Oleh Luh De Suriyani
Koalisi Gerakan Perempuan Politik Bali mengajukan protes lemahnya pengawasan pemilu di Kantor Panwaslu Bali, Jumat ini. Dalam pernyataan sikapnya, Koalisi menyatakan terjadi kecurangan di semua level penyelenggara pemilu 2009 ini, dan meminta pengawas pemilu berani menindak secara pidana para pelakunya.
Sekitar 15 orang caleg dan aktivis perempuan mendatangi Panwaslu untuk mengadukan sejumlah kecurangan yang terjadi selama proses pemungutan sampai penghitungan suara. Mereka mengidentifikasi sejumlah pelanggaran seperti indikasi mobilisasi suara oleh oknum aparat desa, pencurian dan penggelembungan suara, serta lemahnya pengawasan panwaslu.
“Banyak kecurangan di lapangan. Pemalsuan dokumen hasil pemilu sampai pengalihan suara. Pidana pemilu dilakukan bersama-sama antara perangkat desa,” ujar Ni Made Sumiati, caleg PDIP untuk DPRD Bali.
Pencurian suara menurutnya lebih banyak dialami oleh caleg perempuan karena kebanyakan tidak mempunyai saksi. Sementara saksi partai politik, disebutnya cenderung mengamankan suara untuk caleg tertentu.
“Saya tidak takut berperang secara intelektual melawan laki-laki. Namun tarung bebas dengan sistem suara terbanyak ini malah menzolimi perempuan yang tidak punya uang untuk menggaji saksi-saksi pemilu,” katanya pada Ketua Panwaslu Bali I Wayan Juana.
Sumiati sakit hati karena ia merasa berpengalaman lima tahun menjadi anggota KPU Karangasem namun masih banyak mendapati kecurangan pada suaranya. “Saya sudah pengalaman dengan pemilu. Bagaimana caleg perempuan lain yang tidak punya akses memonitor suaranya? Berapa suara mereka yang dicuri,” ujarnya sengit.
Caleg lain, Luh Kertianing dari Partai Pelopor pun menyatakan hal sama, sambil merinci sejumlah indikasi kecurangan pada perolehan suaranya di Kabupaten Buleleng.
Misalnya di TPS 6 Desa Bungkulan, Buleleng pencontrengan dilakukan tanpa bilik suara dan panitia pemungutan suara membimbing pemilih mencontreng. Kemudian pengurangan perolehan suara di panitia pemilihan kecamatan dengan dalih salah input data, serta mendiskriminasi pemilih perempuan.
Juana mengaku Pemilu ini pelanggaran justru banyak dilakukan penyelenggara pemilu. “Saksi-saksi parpol direkayasa untuk memenangkan caleg tertentu serta kerjasama dengan panitia pemungutan suara. Ini sudah pidana pemilu,” ujarnya.
Sejumlah penyelenggara pemilu kini terancam dipidanakan, hukumannya denda maksimal Rp 500 juta dan sanksi pidana 5 tahun. “Karena itu saya minta pemilu ulang di beberapa daerah di Bali. Namun KPU bergeming,” katanya.
Secara umum, tambah Juana, pelaksanaan pemilu sangat bias gender. “Pelaksana pemilu dan saksi hampir semuanya laki-laki. Ini untuk merefleksikan untuk pemilu berikutnya,” katanya.
Ketua Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Bali Ni Nyoman Masni meminta penyelenggara pemilu merubah definisi money politic. “Money politic tidak hanya berlaku untuk masa kampanye. Tapi semua tahapan pemilu kini yang mengendalikan politik uang,” ujarnya.
“Masyarakat makin mata duitan, karena ada kesempatan pemilu ini dengan ribuan caleg,” ujarnya. [b]