Nusa Penida merupakan salah satu bagian dari Kepulauan Provinsi Bali.
Mayoritas penduduk pulau ini adalah Suku Bali sisanya adalah Suku Bugis.
Walaupun dengan perbedaan suku pada pulau yang tidak terlalu besar ini mereka tetap rukun dengan profesi pekerjaan masing-masing yang dilakoni.
Dahulu di era 1990-an pekerjaan yang sangat dominan di pulau ini adalah pertanian dan perikanan. Secara spesifik profesi mereka adalah nelayan dan petani “bulung”atau sering disebut rumput laut, terutama untuk mereka yang berdomisili di daerah pesisir pantai Nusa Penida. Adapun mereka yang berada di daerah pedalaman perbukitan mengutamakan pertanian palawija, peternakan sapi dan perdagangan hasil pertanian.
Saya yang ketika intu masih berusia anak-anak sangat tertegun melihat profesi mereka yang mulia ini. Dengan gigih para tetua-tetua bekerja di bidangnya untuk menyekolahkan anak-anaknya di Bali daratan untuk bisa memiliki masa depan yang lebih baik dari meraka.
Saya sangat nikmat memandang hamparan ladang bulung yang berjejer rapi di pesisir pantai Nusa Penida.
Warna-warninya begitu indah bergradasi dari hijau muda menuju hijau tua dan dari merah muda menuju merah tua. Semakin tua warna bulung bertanda bisa dipanen, siap dikeringkan dan dijual oleh petani bulung tersebut.
Zaman telah banyak berganti dan waktu berubah seiring tren dan pergeseran budaya dan tradisi. Kini profesi-profesi ini pun tergantikan oleh zaman yang milenia yang mengutamakan kebutuhan pelayanan jasa wisata.
Kini petak-petak bulung yang bergradasi di laut kian telah tiada. Mereka menghilang tergantikan dengan jasa-jasa pondok wisata, bungalow, vila-vila, lounge chair, restoran, bar dan sebagainya. Profesi petani bulung telah langka dan mungkin sudah menghilang kelak sesuai perubahan dan tuntutan tren zaman.
Kelangkaan petani bulung yang pernah menghiasi bibir pesisir pantai Nusa Penida telah menjadi sejarah. Mereka yang pernah mengisi aktivitas denyut jantung Pulau Spiritual ini. Sudah sepantasnya bisa diberikan kias “Nusa Penida is Bulung Legend“. Nusa Penida kembali mengikuti Bali daratan yang kian hari profesi bertani akan ditinggalkan.
Sampai kapan tradisi bertani ini akan dibiarkan sirna oleh tren zaman?
Kita sebagai rakyat kecil hanya bisa berdoa menunggu tangan-tangan mulia yang akan kembali mengangkat budaya heterogen yang telah membesarkan dan merawat alam Bali dan Nusa Penida.
Memang sungguh dilematis perubahan-perubahan oleh seleksi alam baik di bidang budaya dan adat tradisi. Akan tetapi perubahan akanlah tetap abadi karena tiada ada yang bisa menghentikan waktu atau memutar waktu kecuali Sang Pencipta.
Yang mungkin kita selalu harapkan adalah perubahan yang lebih baik dari sebelumnya dan menunjang satu sama lain dalam konsep “Tri Hita Karana”. Pahrayangan (Pencipta), Pawongan (Manusia) dan Palemahan (Alam Lingkungan).
Ketika ketiga unsur ini tetap seimbang, serasi dan selaras maka tetaplah akan ada kehidupan yang harmonis dan mengisi satu sama lain.
Mari kita semua berdoa untuk alam semesta untuk tetap “ajeg” dan harmonis serta damai. [b]
Banyak yang berubah setelah pariwisata nusapenida maju…. kasian rumput laut hilang …