Oleh: dr. I Gusti Rai Putra Wiguna, Sp.KJ*
Boneka kini menjadi hadiah yang sangat digemari terutama menjelang Hari Kasih Sayang atau Valentine’s Day, selain coklat tentunya. Boneka bisa menjadi hadiah sekaligus tanda cinta kita pada pasangan kita atau tanda cinta dan kasih sayang orang tua kepada anak-anak mereka. Boneka bisa juga menjadi pengingat dan pengganti ketika keberadaan kita tidak bisa senantiasa ada di sekitar orang yang kita sayangi.
Namun, ada fenomena yang saya hadapi sebagai seorang psikiater. Belakangan ini, boneka menjadi obyek kelekatan. Ketika ada perasaan tidak nyaman pada diri seorang anak, boneka menjadi obyek kelekatan patologis atau menjadi berlebihan. Cukup banyak saya lihat anak-anak yang sudah beranjak besar, SD atau SMP, masih harus tidur dengan boneka yang ia miliki sejak balita. Walaupun boneka tersebut keadaanya sudah kotor dan kusam, ada kesulitan pada diri mereka untuk merasa nyaman tanpa kehadiran boneka yang dimilikinya sejak kecil.
Budaya Bali
Dalam kajian psikologi, apa yang terjadi dalam contoh di atas adalah kecemasan atau perasaan tidak nyaman (discomfort feeling) yang ada pada psikologis kemudian diarahkan pada objek kelekatan yang ada pada diri seseorang, dalam hal ini boneka. Ada hal yang menurut saya cukup penting untuk kita bahas. Dalam budaya Bali, boneka hampir tidak saya temui dalam kehidupan seorang anak terutama pada zaman dahulu. Dulu, kebanyakan anak di Bali tidur menggunakan cerita, tutur atau dongeng, bukan dengan boneka.
Saya terlahir tanpa mengenal kedua kakek saya, karena sudah meninggal sebelumnya. Sejak kecil, saya ditidurkan oleh nenek dengan cerita-cerita mengenai kakek saya. Tanpa terasa, saya merasa begitu mengenal kakek saya. Bahkan ada cerita-cerita perjuangan bagaimana sulitnya masa lalu, tetapi dikemas sebagai sebuah perjuangan, bukan sebuah penderitaan.
Ketika beranjak dewasa, cerita-cerita tersebut saya sadari begitu larut dalam alam bawah sadar saya; bahwa saya terlahir di keluarga pejuang, ketika mengalami kesulitan saya akan tetap berjuang dengan apa yang saya miliki. Jadi, pengantar tidur lewat cerita bukan hanya soal cerita, melainkan sesuatu yang ditanamkan di alam bawah sadar kita.
Saya melihat, karena pengaruh modernisasi, kini cerita mulai berganti dengan boneka. Apalagi, kehadiran orang tua–kakek-nenek, ayah-ibu, mulai berkurang. Anak-anak sering kita temui sudah tidur ketika orang tua mereka baru pulang bekerja. Jadilah budaya ini berganti dengan budaya boneka, budaya obyek kelekatan, bukan lagi soal cerita atau nilai-nilai yang ditanamkan.
Boneka Arwah
Walaupun dalam modernisasi tersebut, ada juga ada yang menggabungkan keduanya, cerita dan boneka. Kita tentu ingat, ada cerita boneka misalnya ‘Si Komo’, memadukan cerita lewat boneka. Tentu hal ini sangat baik dan edukatif. Jika sekarang ada seorang psikiater membicarakan boneka, pasti banyak pembaca bertanya tentang fenomena yang banyak dibicarakan saat ini: boneka arwah. Sebenarnya bagaimana dengan hal itu?
Fenomena ini menjadi ramai karena beberapa artis menunjukkan secara terbuka bagaimana mereka memiliki boneka arwah. Apakah itu adalah sebuah gangguan jiwa? Tentu tidak mudah kita nilai dari pandangan sesaat. Kalau seseorang bisa membedakan antara dunia imajinasi dengan dunia nyata—bahwa boneka hanya sebuah pengalihan dari kehidupan sehari-hari, atau sebagai media latihan bagi mereka untuk berkomunikasi di dunia nyata yang dimulai dengan berlatih berkomunikasi dengan boneka, tentu hal tersebut masih merupakan hal yang wajar.
Namun, ketika seseorang sudah sulit membedakan antara dunia imajinasi dengan dunia nyata, merasa bonekanya adalah seseorang yang nyata dalam kehidupannya, tentu kita harus berhati-hati dan mengkonsultasikan apabila ada keluarga dekat kita mengalami hal-hal semacam itu.
Media Terapi
Sebetulnya, dalam dunia psikologi, boneka juga bisa menjadi media terapi—loncatan awal bagaimana kita bisa berlatih mengasah perasaan kita, empati kita, dimulai dari boneka. Bagaimana kita bisa memperlakukan dia dengan baik, dengan apa yang bisa kita lakukan, apa yang kita ingin katakan, menghayalkan bagaimana mereka bisa merasakan perlakuan yang baik dari diri kita.
Boneka juga sering digunakan pada terapi Gestalt (Gestalt Theraphy). Pada awalnya, terapi ini menggunakan kursi kosong. Jadi, ketika kita mempunyai unfinished bussiness atau urusan yang belum selesai dengan seseorang yang mungkin sulit kita temui atau sulit kita ajak berkomunikasi, atau bahkan telah tiada, kita menggunakan kursi kosong dan membayangkannya di alam bawah sadar kita ada di hadapan kita.
Hal-hal yang belum sempat kita sampaikan, hal-hal yang masih terpendam dalam hati, kita bisa sampaikan pada kursi kosong tersebut. Nantinya, kita duduk di kursi kosong itu dan membalasnya, seakan-akan kita adalah diri seseorang yang mempunyai unfinished bussines tersebut.
Seringkali, saya mengganti kursi kosong dengan boneka atau gambar yang dibuat tentang figur seseorang yang masih bermasalah dalam hidup kita. Jadi, boneka juga bisa menjadi sebuah terapi. Bagi saya, ini bukan soal “boneka” atau “bukan boneka”, tetapi bagaimana kita menggunakan obyek itu untuk kepentingan yang ada di dalam diri kita.
Dan, tidak salah juga kalau boneka yang hanya sekadar boneka—sebuah obyek yang indah, visual yang menarik, ada juga orang yang mengkoleksi hal-hal itu hanya untuk kesenangan pribadi. Jadi memang tidak semua sesuatu mesti kita tanggapi dengan serius. Hal terpenting, bagaimana kita tetap mempunyai kendali dalam hidup kita dan tidak menjadi boneka bagi orang lain, ya. Selamat Tahun Baru 2022. Semoga kita semua berada dalam keadaan mantap jiwa.
*) Psikiater Klinik Utama Sudirman Medical Centre (SMC) Denpasar, Pendiri Rumah Berdaya Denpasar dan Pegiat Kesehatan Mental di Bali
Comments 1