Nasib rencana reklamasi Teluk Benoa berpindah ke tangan Jokowi.
Apakah dia ratu adil atau mesias yang akan mencabut Perpres nomor 51 tahun 2014? Saya skeptis.
Tepat setahun lalu, saya menulis topik tentang reklamasi di portal kabar warga ini. Baca: Pria-pria Berbadan Kekar Ikut Bernyanyi di Konser Tolak Reklamasi. Waktu seperti melayang, umur pemerintahan SBY tinggal beberapa hari. Namun persoalan reklamasi Teluk Benoa belum berujung.
Saat pilpres lalu saya memilih Jokowi. Bukan karena saya yakin seratus persen akan kepemimpinannya. Saya percaya, untuk pemimpin perlu memilih yang lebih lemah daripada yang terlihat sangat kuat. Karena ketika sudah memimpin, yang sangat kuat akan teramat sulit dilawan. Karena itu saya tidak ingin Prabowo yang memimpin Indonesia.
Mulai terbukti. Meski presiden baru belum dilantik, legislatif dari kubu koalisi Prabowo sudah memenangkan voting RUU Pilkada. Ini dianggap sebagai penyunatan hak warga negara untuk memilih langsung kepala daerahnya, bukan pendelegasian lewat DPRD seperti di masa Orde Baru.
Di media sosial seperti twitter, merangsek percakapan dengan tagar #ShameonYouSBY yang kemudian menjadi topik paling dipercakapkan sejagad twitter, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sedang dalam lawatan kenegaraannya di Amerika Serikat. Lalu menyusul tagar #ShamedByYou yang bila disingkat menjadi SBY yang dianggap berlakon dalam sikapnya tentang RUU Pilkada.
Apakah tagar percakapan yang menjadi trending topic twitter bisa membuat DPR berubah sikap? Tagar hanya alat membentuk opini publik. Tapi memenangkan opini publik belum tentu memenangkan tujuan perubahan.
Setelah opini publik, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menggalang pengumpulan fotokopi KTP masyarakat yang ingin mengembalikan Pilkada ke tangan rakyat, sebagai dukungan untuk mengajukan gugatan hukum atas pengesahan RUU Pilkada.
Pada akhirnya, meski sangat cliché dan berpotensi menambah skeptis, hukum lah yang menjadi panglima. Karena meletakkan amanat perubahan di pundak pemimpin seperti SBY atau Jokowi bisa berujung kekecewaan. Juga jelas, yang menegaskan kemenangan Jokowi setelah drama politik angka pemilu adalah putusan Mahkamah Konstitusi.
Jadi, pada tujuan-tujuan perubahan, menggalang opini publik hanya sasaran antara. Keputusan hukum lah yang bisa memenangkan tujuan perubahan. Dan pengambil keputusan hukum tidak perlu tunduk pada opini publik, tapi pada dalil hukum.
Untuk konteks tujuan konservasi di Bali Selatan, ada cerita sukses yang mungkin kalangan baru penolak reklamasi sendiri ahistoris. Pada 1 Agustus 2013, majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar mengabulkan tuntutan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali kepada Gubernur Bali terkait rencana pemanfaatan kawasan bakau Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Bali. Hakim PTUN memerintahkan gubernur untuk segera mencabut surat keputusan (SK) yang memberikan izin kepada PT Tirta Rahmat Bahari untuk memanfaatkan kawasan Tahura Ngurah Rai seluas 102,22 hektar.
“Ini merupakan gugatan lingkungan pertama di Bali. Ini akan menjadi preseden baik bagi penegakan hukum lingkungan dan putusan ini juga yurisprudensi bagi setiap gerakan penyelamatan lingkungan yang akan melakukan upaya-upaya hukum,” kata Ketua Dewan Daerah Walhi Bali Wayan ‘Gendo’ Suardana seperti dikutip Mongabay.
Sejalan dengan optimisme Gendo pada upaya hukum untuk penyelamatan lingkungan di Bali, saya skeptis pada keberanian Jokowi membatalkan rencana reklamasi Teluk Benoa. Jokowi tetaplah pemimpin dengan logika developmentalism. Ini sebaris dengan tujuan reklamasi Teluk Benoa yang ingin membuat magnet wisata baru di Bali Selatan yang seharusnya zero development karena keterbatasan kapasitas ekologi.
Semasa kepemimpinannya di Jakarta, Jokowi memuluskan rencana pembangunan giant sea wall atau tembok laut raksasa di pantai utara Jakarta sebagai solusi banjir. Tembok raksasa ini akan sepaket dengan reklamasi 17 pulau di utara Jakarta seluas 5.100 hektar. Sekali lagi, reklamasi.
Meski lulusan Fakultas Kehutanan UGM, Jokowi bukan pemimpin yang mengutamakan logika konservasi. Daya pikat Jokowi adalah upayanya mewujudukan tata pemerintahan yang bersih dan akuntabel. Dengan disiplin ini, sangat mungkin Jokowi setuju rencana reklamasi Teluk Benoa, asal dilakukan lewat mekanisme tender penentuan investor, sebagai prinsip good governance.
Atau Jokowi akan menekankan konsesi maksimal lahan yang didapat pemerintah dari investor reklamasi (baca: Konsesi Giant Sea Wall, DKI dan Swasta Belum Deal:).
Jika meninjau lebih jauh rencana giant sea wall dan reklamasi di Jakarta, muncul juga nama grup Artha Graha yang mengajukan proyek reklamasi Teluk Benoa. (baca: Perusahaan Tomy Winata Incar Tanggul Raksasa dan Cerita Tomy Winata yang Melirik Proyek Giant Sea Wall Jakarta)
Jadi bisa menjadi lucu anasir ingin menasionalkan kampanye isu reklamasi Teluk Benoa, menjadi tidak hanya urusan Bali saja. Karena isu reklamasi tidak hanya Teluk Benoa, tapi juga di Jakarta dalam skala jauh lebih besar. Dan ini bersinggungan dengan investor yang sama yaitu Artha Graha, dan pengambil keputusan yang sama yaitu Jokowi.
Memang ada perbedaan dimensi konservasi antara reklamasi Teluk Benoa dan utara Jakarta. Dimensi konservasi pada Teluk Benoa inilah yang diamblaskan oleh keputusan seperti Peraturan Presiden nomor 51 tahun 2014. Perpres ini menghapuskan pasal-pasal yang menyatakan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi sebagaimana yang disebut dalam Perpres nomor 45 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Sarbagita.
Sementara di Jakarta, pemimpin bernada suara tinggi seperti Basuki TP (Ahok) tanpa beban menghardik Walhi yang mengkritik reklamasi 140 hektar di Pantai Ancol (baca: Ahok Tantang Walhi Debat Terbuka).
Cara Ahok yang menjadikan perbaikan kerusakan laut sebagai alasan reklamasi ini diserap oleh calon investor reklamasi Teluk Benoa untuk memuluskan rencananya. Mereka memundurkan istilah reklamasi dan memajukan istilah revitalisasi. Mereka mengampanyekan kondisi kerusakan ekologi Teluk Benoa yang sudah tidak pantas menjadi kawasan konservasi.
Dengan jargon revitalisasi berbasis reklamasi, mereka bersolusi memperbaiki pendangkalan atau sedimentasi di kawasan Teluk dengan pengerukan laut. Akan dikemanakan material keruk? Ya jelas untuk mengurug areal reklamasi. Mereka menyeret contoh-contoh reklamasi kecil-kecil di Bali sebagai sebuah kewajaran untuk diterima, dan mengabaikan jejak reklamasi Pulau Serangan yang hingga kini terkatung-katung.
Menekan Korporasi
Pemimpin seperti Jokowi dan Ahok adalah karakter baru birokrat dari yang sebelumnya di masa Orde Baru kaku, sewenang-wenang dan koruptif. Di masa Orde Baru, elemen perubahan sosial seperti LSM, aktivis dan akademisi menjadi penantang yang tangguh bagi birokrat dan korporasi.
Seiring perkembangan waktu, birokrat dan korporasi semakin cerdas memperbaiki diri, namun sayangnya justru kekuatan perubahan sosial yang justru tidak berkembang dalam metode. Perubahan drastis dalam gerakan sosial hanyalah kehadiran media sosial yang memudahkan agen perubahan menyebarkan pesan.
Tapi tidak boleh dilupakan, media sosial bukan ekslusif domain agen sosial.
Birokrat dan korporasi pun menggunakan media sosial. Bisa terlihat di twitter, penolak reformasi senantiasa mention akun twitter Jokowi agar membatalkan rencana reklamasi. Akun twitter dari kubu pembela reklamasi juga senantiasa merebut perhatian Jokowi dengan menyebut apa yang telah mereka lakukan di Teluk Benoa, sehingga reklamasi harus dilakukan.
Kedua pihak memakai cara yang sama, ditujukan untuk subjek yang sama.
Sejak era reformasi, gerakan lingkungan di Indonesia kian diperhatikan. Ini konsekwensi logis dari makin buruknya kerusakan ekologi. Masyarakat semakin terbuka dan khawatir pada isu lingkungan. Gerakan lingkungan mengeras, tapi perusakan lingkungan tak kalah ganas. Makin banyak gerakan lingkungan yang sporadis dengan isunya masing-masing berusaha membangun opini publik.
Bagaimana gerakan membangun opini publik bisa khas sesuai orientasi perubahan yang ingin dicapai. Salah satu metode khas yang dilakukan oleh organisasi lingkungan internasional adalah aksi langsung tanpa kekerasan (non-violent direct action/NVDA). Ini diterapkan misalnya oleh Earth First! dan Greenpeace.
Greenpeace yang beroperasi di Indonesia sejak 2005 adalah organisasi kampanye lingkungan, bukan lembaga advokasi atau pemberdayaan masyarakat. Greenpeace tidak melakukan unjuk rasa pembentukan opini publik dengan penggalangan massa. Karena akumulasi massa sangat berpotensi menjadi sasaran dan subjek kekerasan. Aksi Greenpeace bisa saja dilakukan oleh dua orang aktivis terlatih yang dibekali peralatan keselamatan, didampingi mediator, dan kesiapan kuasa hukum bila terjadi penahanan.
Makna aksi langsung adalah dilakukan pada objek yang berhubungan langsung dengan pihak yang ingin ditekan untuk berubah. Bentuk aksinya pasif resisten seperti menduduki, pemogokan, atau blokade yang bertujuan membuat krisis atau ketegangan dengan menolak bernegosiasi sehingga tuntutan tidak lagi diabaikan. Aktivis Greenpeace yang menghalangi kapal tanker atau mengikat diri pada kendaraan atau gerbang kantor perusahaan perusak lingkungan adalah bentuk-bentuk NVDA. Di Bali, saya mengenal empat orang yang terlatih menggunakan metode NVDA.
Bentuk kampanye Greenpeace lain yang sering efektif mengubah kebijakan korporasi adalah brand attack. Caranya dengan mengedukasi tentang keburukan produk dari korporasi perusak lingkungan dan selanjutnya mengajak publik untuk boikot mengonsumsi. Dimensi consumer awareness atau kesadaran konsumen masih jarang disentuh di Indonesia, padahal efektif menekan korporasi.
Jadi cara mana yang akan lebih efektif memenangkan tujuan perubahan pembatalan rencana reklamasi Teluk Benoa? Gugatan hukum atau aksi-aksi langsung tanpa kekerasan? Tak perlu dijawab bila Anda masih percaya mesias itu Jokowi. [b]
siapa 4 terlatih NVDA di bali, fred? pengen ketemu
Tentu saja, Joko2i bukan dewa atau mesias, dan sbg politikus dia harus berkompromi. Tapi soal reklamasi, jelas beda antara yg terjadindi Jakarta dgn di Bali. Di Bali kasusnya berkaitan erat dgn adat istiadat dan agama serta mengingat Bali adalah tujuan wisata yg pesonanya bersumber dari adat istiadat dan alamnya. Lagipula, saat pilpres lalu Jokowi mrnang besar di Bali. Dan jgn lupa, ketika di Solo Jokowi pernah menunjukkan pembelaannya utk kelestarian situs bersejarah yakni bangunan bekas pabrik es legendaris yg oleh pemprov Jateng ingin dibikin jadi mall.
@lodegen itu lewat japri aja 🙂
@chuang lihat hasil akhirnya, pabrik es itu jadi hotel http://www.solopos.tv/2014/09/jejak-jokowi-dan-bibit-waluyo-di-saripetojo-7484 🙂
@Alfred, saya merasa tulisan Anda ini “terlalu meremehkan” Jokowi. Terlihat jelas dari sejak awal karena Anda mengaku bahwa Anda memilih Jokowi di pilpres lalu atas pertimbangan bahwa Jokowi sosok yg lebih lemah dibandingkan calon satunya lagi, entah apa persisnya yg Anda maksudkan dgn lemah itu. Jokowi jelas masih perlu diuji meskipun telah memiliki prestasi di level sebelumnya, dan sejauh ini Jokowi baru sebatas sebagai calon legenda. Mari kita lihat dan kawal bersama2 apakah kelak Jokowi benar2 akan menjadi legenda dgn membawa pembaruan yg signifikan spt yg dijanjikannya.
@chuang saya memang meremehkan peluang jokowi punya gangguan kejiwaan, peluang prabowo jauh lebih besar