Oleh I Putu Angga Ardi Wilyandika
“Angga, kamu ikut sosialisasi, yaa, di SMK Negeri 2 Negara.”
Saya pikir apa, ternyata saya ditelepon hanya untuk mengikuti sosialisasi di SMK 2 oleh guru saya di masa istirahatnya para siswa. Di pertengahan liburan seperti itu agak malas rasanya untuk mengikuti kegiatan lain di luar rumah. Tapi, mau bagaimana lagi, sudah telanjur ditunjuk oleh guru.
Bayangkan jika saya menolaknya. Pasti saya dicap jelek oleh guru. Lalu bagaimana juga dengan nilai pelajaran jika saya tolak perintahnya? Maka dari itu, tanpa usaha untuk mengelak, saya pun menerimanya.
Selama liburan, saya sempatkan diri menemui guru yang menelepon saat itu dan bertanya mengenai sosialisasi apa yang dimaksud. “Sosialisasinya nanti akan ada penilaian juga.” HAAH?! Sosialisasi macam apa itu? Baru tahu kalau mendengar sosialisasi itu dinilai juga. Guru saya juga mengatakan akan ada sekitar 60 peserta mengikuti sosialisasi ini, tapi akan dibagi selama 3 hari. Terserahlah! Saya ikuti saja.
Bulan Juli entah tanggal berapa tepatnya, saya dan teman saya menghadiri sosialisasi di SMK Negeri 2 Negara, Baluk, mewakili SMA Negeri 1 Melaya. Sosialisasi dimulai sedikit lambat dari jadwal yang diinformasikan. Saya dan siswa dari sekolah lain dikumpulkan di satu ruangan tidak begitu lebar tapi cukup untuk kami tempati.
Sebanyak 16 orang peserta dalam ruangan itu mengikuti sosialisasi selama kurang lebih 4 jam. Mereka mensosialisasikan mengenai potensi kakao di Kabupaten Jembrana. “Kenapa harus kakao? Kenapa tidak pohon kelapa atau semacamnya? Atau mungkin si sumber beras saja?” Pikir saya saat sosialisasi baru dimulai.
Namun, setelah mendengarkan sosialisasi, yang pasti saya sedikit terkejut oleh pencapaian kakao Jembrana. Bagaimana tidak? Biji kakao yang selama ini saya acuhkan ternyata memiliki harga di mata dunia. Inilah yang menjadi penarik perhatian saya untuk fokus mendengarkan sosialisasi yang diadakan Yayasan Kalimajari dan Koperasi Kerta Semaya Samaniya (KSS).
Lalu bagaimana dengan penilaiannya? Penilaian yang dimaksud ternyata berupa tulisan. Kami diberi dua tema, yaitu “Apa yang akan saya lakukan jika saya seorang petani kakao” dan “Impian saya untuk kakao Jembrana”. Tiap peserta harus memilih salah satu dari dua tema tersebut dan menulis sesuai dengan tema yang telah dipilih.
Untuk menulis, kami diberi waktu 1,5 jam. Sebenarnya 1,5 jam itu tidak cukup bagi saya untuk menulis. Paling tidak saya perlu 4 jam untuk menulis 2 halaman penuh. Baru kali ini saya dikejar hanya untuk menulis. :’)
Tema yang saya pilih saat itu adalah “Impian saya untuk kakao Jembrana”. Menurut saya, tema ini yang paling mudah untuk disampaikan lewat tulisan. Awalnya saya terus berpikir saya akan kekurangan waktu. Apalagi jika saya membuat tulisannya di dalam buku terlebih dahulu lalu disalin ke kertas folio. Tanpa pikir panjang lagi, saya langsung menumpahkan segala yang ada di pikiran saya di kertas folio yang sebelumnya diserahkan panitia untuk seluruh peserta. Dan, tak disangka saya mampu menyelesaikan tulisan saya dalam waktu cukup singkat bagi saya.
Usai menulis, kami mengumpulkannya. Tulisan kami tadi akan dijadikan bahan untuk seleksi peserta yang akan menjadi finalis penerima beasiswa. WOW…! Beasiswa ini membuat kami penasaran, karena begitu dirahasiakan oleh panitia.
Saat itu saya sangat berharap untuk bisa lolos sebagai 10 besar finalis penerima beasiswa. Saya optimis karena saya sudah aktif menulis sejak 2 tahun sebelumnya. Tapi pikiran pesimis juga menyelubungi kepala saya. Masalahnya ada 60 siswa lainnya dari seluruh sekolah di Jembrana yang saya belum tahu potensi yang mereka miliki.
Pengumuman 10 besar finalis penerima beasiswa dengan tajuk Anugerah Jurnalisme Siswa (AJS) ini akan disampaikan melalui telepon setelah semua karya selesai di seleksi oleh para juri.
Tak Disangka
Selama berminggu-minggu saya menunggu pengumuman peserta yang lolos. Saya sangat berharap menjadi salah satunya. Saya sering berpikir kalau saya tak akan lolos. Pasalnya sudah beberapa hari sejak kegiatan sosialisasi usai saya tidak mendapat panggilan. Saking penasarannya, saya juga mencari informasi dari teman saya yang berada di daerah Pekutatan yang juga mengikuti seleksi, tetapi belum menemukan jawaban pasti.
Hingga pada suatu hari, saya mendapat panggilan dari nomor tidak dikenal dan bertuliskan “Denpasar”. “Halo Angga, selamat yaa kamu lolos ke tahap selanjutnya.” Ternyata sebuah panggilan dari kak Sri Auditya Sari, salah satu panitia di AJS, yang biasa disapa kak Tya. Kalau ditanya bagaimana perasaan saya, ya sudah pasti senang. Saat telepon ditutup, teriakan saya berada di whistle register (suara layaknya peluit).
Kami para peserta yang lolos tahap seleksi dikumpulkan di satu grup WhatsApp untuk memudahkan komunikasi. Segala informasi termasuk jadwal kegiatan yang akan diadakan diinformasikan melalui grup ini.
Kegiatan seleksi untuk finalis diadakan selama tiga hari, yakni tanggal 5 – 7 Agustus. Lokasi utamanya berada di koperasi KSS di Desa Nusasari, Kecamatan Melaya.
Hari pertama saya sedikit terlambat datang ke koperasi, didahului peserta lainnya. Judes, itu yang terlintas di pikiran saya mengenai mereka. Maka dari itu saya sedikit kaku saat pertama bertemu mereka. Apalagi teman saya yang dulunya 1 organisasi, tetapi tak saling sapa dengan saya ikut lolos 10 besar penerima beasiswa AJS ini.
Hari semakin menjauhi pagi. Kami pun mulai berkenalan satu sama lain. Dan teman lama saya, yaa kami mengulang untuk berkenalan lagi seperti belum pernah mengenal sebelumnya. Kami sempat berjalan-jalan sebentar berkeliling koperasi sebelum pemberian materi oleh Pak Ketut Wiadnyana, Bu Agung Widiastuti dan Mas Anton Muhajir.
Usai pemberian materi oleh seluruh pemateri, kami menuju kebun salah satu petani Jembrana yang telah menjadi local champion, Wayan Rata. Tak telalu jauh, hanya memerlukan waktu kurang lebih 15 menit dari koperasi KSS menuju kebun kakao Pak Rata di Dusun Nusa Sakti, Desa Nusasari, Kecamatan Melaya. Kami banyak mempelajari mengenai tanaman kakao di sini.
Di penghujung hari, saatnya untuk mendapatkan tema penulisan seleksi final. Ada empat tema yaitu budidaya, cokelat & kesehatan, fermentasi & sertifikasi, manajemen koperasi dan gender. Setiap tema akan dipegang dua peserta. Selanjutnya setiap dua peserta akan menjadi satu kelompok untuk mengadakan penelitian, tapi tetap membuat karya secara individu.
Di hari kedua, seluruh peserta diajak ke Desa Cau, Kecamatan Marga, Tabanan, untuk melihat proses pengolahan bean to bar di Cau Chocolates. Kami menghabiskan banyak waktu yang sangat bermanfaat di salah satu pembeli kakao koperasi KSS ini.
Hari terakhir, berlokasi di koperasi Kerta Semaya Samaniya. Kami 10 finalis membicarakan rencana satu bulan ke depan untuk penelitian dan narasumber yang dituju bersama dengan kak Tya. Selanjutnya kami diberi materi mengenai kepenulisan oleh mas Anton.
Tiga hari berlangsung sangat singkat. Pengalaman, ilmu, dan teman adalah hal istimewa yang saya dapatkan.
Tahap selanjutnya adalah memulai penelitian objek. Sesuai dengan tema yang saya dapat, budidaya, sebagian besar narasumber yang saya tuju adalah petani. Namun, dari sekian petani kakao Jembrana, Pak Rata yang menarik perhatian saya. Oleh karena itu, Pak Rata yang menjadi narasumber utama saya kali ini dengan beberapa narasumber lain melengkapi.
Terjun
Sejuknya perkebunan kakao tetap terasa walaupun saat itu seharusnya sinar mentari sudah menyentuh tanah. Bagaimana tidak, sebanyak 550 pohon yang tertanam di tanah seluas 75 are ini membuat suasana begitu sejuk.
Wayan Rata atau yang biasa disapa Pak Rata ini telah berhasil menanam pohon kakao yang jumlahnya tidak sedikit. Keseluruhan pohon milik Pak Rata adalah tanaman kakao yang berkualitas. Tak salah jika Pak Rata diberikan gelar local champion. Apalagi kini kakek 11 cucu ini memiliki klon kakao hasil karyanya sendiri.
Mendengar kesuksesan pak Rata membuat saya makin penasaran dengan setiap langkah yang dilaluiya. Saya dan pak Rata duduk di sakepat ditemani suasana kebun yang sejuk membawa kami kembali ke masa lalu milik pak Rata.
“Kalau gak kamu, siapa yang mau ngurus kebunnya nanti?” ucapan inilah yang terlontar dari orang tua Pak Rata. Menanggapi hal itu, Pak Rata akhirnya berhenti bersekolah saat naik kelas 3 sekolah dasar dan membantu orang tuanya berkebun. “Yaa, seperti orang tua zaman dulu, harus ikut kerja sama mereka,” katanya.
Suatu ketika puluhan tahun lalu, pria kelahiran 1950 ini menikahi seorang gadis di tempat sama ketika ia dilahirkan dan tempat tinggalnya kini, Dusun Nusasakti. Kebetulan mertuanya memiliki tanah yang diwariskan. Pak Rata pun memanfaatkan tanah warisan mertuanya untuk berkebun. Awalnya tanah itu dipenuhi jagung, padi, kelapa dan ada juga ketela pohon.
“Jika menanam jagung, hanya sekali panen. Sudah begitu kalau mau menanam lagi harus menunggu hujan,” keluh Pak Rata di atas sakepat dikelilingi oleh hasil kerja kerasnya. Hal inilah yang membuat Pak Rata beralih ke kakao sebagai tanaman yang berbuah terus dan hanya perlu ditanam sekali, sisanya hanya merawat. Pada 1984-1985, Pak Rata mulai menanami sebagian besar tanah warisan itu dengan kakao.
Pada awalnya kebanyakan yang ditanam adalah klon dari Indonesian Coffee and Cocoa Research Institute (ICCRI) atau Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka) Jember dan lindak, klon lokal. “Dulu cara menanamnya mudah. Bikin lubang, beri pupuk lalu tanam bibitnya.,” ujar sang local champion sembari memainkan tangannya memperagakan kegiatan menanam bibit.
Bibit yang ditanam adalah pemberian teman dan beberapa dari dinas. Pada saat itu masih banyak petani yang tidak tekun dengan kebun kakaonya. Karena harga kakao yang masih murah dan banyak buah dimakan tupai, banyak petani kakao menebang pohon kakaonya karena dianggap tak menguntungkan. Melihat teman-temannya banyak yang menyerah tak membuat Pak Rata ikut-ikutan menebang pohonnya. Dia berusaha bertahan.
Sampai saatnya penyakit Helopeltis dan penggerek buah kakao (PBK) secara besar-besaran menyerang pohon kakao milik Pak Rata. Helopeltis adalah hama pengisap buah kakao, bisa menurunkan 50-60 persen produktivitas buah. Adapun PBK atau yang sering disebut petani sebagai kankernya kakao adalah hama utama pada tumbuhan kakao. PBK menyebabkan biji yang melekat satu sama lain, ukurannya kecil dan kehitaman.
“Saya baru fokus ke kakao pada tahun 2001, tiba-tiba diserang hama penyakit di tahun 2002-2003. Itu hampir membuat saya stres. Mana saya belum paham jenis penyakit dan penanggulangannya,” kata ayah lima anak ini. “Untung saja saya tidak diganggu orang. Kalau diganggu bisa stres beneran saya,” imbuhnya.
Pada tahun yang sama pula Pak Rata mulai mencari solusi mengenai penyakit ini. Memiliki teman seorang Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dari Sulawesi kebetulan sedang ke Bali, Pak Rata mulai untuk konsultasi. Akhirnya pada tahun 2003 penyakit Helopeltis dan PBK di kebun kakao Pak Rata bisa dihilangkan dengan bantuan obat kimia yang penggunaannya dengan cara disemprot.
Beralih Lebih Baik
Masa lalu merupakan pelajaran yang sangat berharga baginya. Hikmah dari semua yang ia hadapi, kini Pak Rata sadar bahwa tanaman juga perlu diperhatikan. Dengan ini semua, Pak Rata mengubah cara budidaya lama yang hanya tanam, siram dan tunggu hasil menjadi pola budidaya yang baru.
Setelah hilangnya hama, peremajaan pun dilakukan. Baik melalui pemangkasan, sambung maupun penanaman dari biji.
Dengan pola budidaya yang baru, menanam biji tidak boleh sembarangan. Biji harus dipilih dari pohon berkualitas atau buahnya bagus. Hari ini dibuka buahnya, besoknya dicuci sampai tiga kali ganti air, jemur 2 sampai 3 jam, setelah itu rendam dengan air kelapa muda sekitar 15 menit sebagai perangsang pertumbuhan. Setelah itu baru ditanam. Dari biji hingga ke buah paling cepat 3 tahun setelah penanaman.
“Karena banyak pohon dan belum ada sumber air, untuk penyiraman saya hanya menunggu hujan datang,” ungkapnya. Di musim kemarau, dedaunan yang berjatuhan dibiarkan menutupi tanah untuk mengurangi penguapan yang terjadi. Jika hujan datang, dedaunan tadi harus dibawa ke rorak (lubang untuk menampung air aliran permukaan dan bahan organik sebagai sumber hara tanaman) dan dibiarkan membusuk hingga menjadi pupuk.
Untuk pemupukan, Pak Rata lebih dominan menggunakan pupuk organik. Pak Rata pernah membuat pupuk organik sendiri menggunakan kotoran sapi. Penggunaan pupuk 10 sampai 20 kilogram perpohon dalam setahun. Kalau organik makin banyak makin baik. Aplikasinya dilakukan pada awal dan akhir penghujan. Pupuk kimia juga digunakan sedikit, 300 gram perpohon untuk perangsang.
Selain Pak Rata, narasumber saya lainnya, I Gede Eka Aryasa atau yang biasa dipanggil Guru Eka, mengiyakan pendapat tersebut. Ia mengatakan bahwa sekarang ini pasar kebanyakan menerima kakao yang organik. Selain untuk pemasaran, perawatan secara organik juga akan menghasilkan efek bagus untuk jangka panjang. Baiknya juga pemupukan dilakukan melalui lubang di sekitar tanaman.
“Maaf ini, saya hanya lulusan SD, tidak tahu apa,” kata pak Rata menyelingi perbincangan kami di tengah kebun kakaonya. “Lulusan SD saja bisa sukses dan menjadi local champion, apalagi jika lulus perguruan tinggi,” begitu pikiran yang selalu ada mengingat pencapaian seorang petani Jembrana lulusan Sekolah Dasar.
Saya juga sempat diajak melihat-lihat seisi kebun milik pak Rata sembari mendengarkan caranya berbudidaya yang baik. “Memelihara sampai 3 tahun itu masih mudah, di atas 10 tahun baru akan terlihat rumitnya.” Rumit yang dimaksudnya adalah pemangkasan.
“Saya pernah lihat buah yang tumbuh di rantingnya itu, Pak. Kenapa kakao milik bapak sebagian besar ada di batang?” tanya saya sebagai orang yang sama sekali tanpa latar belakang pertanian.
Pertanyaan saya langsung disambut olehnya sembari tersenyum, “Itulah fungsinya pemangkasan, supaya tidak ada buah yang tumbuh di ranting. Supaya buah kakaonya tumbuh di batang.” Para petani mengutamakan buah yang ada di batang karena nutrisinya lebih baik.
“Selain mencegah buah ke ranting, pemangkasan juga untuk memenuhi standar perawatan yang mengharuskan 30-40 persen sinar matahari masuk, ” ujar Guru Eka, petani sukses yang tinggal di bagian Timur Jembrana, melengkapi jawab Pak Rata.
Sebelum melakukan pemangkasan, panen hanya 2 sampai 4 kali habis. Buahnya kecil karena berada di ranting. Berbeda dengan buah di batang. Semakin dekat dengan akar akan semakin banyak nutrisi yang diperoleh si buah kakao.
Yang dipangkas adalah ranting yang berlebih dan cabang cacing. Batas pemangkasan adalah 4 meter dari atas tanah. Sisa pemangkasan akan ditaruh di rorak, dijadikan pupuk kompos.
Pola budidaya yang baru juga ditunjukan dengan cara menyambung. Teknik sambung ada 3 macam, yakni okulasi (mata tunas), sambung pucuk, dan sambung samping.
Okulasi atau sambung mata tunas adalah teknik yang perlu hati-hati. Sambungan mata tunas hanya boleh menggunakan satu sambungan pada satu mata tunas. Teknik berikutnya sambung pucuk, sudah jelas dilakukan di pucuk pohon, bagian yang masih sebesar pensil. Terakhir adalah sambung samping, teknik ini dipraktikkan di batang besar pohon kakao.
Komang Sindu merupakan petani Jembrana yang juga melakukan kegiatan menyambung untuk peremajaan selain Pak Rata. “Karena sudah tua, harus dilakukan peremajaan. Kalau saya sendiri melakukan peremajaan dengan metode menyambung, utamanya sambung pucuk,” ucap petani muda yang akrab disapa Mang Sindu ini.
Teknik ini digunakan untuk menjaga kualitas tanaman dengan cara menyambungkan bibit unggul dengan tanaman induk yang juga unggulan untuk mendapatkan kualitas baik, bahkan lebih dari induk sebelumnya.
Lama waktu tumbuh tanaman kakao dengan cara menyambung beragam. Ada yang 3 tahun, 2 tahun hingga yang paling cepat 1 tahun yang dimiliki oleh RTNJ 01, kepanjangan Rata Nusa Jembrana 01.
“RTNJ 01” yang sedari awal mengikat perhatian saya ternyata dari sinilah awal mulanya. “Awal terciptanya klon ini karena kesenangan saya coba-coba. Ingin tahu,” katanya. RTNJ 01 adalah hasil gabungan dari 3 klon. Batang bawahnya lindak, lalu ICCRI dan 7 tahun yang lalu dapat kiriman panter, sambung lagi di ICCRI. Buah pertama hasil dari sambungan 3 klon itu dijadikan bibit sebanyak 25 biji. Yang sesuai dan berhasil hanya 1 biji, dari situlah terlahir klon RTNJ 01.
Sata lagi adalah cangkok. “Saya baru mengetahui metode cangkok ini saat ada mahasiswa yang berkunjung ke sini dan berbagi ilmu,” ucap pria yang dipanggil profesor oleh seorang dosen ini. Ada 2 jenis cangkok yang Pak Rata tahu, cangkok biasa dan cangkok susu.
Perbedaan cangkok biasa dengan susu hanya terletak pada saat dibungkus. Cangkok susu hanya ditambahkan akar dari tanaman yang dicangkok, agar akarnya cepat keluar dari bagian yang dikupas.
Jika akar pada bagian yang dibungkus sudah banyak, batang bagian bawah pembungkus dipotong, lalu direndam selama 1 jam dengan lubang-lubang di plastik pembungkusnya. Buatkan lubang yang diisi pupuk. Setelah itu, buka plastiknya lalu tanam. “Kakek baru saja menggunakan teknik cangkok ini selama beberapa bulan. Jadi belum tahu hasilnya,” ungkap Pak Rata.
Saya sering kali mendengar Pak Rata mengulang kalimat pengendalian hama. Begitu pentingnya pengendalian hama untuknya. Sudah pasti penting, pasalnya masalah inilah yang pernah membuat seorang local champion hampir stres.
Dengan tegas pak Rata berkata, “Pengendalian hama itu tak kalah penting. Jika sudah melihat tanda-tandanya, langsung saya semprot dengan obat.” Ia juga mengatakan saran dari dinas untuk menggunakan semut dari sarang yang dibuat sendiri dengan cara menaruh daun kelapa tua diberi gula merah di pohon kakao yang diserang penyakit Helopeltis.
Tidak salah jika Pak Rata sangat menekankan pengendalian hama. Karena hal inilah yang membuatnya hampir stres.
Maunya Panen Terus
Berkat seluruh pola budidaya yang diterapkan oleh Pak Rata, kini ia berhasil menjadi salah satu petani sukses di Jembrana. Ia berhasil merawat 550 pohon dengan baik. 550 pohon tersebut terbagi menjadi 5 klon utama. Klon itu adalah Panter, BLB, MCC 01, MCC 02, dan RTNJ 01 miliknya.
Masing-masing dari klon tersebut memiliki ciri dan keunggulannya. Contohnya saja dari segi warna, ada yang hijau dan merah. Yang berwarna hijau ada MCC 01, Panter dan RTNJ 01. Sedangkan yang berwarna merah ada BLB dan MCC 02.
Selain warna, bentuk juga berbeda. Jika dilihat secara saksama kalian akan melihat perbedaan yang jelas dari masing-masing klon.
Bentuk biji mereka pun berbeda. Panter memiliki ukuran biji paling besar dari klon yang lain, walaupun bentuknya gepeng. Bentuk dari biji MCC juga bak uang gepeng, tapi tidak sebesar biji Panter. Biji dari klon RTNJ dan BLB berbentuk bulat.
“Kalau orang lain bilang Panter itu panen terakhir, tapi saya tidak mau. Menurut saya Panter itu panen terus,” gurauan Pak Rata lagi-lagi membuat selingan dalam perbincangan kami. Gurauan yang selalu membuat saya tertawa.
Jika dibandingkan dengan jumlah biji, RTNJ lah yang unggul dengan 45 biji per buahnya. Disusul dengan BLB dan MCC sekitar 38-40 biji per buahnya. Di posisi terakhir ada Panter dengan 35 biji per buahnya.
Hama, mungkin Pak Rata akan sedikit sensitif jika membicarakan hama penyakit. “Kalau yang paling rentan itu ada 2 klon, tapi penyakit mereka beda. Yang pertama itu rentan sama Helopeltis tapi kuat dengan jamur. Kalau Panter sebaliknya.”
“Cara petik dan bukanya juga harus diperhatikan.” Pak Rata menyarankan saya untuk memetik buah dengan pisau ataupun arit dengan menyisakan setidaknya 1 cm bekas potongan untuk dijadikan bantalan bunganya nanti (bakal buah).
Cara membuka juga tidak sembarangan. Pak Rata membuka buah kakao ini tanpa pisau, karena takutnya biji kakao yang ada di dalamnya terluka. Jika terluka, biji kakao akan berjamur saat fermentasi. Maka dari itu pak Rata memilih untuk menggunakan kayu sebagai pengeplok (pembuka) buah kakaonya.
Keseluruhan sekali panennya itu bisa 5 sampai 10 buah per pohon saat musimnya panen raya. Jika tidak panen raya cuma 1 sampai 2 buah. Bahkan ada yang tidak menghasilkan buah di satu pohon saat tidak musimnya panen. Saat panen raya, Pak Rata bisa mendapat 2 kg biji kakao kering perpohonnya. Itu sekitar 11 kwintal di satu kebun kakao milik Pak Rata.
“Bisa menghasilkan sebanyak itu, bagaimana dengan biayanya?” pertanyaan itu sontak saja saya keluarkan.
Pak Rata menjelaskan, pupuk saja bisa 2 kali pakai itu 20 kg per tahun per pohonnya, itu biayanya Rp 1,4 juta. Lalu untuk pengendalian hama, penyemprotannya membutuhkan dana Rp 530 ribu. Jadi, total biaya perawatan adalah Rp 1.930.000 per tahun.
Namun, biaya itu termasuk kecil jika dibandingkan dengan penghasilannya. Jika dijual ke Koperasi KSS, Pak Rata akan mendapatkan Rp 38.000 per kg. Karena setahun mendapatkan sekira 1 ton, maka pendapatannya sekitar Rp 38 juta. Jika dihitung per bulan, maka Pak Rata akan menerima gaji sebesar Rp 3,1 jutaan dari kebun kakaonya.
“Kerjanya santai tapi dapat penghasilan yang lumayan, yang sulit hanya beberapa saat seperti pemangkasan,” ungkapnya.
Lepas Landas
Kini para petani Jembrana telah berhasil menciptakan kakao berkualitas, hingga bisa diakui negara-negara besar di dunia seperti negara penghasil coklat Valrhona, Perancis. Ini semua berkat koperasi KSS, Yayasan Kalimajari dan para petani kakao Jembrana yang tak henti memberikan yang terbaik. Bahkan hingga berhasil memperoleh beragam prestasi di tingkat internasional.
Kini koperasi harus menyediakan berton-ton biji kakao hasil petani Jembrana untuk diekspor ke berbagai tempat, baik itu di lingkup nasional maupun internasional.
Ini semua membuktikan bahwa nasib petani itu tak selamanya buruk. Contohnya saja para petani kakao Jembrana yang telah dikenal masyarakat dunia. Para petani yang biasanya dipandang sebelah mata kini berhasil membuat nama Kabupaten Jembrana meroket di tingkat nasional maupun internasional.
Jangan pernah ragu untuk memulai hal baru selagi positif, seperti mengubah pola budidaya lama dengan pola budidaya baru. Dengan cara budidaya yang benar dan perawatan yang baik bisa menghasilkan hal yang baik pula.
“Marilah kita bersama-sama menjaga dan memelihara kebun kita, karena menurut saya kakao ini sangat menjanjikan untuk masa depan,” pesan seorang local champion Jembrana, Wayan Rata. [b]
Keterangan: Artikel ini merupakan salah satu dari tiga karya terbaik dalam Anugerah Jurnalisme Siswa (AJS) 2019 yang diadakan Yayasan Kalimajari dan Koperasi Kerta Semaya Samaniya.