Teks dan Foto Luh De Suriyani
Untuk pertama kali, sedikitnya 25 orang warga Tulamben, Kecamatan Kubu, Karangasem ke Pantai Kuta. Bukannya berlibur, mereka bekerja menggali jalan dan mengangkut batu di sepanjang jalan Pantai Kuta.
Pada Senin lalu, belasan buruh bangunan, termasuk anak-anak, perempuan, remaja putra dan orang dewasa dari Karangasem terlihat bekerja keras menyelesaikan pembangunan trotoar di sepanjang Jalan Raya Kuta sampai Jalan Melasti.
I Wayan Rupa, sebut aja demikian, salah satu remaja putra di antara kelompok buruh bangunan ini. Ia menolak disebut nama lengkapnya karena mengaku takut dengan mandornya. “Kami sudah 12 hari disini, tinggal di bedeng-bedeng buruh di Simpang Siur,” ujar Wayan dalam Bahasa Bali.
Wayan mengaku tinggal bersama sekitar 25 warga Kubu lainnya di bedeng yang sama setelah dibuatkan mandornya. “Tumben ke Kuta. Saya dapat berkah kerja disini, karena bulan puasa. Buruh-buruh Jawa pulang kampung,” ia tersenyum.
Ia mengaku diajak oleh teman satu desa yang menjadi mandor bekerja di Kuta. “Kalau tidak kerja disini, kami menganggur di kampung,” tambah Wayan yang mengaku tak tamat SMP ini.
I Made Redika, mandor yang dimaksud Wayan tiba-tiba menghampiri. Badannya besar, kulitnya gelap. Redika tersenyum ketika disapa.
“Ini proyek pembuatan trotoar, untuk tahap pertama 700 meter di sekitar Pantai Kuta,” kata Redika. Ia mengaku mengajak sejumlah warga di desanya yang punya sedikit pengalaman jadi buruh bangunan mengerjakan proyek ini. “Sekarang kan puasa, buruh dari Jawa banyak libur,” ujarnya.
Kenapa banyak buruh anak-anak juga? “Mereka minta ikut kerja karena ingin ke Kuta. Upahnya Rp 20 ribu bersih. Apalagi beberapa anak ada yang bapak atau ibunya sudah meninggal,” Redika menjelaskan. Untuk tempat menginap, Redika mengatakan menyiapkan bedeng milik perusahaan yang menampung semua pekerja.
Sementara upah orang dewasa sekitar Rp 40-50 ribu per hari. Di Jalan Melasti saja terlihat sedikitnya enam buruh anak-anak, laki dan perempuan menjadi asisten tukang. Mereka bertugas mengaduk semen dan pasir jadi adonan beton, serta mengangkat batu-batu kecil.
Para perempuan dewasa terlihat mengangkut bahan-bahan bangunan dengan keranjang di kepala. Sementara yang bertugas menata material dan finishing adalah laki-laki dewasa.
“Senang kerja disini,” sahut Luh Nonik, anak perempuan berusia sekitar 10 tahun. Ia dan teman sebayanya terlihat ketakutan menjawab dan melirik mandor yang mengawasi. Sejumlah turis asing yang berjalan-jalan di kawasan ini juga memperhatikan pekerja anak ini.
Luh Nonik dan teman perempuannya mengaku hanya sekolah sampai kelas IV SD. Mereka mengatakan belum sempat jalan-jalan ke pantai.
Seorang pekerja laki-laki dewasa lainnya juga mengaku sangat senang bisa bekerja di Kuta. “Saya agak kikuk melihat bule-bule telanjang di pantai,” sahutnya sambil tertawa.
Bulan Ramadhan memberikan berkah untuk buruh bangunan asal Bali. Biasanya, sangat sulit menemukan buruh asli Bali yang bekerja di pinggir jalan di Kota Denpasar dan Badung. [b]
DERITA KAUM BURUH
Melambung nya harga kebutuhan pokok menjelang ramadhan, membuat nasib buruh semakin kelimpungan. Gaji Rp.800.000-Rp.900.000 per bulan (rata-rata UMK Surabaya) hanya cukup untuk kebutuhan berbuka puasa dan makan sahur. Bayangkan bila buruh sudah berkeluarga dan memiliki anak, Untuk kebutuhan makan sehari-hari aja pas-pasan, belum lagi untuk kebutuhan anak, istri saat lebaran. Semua harga kebutuhan pokok naik hampir 50%, Betapa menderitanya nasib kaum buruh.
**********
Meminta kenaikan UMK pada saat-saat ini jelas suatu hal yang mustahil, berdemonstrasi, mogok kerja atau ngeluruk kantor dewan pasti hanya menimbulkan keributan tanpa hasil, atau bisa-bisa malah digebuki Satpol PP.
THR (Tunjangan Hari Raya) yang selama ini menjadi kado hiburan bagi buruh sengaja di kebiri pemerintah. UU No 14/1969 tentang pemberian THR telah di cabut oleh UU No 13/2003 yang tidak mengatur tentang pemberian THR. Undang-undang yang di buat sama sekali tidak memihak kepantingan kaum buruh. Atas dasar Undang-Undang inilah pengusaha selalu berkelit dalam pemberian THR.
Sedangkan UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, lebih memihak kepentingan investor asing dan Bank Dunia. Landasan formal seluruh aturan perundangan ini memperlemah posisi tawar buruh di bidang upah, kepastian kerja tetap, tunjangan dan hak normatif, hilangnya kesempatan kerja, partisipasi demokratis Dewan Pengupahan, dan konflik hubungan industrial. Pada prinsipnya Undang-Undang ini merupakan kepanjangan dari kapitalisme (pengusaha).
Selain masalah gaji rendah, pemberian THR, Undang-Undang yang tidak memihak kepentingan kaum buruh, derita kaum buruh seakan bertambah lengkap kala dihadapan pada standar keselamatan kerja yg buruk. Dari data pada tahun 2001 hingga 2008, di Indonesia rata-rata terjadi 50.000 kecalakaan kerja pertahun. Dari data itu, 440 kecelakaan kerja terjadi tiap hari nya, 7 buruh tewas tiap 24jam, dan 43 lainnya cacat. Standar keselamatan kerja di Indonesia paling buruk di kawasan Asia Tenggara.
Tidak heran jika ada yang menyebut, kaum buruh hanyalah korban dosa terstuktur dari dari kapitalisme global.
“kesejahteraan kaum buruh Indonesia hanyalah impian kosong belaka”