Di tengah maraknya turis yang bekerja di Bali, makin banyak anak muda yang memilih bekerja di luar negeri. Ada yang mendapat kekerasan dan kasusnya tidak berlanjut.
“Saya sering mengalami kekerasan selama bekerja. Pernah karena alasan dinilai lambat, saya kena pukul. Lalu saat saya membela teman, saya kembali dipukul. Beberapa kali kena pukul di kepala dengan penggaris tebal dari besi. Beruntung saat itu saya pakai helm, jadi kepala saya tidak bocor. Bahkan gaji saya dipotong dan saya dikenai sanksi dipulangkan karena kesalahan perusahaan,” tutur Candra (bukan nama sebenarnya), pemuda asal Kabupaten Karangasem yang pernah bekerja di Jepang selama 4 bulan.
Kisah-kisah tentang tindak kekerasan yang dialami oleh buruh migran ibarat gunung es di tengah lautan. Banyak yang menjadi korban kekerasan, tapi hanya sedikit yang berani memproses kasusnya ke ranah hukum. Sebagian besar bahkan merasa sungkan untuk mengungkap persoalan ini ke keluarga mereka. Tak terkecuali Candra yang merupakan korban kekerasan selama menjadi buruh migran di Jepang. Ia memutuskan menutup kasusnya lantaran agen tidak menindaklanjuti aduan kekerasan yang dialaminya secara serius.
Lantas bagaimana nasib buruh migran Bali lainnya yang mencari penghidupan di negeri orang? Ada yang menggunakan istilah pekerja migran, tapi untuk artikel ini akan menggunakan istilah buruh migran untuk padanan tenaga kerja Indonesia (TKI) sebagaimana yang kerap digunakan asosiasi buruh untuk akses keadilan.
Bali di pasar kerja global
Ketergantungan Bali terhadap sektor pariwisata melemahkan perekonomian secara drastis selama pandemi COVID-19. Pemasukan ekonomi Kabupaten Badung sebagai pusat area wisata menurun sebanyak 16% pada 2020 (BPS, 2020-2022). Pandemi juga turut berimbas pada warga yang kehilangan pekerjaan, mengakibatkan tingkat pengangguran di Bali meningkat signifikan. Pada Februari 2020, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Bali tercatat 1,21%, meningkat hingga 5,42% pada Februari 2021 (BPS, 2020-2021). Lumpuhnya perekonomian Bali selama pandemi telah memperluas minat kerja masyarakat Bali untuk memasuki pasar kerja dunia sebagai buruh migran.
Berdasarkan laporan Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Bali tentang Sektor dan Negara Penempatan PMI tahun 2022, jumlah masyarakat Bali yang menjadi buruh migran mencapai 9.772 orang pasca-pandemi COVID-19 dengan jumlah laki-laki 5.534 orang dan perempuan sebanyak 4.237 orang. Mayoritas laki-laki bekerja di sektor kelautan, sedangkan perempuan rata-rata bekerja di sektor jasa terapis/spa.
Pekerja Migran Indonesia asal Buleleng merupakan buruh migran terbesar dengan jumlah 2.191 orang yang dominan bekerja di kawasan Eropa-Timur Tengah. BP3MI Bali telah memberangkatkan sekitar 2.000 masyarakat lokal ke luar negeri selama periode Januari-Maret 2023.
Sebagian besar dari buruh migran ini mendominasi sektor berbasis kelautan seperti kapal pesiar dengan jumlah 3.581 buruh, dan dalam basis darat di sektor jasa pelayanan seperti restoran 1.318 buruh, serta perhotelan sebanyak 2.955 buruh. Mereka paling meminati bekerja di Eropa, khususnya Italia sebanyak 3.584 buruh dan Polandia berjumlah 751 buruh. Di kawasan Eurasia, buruh migran Bali yang bekerja di Turki mencapai 1.450 orang.
“Pertama, motivasi mereka adalah penghasilan yang lebih tinggi. Kedua, memang, latar belakang mereka dari ekonomi yang belum mapan. Itu alasan mereka bekerja ke luar negeri,” jelas Anak Agung Gde Indra Hardiawan, Kepala BP3MI.
Berdasarkan pandangan Putri (bukan nama sebenarnya) yang pernah bekerja sebagai terapis di Turki, menjadi buruh migran ternyata lebih menjanjikan dibanding bekerja di Bali. Menurutnya, sebagai mantan buruh spa di sebuah hotel daerah Kuta, Kabupaten Badung, upah dan komisi kerja di Turki jauh lebih besar, belum lagi ia memperoleh jaminan kerja, perlindungan tenaga kerja, dan kemudahan izin cuti sakit maupun haid.
“Saya kerja di sana, enak sih. Gaji saya waktu itu sekitar USD 600 dolar. Ada gaji pokok per bulan dan juga ada tip-nya. Makan di hotel tiga kali sehari dan tempat tinggal di apartemen,” ucap perempuan asal Kabupaten Tabanan ini saat ditemui di kediamannya.
Durasi dan disiplin waktu kerja merupakan poin krusial dalam kerja perburuhan. Candra berpendapat bahwa selama ia kerja di Bali, lama waktu kerjanya ditentukan sesuka hati oleh pihak perusahaan, bahkan tanpa peraturan yang jelas. Sedangkan di Jepang, durasi kerja telah ditentukan maksimal 8 jam per hari dan wajib ditaati baik oleh buruh maupun pemberi kerja.
“Kalau di Bali, aturan jam kerja bisa beda-beda. Kalau di sana, waktu kerja ditentukan sesuai dengan di aturan. Sementara di Bali, kadang aturannya jam 9 sudah mesti di sana, sudah mulai bekerja, tapi kadang-kadang lagi malah disuruh datang sebelum jam 8,” kata Candra yang saat ini bekerja di mal daerah Bali.
Kerja di luar negeri menurut pandangan Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Udayana (Unud), Anak Agung Istri Ngurah Marhaeni, lebih menguntungkan dibanding kerja di Bali. Upah menjadi buruh migran jauh lebih besar dibanding upah di tingkat lokal dengan pekerjaan sama.
“Meski ada kesempatan bekerja di sini, tapi entah, rasanya lebih baik di sana, penghasilan lebih tinggi. Yang penting kita mendapatkan kesempatan kerja, serta mendatangkan devisa pada negara, kita juga memperoleh keterampilan dan disiplin, banyak yang kita dapatkan dibandingkan bekerja di dalam negeri. Walau biaya hidup lebih tinggi, masih bisa memberi uang ke keluarga,” papar Marhaeni.
Putri kini berusia 39 tahun, seorang sarjana Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), dan pernah mengikuti sejumlah ujian Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tetapi tidak lolos. Karena gagal, ia melamar kerja di spa hotel daerah Kuta. Hal ini mendorong Putri menjadi buruh migran. Dengan sertifikasi kerjanya, Putri akhirnya menjadi terapis di Turki.
Sebelum melamar kerja di spa, ia berusaha jadi PNS. “Saya ikut tes CPNS hingga empat kali, tetapi tidak lolos. Saya ditawari menjadi guru kontrak PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) tapi gajinya Rp 400.000-500.000 per bulan. Akhirnya saya bekerja sebagai buruh spa di hotel Kuta,” jelas Putri.
Menurut Candra, cari kerja di Bali tak mudah. Butuh koneksi khusus yang menghubungkan antara pelamar kerja dengan pemberi kerja. Ini menjadikan lapangan kerja lokal kurang kompetitif. Saat pekerjaan diperoleh, para buruh justru mengalami kerja ganda dan tekanan tinggi.
“Susah, apalagi kalau baru tamat. Yang baru lulus pasti susah kali kalau nggak ada kenalan atau relasi gitu. Pasti susah, bakalan susah, buat apa juga nerima orang yang baru pertama sedangkan kalau ingin memajukan perusahaan pasti orang berpengelaman. Kecuali usaha retail kan ada yang nerima lulusan baru. Tapi harus siap ngikutin aturan yang tidak sesuai dengan undang-undang,” ucap Candra.
Marhaeni menilai perlu adanya penghubung antara pemberi dan pelamar kerja. Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) harus melakukan kompilasi berapa banyak lowongan kerja dan kebutuhan kerja masyarakat baik di dalam maupun luar negeri untuk menjembatani persaingan masyarakat Bali dan para ekspatriat. “Banyak perusahaan tidak secara rutin melaporkan, misalnya punya lowongan berapa, masyarakat juga tidak secara rutin melaporkan kebutuhannya,” lanjutnya.
Desa Abuan sebagai Desa Desmigratif
Wayan Wiadnyana, Kepala Desa Abuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli, juga membenarkan apa yang disampaikan Indra. Masyarakat Desa Abuan termasuk penduduk terbesar dengan mata pencaharian sebagai buruh migran, hingga mendapatkan sebutan Desa Desa Migran Produktif (Desmigratif ). Buruh dari kategori remaja hingga yang sudah berkeluarga sangat tertarik untuk bekerja di luar negeri. Rata-rata pemuda Desa Abuan bekerja di kapal pesiar.
“Yang berangkat itu, lebih banyak bukan anak PNS (pegawai negeri sipil). Rata-rata mereka berangkat karena keinginan sendiri, melihat orang tuanya yang enggak mampu. Kebanyakan dari keluarga petani, buruh harian. Dari sisi keterampilan, kita di pedesaan biasanya mencari peluang pasar, melihat sisi kanan-kiri, warung sudah banyak. Kemudian dari sisi manajemen juga masih kurang, kemudian modal juga. Karena jika mereka meminjam modal, kalau tidak diolah dengan benar bisa membuat utang menumpuk. Tapi kalau ke luar negeri pasti bisa cepat pengembaliannya,” tutur Wiadnyana.
Secara geografis Desa Abuan berada di 7 km barat daya dari Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. Di sebelah utara, Desa Abuan berbatasan dengan Desa Susut, sebelah timur berbatasan dengan Desa Demulih, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Apuan, dan sebelah barat berbatasan langsung dengan Desa Petak, Gianyar. Desa Abuan memiliki luas wilayah 4,18 km2 dengan pemanfaatan wilayah pertanian sebesar 169,06 ha. Per tahun 2022, terdapat lima subak di Abuan yakni Subak Apuan Tempek Abuan seluas 19,94 ha, Subak Mundung seluas 15,67 ha, Subak Sala seluas 47,94 ha, Subak Uma Desa seluas 68,76 ha, dan Subak Uma Jero seluas 16,75 ha.
Mata pencaharian masyarakat Abuan di antaranya adalah petani, peternak, pengusaha, Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan juga buruh migran. Berdasarkan Laporan Kantor Desa Abuan, hingga tahun 2021 tercatat 221 warga yang aktif bekerja sebagai buruh migran dari sekitar 6000 penduduk desa, hampir 5%.
Menurut Wiadnyana, sempitnya luas lahan pertanian, alih fungsi lahan serta tingkat produktivitas lahan pertanian mempengaruhi motivasi warga Abuan untuk bekerja ke luar negeri. “Kalau di sini lahannya cukup sempit, statusnya petani tapi mereka lahan garapannya ya paling rata-rata 30-50 are. Masyarakat yang punya lahan cukup sempit, belum bisa memenuhi semua kebutuhan baik rumah tangga, sosial adatnya,” ujarnya.
Krisis air juga merupakan salah satu masalah. Wiadnyana melihat permasalahan air di desanya disebabkan oleh perubahan iklim global, tingginya kebutuhan penduduk terhadap air, serta diperparah dengan lahan hutan mulai berkurang. Air irigasi juga digunakan untuk kebutuhan rumah tangga. Petani pun menanam bergantian untuk pengaturan air.
Tingginya jumlah masyarakat Abuan yang bekerja di luar negeri menjadikan desa tersebut sebagai Desmigratif oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) di tahun 2022. Wiadnyana menilai program Desmigratif oleh Kemnaker sangat membantu masyarakat Abuan yang ingin bekerja ke luar negeri baik dari pemberdayaan keterampilan, sosialisasi pengetahuan, maupun pendanaan. “Saya pribadi mendapat pengetahuan baru tentang PMI, masyarakat kami juga dibantu pendanaan dan pemberdayaan masyarakat,” katanya.
Menyelami kasus pelanggaran hak buruh migran
Di tengah semakin meningkatnya masyarakat Bali yang berminat kerja ke luar negeri, permasalahan pelanggaran hak-hak buruh migran juga kian meningkat. Tak hanya menjadi korban tindak kekerasan, agen yang memberangkatkan Candra ke Jepang ternyata melakukan manipulasi berupa pemalsuan informasi. Proses perekrutan buruh dilakukan dengan memberikan pernyataan yang keliru terkait kondisi dan situasi perusahaan di Jepang.
Agen menginformasikan bahwa perusahaan konstruksi yang akan menaunginya memiliki banyak karyawan. Namun faktanya, pada saat Candra tiba di sana, perusahaan tersebut hanya memperkerjakan satu buruh saja. “Waktu itu mereka bilang karyawannya banyak di sana, tapi ternyata karyawannya cuma satu doang,” ucap Candra.
Sebelum berangkat ke Jepang, ia berutang ke kerabatnya sebesar Rp 35 juta untuk memenuhi syarat administrasi pra kerja. Upah kerja selama empat bulan tidak dapat menutup utang tersebut. Hingga sekarang, utang yang tersisa masih Rp 20 juta. Saat ia berusaha membayar utang dan membantu perekonomian keluarga, tiba-tiba ia dipulangkan karena kesalahan perusahaan. Agen lepas tanggungjawab terhadap masalah Candra dan membuatnya tidak dapat keluar dari jerat utang.
Persoalan perekrutan buruh tanpa informasi yang jelas serta utang-piutang bukan satu-satunya permasalahan. Jam kerja di luar batas maksimum yang diwajibkan kepada buruh migran adalah masalah krusial. Organisasi Perburuhan Internasional atau International Labor Organization (ILO) telah mengadopsi standar ketenagakerjaan internasional yang mengatur durasi kerja buruh melalui Konvensi Jam Kerja Nomor 1 Tahun 1919 yakni 7 jam kerja/hari atau 40 jam kerja/minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu. Bisa juga 8 jam kerja/hari atau 40 jam kerja/minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu.
Putri bekerja sebagai pekerja spa di Turki selama 12 jam per hari. Ia bekerja dari jam 09.00 hingga 21.00 waktu Turki, dan hanya diberikan waktu istirahat satu jam. Dalam satu minggu, Putri diberikan waktu libur satu hari saja. Walau melanggar konvensi ILO dan juga memangkas haknya, namun Putri memaklumi jam kerja lebih panjang tersebut lantaran upah di Turki jauh lebih besar dibanding di Bali.
“Kita di sana jarang jalan-jalan kecuali libur. Kalau sedang libur, tetapi ada tamu booking yang handle, jadi mbok nggak dah nggak libur,” tutur Putri.
Bekerja sebagai buruh migran tak ada salahnya. Namun jika bekerja tanpa dibekali kesadaran akan hak-haknya sebagai buruh akan mengorbankan diri. Konsekuensi dari minimnya kesadaran buruh tentang hak-hak yang dimilikinya akan memengaruhi sensitivitas buruh terhadap pelanggaran-pelanggaran hak yang dialaminya. Buruh mengalami alienasi dari kehidupannya dengan menganggap dirinya berada pada kondisi yang adil, padahal dirinya sedang terjebak dalam penindasan relasi kuasa antara kapitalis dan buruh.
Menurut Ni Nengah Budawati, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali Women Crisis Center (BWCC), pelanggaran hak-hak buruh dapat dikenai sanksi hukum apabila memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Namun demikian, korban juga perlu komitmen untuk saling terbuka dan jujur dalam memberikan keterangan serta kesaksian sebenar-benarnya pada saat berhadapan dengan aparat. Ia pernah mendampingi warga Kabupaten Bangli sebagai korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Malaysia 2015 silam.
Kecilnya persentase buruh migran yang mau melapor atas pelanggaran hak-hak yang dialaminya, menurut pengamatan Indra Hardiawan karena pengaruh depolitisasi masyarakat Bali yakni mengentalnya budaya koh ngomong (malas berbicara) dalam kehidupan sehari-hari. “Mereka engga mau melapor, itu susah. Ini juga berkaitan dengan budaya koh ngomong, ya sudahlah nanti dibalas karma pala, itu kental banget,” herannya.
Berbeda dengan Indra, Candra merasa malas menindaklanjuti kasusnya ke jalur hukum karena lemahnya penegakan hukum di tangan aparat. Ia berprasangka, apabila melaporkan kasusnya ke kepolisian harus mengeluarkan lebih banyak modal agar kasus pelanggaran yang dialaminya bisa diselesaikan dengan baik.
Sebagai korban manipulasi agen dan tindak kekerasan perusahaan kontruksi di Jepang, Candra berharap agar pemerintah lebih disiplin dalam memberikan izin operasional agen dan dilakukan pengetatan pengawasan terhadap agen yang memberangkatkan buruh migran Bali. Kepada para agen, Candra mengharapkan adanya keseriusan agen dalam menjalin kerjasama agar memprioritaskan kesejahteraan dan keamanan buruh.
“Harapannya agen-agen swasta di Bali lebih diperketat. Agen di Bali ini enggak sekadar kerja sama doang sama perusahaan di Jepang. Tapi juga tahu seluk-beluknya, latar belakangnya di sana bagaimana, karyawannya berapa, atau informasi spesifik lainnya tentang perusahaan, dan lebih ketat dalam pemberian izin agen dan LPK (Lembaga Pelatihan Kerja) untuk swasta,” kata Candra.
Dilema jadi buruh migran di negeri orang
“Alasan ke sana awalnya pengin cari ilmu sekalian magang. Tapi tujuan utamanya ya cari uang dan pada saat itu kan pandemi Covid-19. Jadi tidak ada negara yang membuka pemagangan selain Jepang,” kata Candra.
Candra berusia 22 tahun ketika berangkat menjadi buruh migran untuk menanggung ekonomi keluarganya. Sebab ekonomi keluarganya pailit akibat Covid-19. Walaupun sering menerima kekerasan dari atasan, pemuda yang kini berusia 23 tahun tersebut memilih tetap bekerja karena pertimbangan ekonomi. Jika Candra berhenti bekerja dan pulang ke Bali, lalu siapa yang akan membiayai hidup keluarganya? Namun Candra justru di-PHK sepihak oleh perusahaan tanpa pesangon karena ia berkonflik dengan atasannya.
Berbeda dengan Candra yang belum berkeluarga, Putri adalah seorang ibu yang berhenti menjadi buruh migran karena terus memikirkan ketiga anaknya. Perempuan yang kini tengah membuka warung kecil di desa daerah Kabupaten Tabanan, dulunya sempat bercita-cita membangun karir di sekolah menjadi guru SD. Namun karena gagal berkali-kali ikut tes CPNS, akhirnya ia memutuskan berangkat ke Turki. Pun setelah beberapa bulan bekerja di luar negeri, Putri diminta pulang oleh mertua dan suami karena sang anak.
“Saya berangkat ke Turki, hanya sebentar [6 bulan] di sana. Dikarenakan saya tidak mendapatkan izin dari suami dan mertua ke sana lagi. Kedua, faktor anak-anak tidak ada yang menjaga dan masih kecil. Di sana saya kepikiran terus, ingin pulang.”
Reza yang berusia 21 tahun juga mengalami dilema kerja di luar negeri. Laki-laki asal Klungkung ini merupakan buruh kapal pesiar. Ia menilai bahwa pekerjaannya akan mengubah nasib keluarga menjadi lebih baik. Menurutnya, orang tua dia merasa bangga lantaran sang anak bisa bekerja ke luar negeri. Setelah bekerja, ia merasa pekerjaannya terlalu berat, tetapi di sisi lain bersyukur lolos seleksi kerja di kapal pesiar mengingat seleksinya cukup sulit dan ketat.
Pekerjaan-pekerjaan masa depan di Bali
Persaingan ketat dengan ekspatriat juga menjadi alasan yang memotivasi para buruh migran ini mencari kerja di luar negeri. Pertumbuhan modal di sektor pariwisata telah menyokong perekonomian Bali, tetapi juga sekaligus meningkatkan persaingan di antara buruh dan pemilik modal.
“Persaingannya secara modal sih. Perusahaan-perusahaan terapis udah banyak (di Bali), jadi mungkin enggak sebagus kerja di luar negeri, yang datang itu ramai, ngasi tipnya jelas. Di kontrakpun tertuang, setiap hari mereka dapat treatment. Kalau gaji, lebih tinggi di sana. Untuk mereka yang new hire, beberapa yang aku baca itu ada yang dapat Rp 6-7 juta, itu belum service,” jelas Indra Hendrawan.
Menurut Marhaeni, sektor pariwisata akan tetap jadi sektor unggulan dari segi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) maupun lapangan kesempatan kerja di Provinsi Bali. Walaupun demikian, sektor pertanian, industri kreatif, dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) juga sudah mulai mengalami perkembangan dan akan menjadi pendukung sektor unggulan.
“Dari pengalaman pandemi, kita belajar perlunya mengimbangkan pembangunan di sektor pertanian, jasa, dan industri.” tegas Marhaeni, dosen senior yang sudah mengajar di Unud sejak tahun 1986. Laporan BPS (2022) menunjukkan tenaga kerja provinsi Bali saat Pandemi Covid-19 di sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan meningkat dari 38,988 di tahun 2020 menjadi 40,771 orang di tahun 2022.
Sedangkan dalam kacamata Astika Pande, Dosen Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) STIKOM Bali, prospek pekerjaan-pekerjaan masa depan di Bali akan mengarah pada pembukaan lapangan usaha di sektor teknologi informasi dan komunikasi seperti bisnis start up. Namun demikian, perusahaan-perusahaan teknologi besar atau big tech juga menjadi tantangan terhadap perkembangan perusahaan teknologi informasi di tingkat lokal.
“Kalau dari saya, karena teknologi, ya pertumbuhan dari sektor teknologi itu sendiri, lebih lebih di situ sih sebenarnya. Makanya kan banyak juga perusahaan perusahaan teknologi juga yang tumbuh pesat, membuka juga di Indonesia sampai ke daerah daerah gitu. Yang baru ingin tumbuh, yang baru ingin memulai, terkendala juga karena adanya persaingan dari raksasa-raksasa itu. Menurut saya sih lebih ke sana,” jelas Pande dalam diskusi publik online tentang pekerjaan-pekerjaan masa depan di Bali pada Jumat (5/5/2023) via Twitter Space.
Laporan BPS (2022) juga menunjukkan produktivitas tenaga kerja provinsi Bali di sektor teknologi informasi dan komunikasi terbesar kedua setelah lapangan usaha di sektor Real Estate. Pekerja di sektor teknologi informasi dan komunikasi mencapai 746,007 orang sedangkan sektor real estate mencapai 2.168,038.
Pekerjaan-pekerjaan masa depan di Bali juga akan membuka peluang persaingan yang begitu ketat dengan ekspatriat baik dari segi kualitas dan kuantitas. Untuk menghadapi persaingan kerja tersebut, Dwi Ermayanthi, Ketua Ubud Writers & Readers Festival (UWRF), meminta masyarakat agar mengembangkan skill dan meningkatkan etos kerja.
“Kita pun juga sebagai orang Bali maupun orang Indonesia yang mencari kerja di Bali itu pun juga harus improve diri gitu. Paling tidak etos kerjanya ditingkatkan, kemudian juga skill komunikasinya ditingkatkan sehingga mampu bersaing dalam pasar global,” tegas Erma dalam diskusi yang sama dengan Pande.
Pusat layanan aduan kasus TPPO
Bagi buruh migran Bali yang menjadi korban TPPO dan/atau mengalami pelanggaran hak-hak buruh selama bekerja di luar negeri, silakan menghubungi layanan call center berikut:
BP3MI Provinsi Bali +62 816-886-604
LBH BWCC +62 821-4499-4170
LBH APIK Bali +62 821-4714-7566
Polda Bali 119