Oleh Anton Muhajir
Melalui email dan beberapa blog termasuk Bale Bengong serta Blog Ini dan Ini, diskusi tentang sosok AA Made Djelantik masih berlanjut, terutama tentang usulan agar nama beliau diabadikan sebagai nama rumah sakit (RS) Sanglah, RS terbesar di Bali. Saya sendiri tidak kenal secara pribadi. Saya hanya pernah bertemu untuk wawancara tentang buku karya Idanna Pucci.
Diskusi tentang AA Made Djelantik di dunia maya membuat saya membongkar kembali file di komputer. Dan, syukurlah, saya temukan juga tulisan saya yang pernah dimuat GATRA, majalah tempat saya pernah bekerja, pada Desember 2004. Sayangnya sih waktu itu saya menulis sangat sedikit. Itu pun tanpa analisis lebih dalam karena bukunya pun hanya pinjam. Harga bukunya mahal, jadi tidak bisa membeli. :)) Ya, tapi tidak ada salahnya saya kutip lagi di blog ini tanpa mengubah sedikit pun, termasuk waktu. Barangkali berguna..
Bertepatan dengan cara Global Healing di Ubud awal bulan ini, Idanna Pucci, penulis kelahiran Florensia, Italia meluncurkan buku Against All Odds – The Strange Destiny of Balinese Price. Buku ini berisi beberapa kisah dr. Anak Agung Made Djelantik, putra raja Karangasem. Namun buku ini bukan biografi. Autobiografi Djelantik, The Birthmark: Memoirs of Balinese Prince sudah diterbitkan Periplus, penerbit spesialis buku Bahasa Inggris, pada 1997.
Against All Odds menceritakan kembali kisah asal mula berdirinya kerjaan Karangasem, masa kecilnya Djelantik, masa remaja, hingga waktu dia bertugas sebagai dokter penyakit malaria di organisasi kesehatan Persatuan Bangsa-bangsa, WHO. Pucci, penulis lulusan Sastra Perbandingan Columbia University, menuliskan cerita Djelantik dalam bahasa Inggris, yang diterjemahkan Kadek Krishna Adidharma ke bahasa Indonesia.
Buku setebal 193 halaman itu berisi kisah dalam dua bahasa. Dalam bahasa Inggris 132 halaman dan sisanya dalam bahasa Indonesia. 26 kisah yang ditulis naratif itu dibagi dua bagian, pertama 8 tulisan dan kedua 18 tulisan. Semuanya ditulis Pucci dalam bentuk yang tidak berjarak dan santai.
Misalnya ketika Djelantik, kini 80 tahun, akan berpisah dengan Gede, kakaknya yang akan belajar di Badung (sekarang Denpasar). Gede ingin menguji kesetiaan adiknya tersebut. Ujian tersebut dilakukan dengan cara lucu. Gede berdiri di atas batu tinggi dan Djelantik di bawah. Lalu, cuurr, Gede mengencingi adiknya yang diam saja sebagai bentuk kesetiaan pada kakaknya. Cerita ringan lain misalnya, ketika Djelantik pertama kali punya Minerva. Dia terheran-heran melihat interior mobil baru tersebut.
Djelantik meninggalkan Bali pertama kali untuk sekolah di Jawa lalu melanjutkan studi di Fakultas Kedokteran Universitas Amsterdam, Belanda dan lulus pada 1946 dengan spesialisasi penyakit tropis. Setelah itu, bapak lima anak ini pernah menjadi Kepala Dinas Kesehatan Bali (1957-1969) dan ahli malaria di WHO (1969-1979).
Pengalaman ketika menjadi ahli malaria di WHO misalnya dituliskan dalam Awan di Atas Baghdad. Setelah selesai bertugas di Karachi, Djelantik berangkat ke Basra. Ketika sedang memotret, tiba-tiba dia ditangkap polisi Iraq karena dituduh sebagai mata-mata Israel atau Iran. Untunglah kemudian dia dilepas.
Hal unik dalam buku ini, selain penulisan bertutur seperti jurnalisme sastra, adalah ilustrasi oleh Djelantik sendiri. “Itu hanya oret-oret,” ujar Djelantik. Setiap kisah yang ditulis Pucci, diolah berdasarkan lukisan tokoh yang dituakan dan dihormati komunitas Bali tersebut. Djelantik sendiri melukis sebagai terapi, selain juga hobi. Lukisan realis Djelantik dengan narasi dari Pucci mejadi kekuatan buku ini. [b]
Identitas Buku
Judul: Against All Odds – The Strange Destiny of Balinese Prince
Penulis: Idanna Pucci
Penerbit: Saritaksu, Bali Desember 2004
Tebal: 193 halaman (tanpa halaman pendahuluan)