggamaan malam pertama.
Sirih pinang memang layak dikenang.
Mpu Baradah melanjutkan perjalanan dan menemukan tiga mayat berjajar. Di antara ketiganya, ada dua mayat yang tubuhnya masih utuh. Ketiganya diperciki Tirtha Gangga Merta. Hanya dua yang hidup kembali. Karena hanya tubuhnya masih utuh saja yang bisa dihidupkan oleh Mpu Baradah.
Di tempat lain, Mpu Baradah melihat dua mayat lagi. Mayat itu juga diperciki Tirtha Gangga Merta, lalu hidup kembali. Setelah hidup, keduanya berterimakasih dan menghormat pada Mpu Baradah. Caranya dengan menjilati debu di telapak kaki sang Mpu [mandilati lebu kang haneng talampakan ing pada Sang Jatiwara].
Sampai di sana, kita diberitahu oleh teks bahwa Mpu Baradah jelas bisa menghidupkan orang mati. Syaratnya adalah dengan memercikkan Tirtha Gangga Merta. Kondisi fisik tubuh seseorang yang sudah mati, juga menjadi salah satu syarat penting agar bisa dihidupkan kembali. Syaratnya ialah agar tubuh orang mati itu masih utuh.
Syarat yang kedua ini, diperjelas pada adegan selanjutnya ketika Mpu Baradah bertemu seorang wanita yang kehilangan suaminya. Dengan perasaan sedih, wanita itu memohon pertolongan kepada Mpu Baradah agar suaminya bisa dihidupkan. Namun, Mpu Baradah berkata, “Tan kawasa yan mangkana. Yan durung rusaka si laywane lakinteka, bilih kita katemwa malih dening nghulun [Tidak bisa jika demikian. Jika belum rusak mayat suamimu, berangkali kalian akan bertemu lagi olehku].
Jelaslah bahwa keutuhan mayat adalah syarat penting agar bisa dihidupkan kembali.
Mpu Baradah berjanji, bahwa wanita itu akan bertemu lagi dengan suaminya setelah mati. Pertemuan itu akan tercapai jika wanita tadi mengingat ajaran yang diberikan oleh Mpu Baradah. Mpu Baradah menyebutnya sebagai paranti.
Paranti itulah yang disebutnya juga sebagai warah. Warah jika diterjemahkan, berarti ucapan. Dalam konteks ini, ucapan adalah istilah untuk menyatakan ajaran. Ajaran-ajaran itu kebanyakan diucapkan dengan berbisik, istilahnya Pawisik.
Pawisik pada dasarnya memang ajaran yang sangat rahasia. Rahasia itu dijaga oleh garis perguruan tertentu. Karena sangat rahasia, maka ada lontar yang berjudul Wisik Parama Rahasya. Namun, mempelajari ajaran Mpu Baradah, bukannya tanpa jalan lain selain mencari-cari Pawisik itu. Barangkali jika kita rajin mencari-cari catatan, kita akan menemukan catatan khusus tentang ajaran-ajaran Mpu Baradah. Ajaran-ajaran khusus itu sering diistilahkan dengan Kaputusan.
Mpu Baradah melanjutkan lagi perjalanannya setelah urusan dengan wanita tadi selesai. Pergilah Mpu Baradah ke tengah-tengah kuburan. Di sana ia bertemu dengan Weksirsa dan Mahisawadana. Keduanya adalah murid Calon Arang yang pada cerita sebelumnya juga berhasil menghidupkan orang mati dengan menggelar binayu-bayuan.
Karena keduanya adalah murid Calon Arang, sangat besar kemungkinan kalau ilmu binayu-bayuan itu adalah milik gurunya.
Kedua murid yang berbakti ini, menyatakan kebosanannya berbuat tidak baik. Maka keduanya memohon kepada Mpu Baradah agar dapat disucikan [diruwat]. Sayangnya, permohonan itu tidak dapat ditindaklanjuti sebelum Calon Arang disucikan lebih dahulu. Keduanya lalu diberikan mandat untuk menjumpai Calon Arang dan menyampaikan pesan Mpu Baradah.
Calon Arang ketika itu sedang menghadap Bhatari Bagawati. Dalam percakapan rahasia di antara keduanya, Bhatari Bagawati telah memperingatkan Calon Arang. Isi peringatannya, “Jangan tidak waspada, maut dekat dengan dirimu”. Calon Arang merasa was-was dengan peringatan Bhatari Bagawati. Saat itulah Weksirsa dan Mahisawadana datang memberitahu kedatangan Mpu Baradah. Calon Arang lalu menemui besannya.
Saat bertemu, Calon Arang bertanya kepada Mpu Baradah dan meminta ajaran utama. Mpu Baradah dengan senang hati menjelaskan ajaran kebaikan dan menerangkan perbuatan Calon Arang yang membunuh banyak orang adalah salah.
Katanya dosa Calon Arang itu tidak bisa dilukat dengan cara biasa, hanya kematian satu-satunya jalan [tan kawasa yang kita lukata, yan tan mahawan pati kalinganika]. Kematian pun tidak sembarang kematian, tapi Calon Arang juga harus memahami ajaran Pasuk Wetuning Lumukat. Jika tidak, Calon Arang tidak akan bisa disucikan lagi.
Calon Arang menyadari hal itu, maka dengan rendah hati ia meminta agar dilukat oleh Mpu Baradah. Tapi Mpu Baradah berkata lain, “Aku tidak bisa melukatmu sekarang”. Ucapan itu membuat Calon Arang kecewa dan sangat marah. Kemarahannya lebih hebat dari marahnya orang diselingkuhi. Bahkan lebih dahsyat dari marahnya Ibu karena kita durhaka.
Calon Arang memang tidak bisa mengutuk Mpu Baradah jadi batu. Namun, Calon Arang bisa menunjukkan kesaktiannya. Segera ia menari dan menggerai rambut ke depat wajahnya. Matanya mendelik dan melirik ke segala arah. “Mati kau sekarang Baradah!!!”.
Comments 2