Budi Susila dan Arjun hari ini datang ke Denpasar.
Mereka bukanlah ayah dan anak secara biologis, melainkan guru dan siswa SDN 1 Mambang, Selemadeg, Tabanan. Keduanya datang ke Denpasar karena diundang mengikuti Trashstock Festival 2016 akhir pekan lalu.
Festival ini merupakan kampanye lingkungan khususnya kepedulian terhadap sampah plastik. Budi dan Arjun mewakili sanggar dan sekolahnya untuk memamerkan produk kerajinan dari sampah plastik.
Berbagai macam produk dipamerkan, seperti keranjang belanja, tempat minuman, sapu, tirai, hiasan bunga, dan lain-lain. Bahkan, Budi membawa gapura setinggi 2 meter yang akhirnya digunakan panitia Trashstock Festival sebagai dekorasi panggung. Semua kerajinan ini terbuat dari sampah plastik dan dikerjakan oleh siswa SD.
Siswa SDN 1 Mambang telah terbiasa membuat kerajinan dari sampah plastik. Peminatnya pun semakin meningkat dari tahun ke tahun. Sekalipun peminatnya banyak, waktu belajar di sekolah justru sangat terbatas. Akhirnya, Budi Susila pun membentuk Sanggar Seni Jegeg Bagus yang berisi siswa kelas 4 hingga 6 SDN 1 Mambang.
“Di sekolah hanya sempat belajar teori saja. Praktiknya kita lakukan di sanggar, di luar jam sekolah,” tutur guru SDN 1 Mambang.
Sanggar Seni Jegeg Bagus
Budi Susila tidak pernah berencana membangun sanggar seperti sekarang. Semuanya berawal dari sebuah tantangan yang menghampirinya dua tahun silam. Budi diminta mewakili Kwartir Cabang (Kwarcab) Tabanan untuk membuat pameran kesenian di Gedung Mario, Tabanan.
“Saat itu, saya tidak ada mood, tidak ada inspirasi. Tapi, akhirnya saya mendapatkan ide membuat bokor dari koran bekas,” ungkapnya.
Budi hanya mendapatkan waktu selama dua minggu untuk mempersiapkan pameran itu. Setelah mendapatkan ide bokor dari koran bekas, Budi langsung mencari inspirasi kerajinan dari koran bekas di internet. Alhasil, Budi memamerkan berbagai produk peralatan sembahyang berbahan baku koran bekas, seperti bokor, tempat kwangen, dulang, dan lain-lain. Budi pun berhasil merampungkan tugasnya untuk membuat pameran kesenian.
Selepas pameran, Budi mengajarkan siswa-siswanya mengolah sampah agar memiliki nilai tambah. Selain kerajinan dari koran bekas, Budi mulai merambah sampah plastik yang cukup banyak ada di desanya, yaitu botol dan gelas plastik.
Budi berupaya mengajarkan sesuatu yang dapat dimanfaatkan secara langsung. Dari botol plastik dapat diolah menjadi sapu. Gelas plastik bekas minuman teh kini dapat disusun menjadi keranjang belanja hingga tempat sampah. Kegiatan ini sesungguhnya bagian dari pelajaran Seni Budaya dan Ketrampilan (SBKL) untuk kelas 6 SD. Tapi, ternyata peminatnya terus bertambah.
Peminat yang bertambah tentu membutuhkan waktu dan sumber daya kerajinan yang lebih banyak. Budi pun membentuk sanggar yang diberi nama Sanggar Seni Jegeg Bagus. Kepala SDN 1 Mambang pun mendukung kegiatan ini dengan memberikan satu ruangan khusus untuk sanggarnya berkreasi.
Selain sanggar, Budi juga mendirikan bank sampah untuk mengumpulkan sumber daya kerajinan sanggar. Siswa kelas 1 hingga 3 membawa sampah plastik ke sekolah untuk ditabung. Sampah plastik yang terkumpul akan dihitung nilainya dan menjadi tabungan saat kelulusan nanti.
Contohnya, mereka mengumpulkan gelang dari bagian atas gelas plastik. Satu gelang dihargai Rp 50. Setiap membawa 10 gelang, maka siswa yang bersangkutan baru menabung Rp 500.
Sampah yang terkumpul akan dibuatkan kerajinan oleh siswa kelas 4 hingga 6. Hasil kerajinan biasanya dijual oleh siswa. Sebagian pembeli kerap datang ke rumah siswa. Jika laku, hasilnya akan mengganti uang tabungan siswa kelas 1 hingga 3 yang telah menabung sampah.
Namun, jika siswa ingin memiliki hasil kerajinan yang dibuatnya, siswa wajib membayar sesuai dengan ongkos produksi.
“Sekalipun tidak laku, saya dan relawan sanggar akan mengupayakan agar terjual,” jelas guru kelas 6 SDN 1 Mambang ini.
Era modern seperti saat ini, tentu anak-anak mudah sekali terpapar dengan teknologi mutakhir seperti permainan digital. Budi pun merasakan perubahan anak-anak pada zaman dulu dan sekarang. Menurutnya, anak-anak yang belum terpapar teknologi canggih atau gadget masih lebih mudah diatur.
“Sekarang semuanya kan mengheningkan cipta, lihat gadget sambil menunduk,” ujarnya sambil tertawa.
Hal yang sulit untuk mengalihkan anak dari gadget, namun bukan berarti tidak bisa. Budi memiliki cara tersendiri, yaitu dengan meleburkan dirinya masuk ke dunia anak-anak, para siswanya. Baginya, kata ‘harus’ dan ‘dilarang’ pantang diucapkan kepada anak-anak karena kata-kata negatif justru akan mendorong anak melakukan larangan itu.
“Kalau orang Bali bilang seperti bikul pisuh, tikus diomelin. Semakin dilarang semakin dilakukan. Kita pun semakin dijauhi. Jadi tidak perlu cari wibawa,” jelas Budi.
Budi berupaya masuk ke dunia para siswa sembari menciptakan situasi agar mereka hormat dan cinta kepada gurunya. Setelah ia berhasil berbaur dengan para siswanya, barulah ia mulai mengalihkan cara berpikirnya sedikit demi sedikit.
Untuk itu, Budi menerapkan strategi spiritual dan cinta kasih dalam kegiatan sanggarnya. Selain mengolah sampah menjadi kerajinan, Sanggar Seni Jegeg Bagus mulai merambah jenis kegiatan lainnya berupa kegiatan spiritual (meditasi Siwa-Buddha, yoga); seni budaya (seni tabuh, teater, lukis, tari); dan seni terapan (kerajinan daur ulang sampah). Tak hanya itu, sanggar ini pun mengajarkan siswa-siswanya kemampuan berbicara di depan umum (public speaking) dan kepemimpinan (leadership).
Budi merasa tidak mengalami kesulitan untuk mengajak siswa belajar membuat kerajinan, karena sudah menjadi tradisi. Satu-satunya kesulitan baginya adalah membuat anak didiknya terampil. Beberapa siswa belum mampu menghasilkan karya yang rapi. Meski demikian, Budi bersabar memberikan contoh karya yang bagus dan layak dijual.
Budi menegaskan sanggar ini bukanlah miliknya. Semua aset sanggar tetap akan kembali ke sekolah tempatnya mengajar. Semua siswa yang akhirnya terampil membuat kerajinan maupun berkesenian dapat memberikan kontribusi bagi sekolah. Alat-alat musik milik sanggar pun disimpan di sekolah.
Belajar Organisasi Sejak Dini
Semenjak kelas 4, siswa-siswa SDN 1 Mambang sudah pasti masuk sanggar. Bahkan ada pula siswa kelas 3 yang ingin bergabung. Antusiasme para siswa ini bukan tanpa sebab. Budi menciptakan regenerasi yang cukup baik untuk sanggar dan sekolahnya. Bahkan, Budi mencetuskan sistem organisasi layaknya kabinet presiden.
“Ada Presiden dan para Menteri yang bertugas mengatur ketertiban siswa lainnya. Kami sebut pendidikan politik demokrasi a la SD, tapi serius,” kisahnya.
Susunan kepengurusan kabinet SD ini dimulai dengan jabatan tertinggi yaitu Sekretaris Pembina yang menjadi asisten Budi Susila. Sekretaris Pembina ini membawahi Presiden dan Wakil Presiden, kemudian para menteri.
Susunan menteri dibentuk serupa dengan kabinet sungguhan dengan tugas sungguhan pula. Contohnya, Menteri Lingkungan yang bertugas membuat program agar lingkungan sekolah tetap bersih dan asri. Saat ini ada delapan menteri yang bertugas dan susunannya tidak menetap setiap periode, bergantung pada situasi.
Proses pemilihan pengurus tidak dipilih oleh Budi ataupun guru lainnya. Siswa sendiri yang mencalonkan diri dan memilih calon pengurus mereka.
Salah satu proses yang dilewati adalah uji kandidat dengan menghadirkan rancangan program saat terpilih. Oleh karena itu, mereka dibekali kemampuan berbicara di depan umum. Sekali terpilih, mereka tidak akan diganti atau di-reshuffle.
“Reshuffle adalah sesuatu yang memalukan. Maka dari itu, mereka harus memilih calon yang tepat,” ujar pria kelahiran 11 Desember 1969 ini.
Awalnya, Budi mengaku ia sempat kesulitan membentuk organisasi siswa untuk pertama kalinya. Namun, Budi sengaja memberikan banyak keuntungan untuk siswa yang mau menjadi pengurus. Keuntungannya bukan berupa nilai tambahan di rapor, tetapi pengalaman.
Budi biasa mengajak presiden atau sekretaris pembina aktif mengurus sanggar, mulai dari mempersiapkan program, menjajaki pemerintah daerah untuk pengajuan proposal bantuan, hingga mengikuti pameran Trashstock Festival ke Denpasar.
Kini terbukti, siapa yang terpilih menjadi presiden atau sekretaris pembina justru memiliki banyak pengalaman melebihi orang tuanya. Misalnya, berkunjung ke kantor gubernur adalah sesuatu yang luar biasa bagi siswa-siswanya. Orang tua mereka pun belum tentu pernah masuk kantor gubernur, meskipun sudah 50 tahun jadi guru.
Budi sengaja mengajak siswanya terlibat mengurus sanggar agar merasakan keuntungannya sebagai presiden maupun sekretaris pembina. Selain itu, Budi mengajarkan siswanya agar tidak mudah berputus asa, sekalipun mereka sulit mencari uang untuk sarana sanggar.
Tak hanya di sekolah, Budi pun memberlakukan sistem organisasi di sanggar. Ia membentuk kepengurusan sesuai bidang kegiatan. Seluruhnya tetap bersinergi dengan kepengurusan organisasi siswa di sekolah.
Arjun, koordinator seni tabuh Sanggar Seni Jegeg Bagus mengungkapkan rasa senangnya meski tampak malu. Arjun mengaku tidak begitu suka bermain gadget karena menurutnya kegiatan sanggar lebih mengasyikkan. Terlebih karena orang tua yang cukup protektif.
“Saya senang menabuh gamelan karena lihat kakek saya. Lalu, saya belajar di sanggar,” jelas siswa kelas 6 SDN 1 Mambang ini.
Setelah tamat sekolah, siswa SDN 1 Mambang tidak sepenuhnya berpisah dengan almamaternya. Mereka masih kembali ke sekolah sebagai relawan yang membantu Budi sebagai tutor sebaya. Mereka wajib membuat regenerasi.
“Tanggung jawab mereka belum dikatakan tuntas sebelum mereka mendapatkan pengganti pengurusnya,” tegas Budi.
Fitnah dan Hadiah
Kiprah Budi dengan sanggarnya tidaklah mulus tanpa hambatan. Niat tulusnya mendidik siswa agar mampu berorganisasi justru pernah disalahartikan oleh orang tua siswa. Salah satunya orang tua mencurigainya sengaja mengajak siswa perempuan kelas 7 yang seharusnya sudah lulus tapi masih main ke SD.
“Sudah pasti arahnya ke mana, mereka berpikir saya akan bertindak macam-macam, apalagi anak mereka sudah puber,” ungkap Budi.
Ketimpangan komunikasi guru dan siswa juga pernah ia alami. Suatu ketika Budi pernah meminta siswanya membawa bambu ukuran 1 meter untuk dijual. Hasilnya akan digunakan untuk keperluan sanggar. Tapi ternyata siswanya justru membawa bambu gelondongan yang besar. Orang tua yang bersangkutan marah dan berupaya memukul Budi. Nasib baik, pukulan itu meleset.
Kisah lainnya ketika mengajarkan kerajinan bokor dan dulang dari kardus bekas di Pasraman Dukuh Niwrethi, Tabanan. Ibu-ibu peserta pasraman mencemoohnya karena bahan bokor yang tidak lazim.
“Suun cepok kena yeh, benyah. Begitu komentar mereka. Kok saya diginiin ya, kenapa nggak mau tanya gimana caranya biar nggak hancur,” tutur suami dari I Nyoman Sunantri ini.
Budi pun menunjukan kekuatan bokor kardus bekas sama dengan kayu. Ada beberapa perlindungan yang diterapkan mulai dari lem kayu, cat tembok hingga pernis. Sekalipun direndam air, bokor itu tidak akan rusak.
Sekalipun banyak yang memfitnah dirinya, Budi tetap berusaha melanjutkan kiprahnya di sekolah maupun di sanggar. Banyak dukungan mengalir dari berbagai pihak, terutama pihak internal Kepala SDN 1 Mambang dan Kepala Desa Mambang. Pihak lain pun turut membantu pengadaan sarana bagi sanggar.
Dukungan tidak hanya untuk sanggar saja, melainkan untuk dirinya sendiri. Di balik performa baiknya sebagai guru, Budi belum dapat meraih akreditasi karena belum lulus sarjana. Ia hanya tamatan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) pada tahun 1989. Budi tak mampu melanjutkan pendidikannya sebab terhalang biaya.
Pada tahun 2014, ada seorang pengusaha yang berbaik hati menawarkannya kuliah di Universitas Hindu Indonesia. Ketika itu, ia mengambil jurusan Ilmu Agama dan Kebudayaan. Setelah dua semester, biaya kuliahnya terputus karena situasi ekonomi pengusaha yang membantunya sedang carut marut.
Budi bersyukur masih dapat melanjutkan pendidikannya berkat bantuan dari kawan-kawan lamanya. Bantuan ini tentu tidak cukup hingga dirinya lulus kuliah. Kini ia memasuki semester V, Budi belum tahu akan dapat melanjutkan kuliahnya atau tidak. Ia masih mencari cara untuk melunasi biaya SPP-nya semester ini.
Meski terhimpit masalah ekonomi, semangat siswanya mampu membuat Budi bangkit. Apalagi banyak orang menaruh perhatian pada kegiatan sanggar. Hingga saat ini, banyak orang yang telah berkunjung dan mengikuti pelatihan kerajinan barang bekas di Sanggar Seni Jegeg Bagus, mulai dari organisasi asing asal Australia dan India; organisasi mahasiswa pecinta alam dari Universitas Udayana; pelajar SMP-SMA; hingga pejabat Pemerintah Kabupaten Tabanan.
Di sela wawancara ini berlangsung, stan Sanggar Seni Jegeg Bagus dikunjungi Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Denpasar, I Ketut Wisada, SE, MSi. Wisada menghadiri kegiatan Trashstock Festival 2016 mewakili Walikota Denpasar yang berhalangan hadir.
Wisada mengaku sedang mengupayakan pemasaran kerajinan barang bekas seperti karya Budi dan para siswanya di supermarket. Ia pun berharap semakin banyak produsen yang aktif agar dapat mengurangi sampah plastik.
“Perhatian itu menjadi kebanggaan bagi siswa dan saya. Termasuk undangan dari Trashstock Festival ini. Mereka (siswa-red) pasti sangat senang, apalagi hasil karya mereka dipajang di panggung,” jelas ayah dari I Gede Satria Wijaya dan Ni Kadek Julia Rahayu ini.
Trashstock Festival menghimpun dana dari tiket masuk acara mereka. Tahun ini, mereka akan menyumbangkan sebagian dana yang terkumpul kepada Sanggar Seni Jegeg Bagus agar kegiatan sanggar tetap berlanjut. [b]