Paduan instrumen Barat dan ukiran Bali menghasilkan gitar berkelas.
Sejak puluhan tahun silam, Desa Guwang, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali terkenal sebagai pusat para pemahat tradisional. Desa kecil berjarak sekitar 10 km dari timur Denpasar ini tempat di mana para pemahat Bali lahir dan berkarya. Beberapa di antaranya adalah Nyoman Ritug, Ida Balik Riti, dan I Wayan Puja.
Di Desa Guwang dulunya lahir Sekolah Seni Ukir di mana para pemahat juga menjadi guru di sekolah tersebut secara sukarela. Dosen-dosen jurusan seni ukir di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar pun sebagian besar dari sini. Salah satu ikon hasil pahatan dari desa ini adalah Patung Garuda Wisnu, yang tak hanya menjadi kebanggan warga lokal tapi juga inspirasi patung-patung lain di Bali. Patung Garuda Wisnu Kencana setinggi sekitar tiga meter berdiri di jalan utama Desa Guwang.
Dari desa ini pulau sekarang muncul ikon lain yang justru tak terlalu terkenal di Bali atau Indonesia namun menjadi benda koleksi berbagai selebritas dan pejabat di Indonesia. Ikon baru tersebut adalah BlueBerry, gitar kayu made in Bali. Gitar ini dikoleksi sejumlah musisi ternama Indonesia seperti Iwan Fals, Dewa Budjana, dan Wayan Balawan, gitaris di Bali.
Pejabat tinggi Indonesia termasuk Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto dan bahkan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono pun mengoleksi gitar BlueBerry.
Penjualan gitar ini paling banyak justru di luar negeri, terutama Kanada dan Amerika. Hingga sekitar 95 persen dari total penjualan. Sisanya dijual di Indonesia dan baru-baru ini ke Australia dan Belanda.
Premium
BlueBerry diproduksi dari sebuah bengkel kerja berjarak sekitar 500 meter di selatan Pasar Seni Guwang. Di pasar ini turis dari berbagai daerah dan negara bisa mendapatkan aneka suvenir khas Bali dengan harga terjangkau. Namun, BlueBerry berbeda jauh dengan suvenir-suvenir di pasar. Dengan kualitas premium dan harga ribuan dolar per biji, BlueBerry bukan gitar pasaran. Dia tidak diproduksi secara massal tapi berdasarkan permintaan.
Seperti para pembuatnya, BlueBerry pun memadukan dua dunia, barat dan timur. BlueBerry memadukan kegilaan Danny Fonfeder pada gitar, kesaktian Wayan Tuges untuk memahat, dan kejeniusan George Morris membuat gitar. Ketiganya datang dari latar belakang berbeda: Danny pengusaha dan penggila gitar dari Kanada, Tuges pemahat ternama di Guwang, dan Morris guru gitar selama puluhan tahun dari Amerika Serikat.
Cerita bermula ketika Danny berlibur ke Bali usai perjalanan bisnis di Asia untuk perusahaannya, Buffalo East Cantra. Selain pengusaha, Danny adalah penggila musik. Sejak umur 11 tahun dia sudah akrab dengan musik-musik tak biasa untuk anak seumurannya, seperti Aerosmith, Pink Floyd, the Rolling Stones, Queen, dan The Beatles. Sejak umur 13 tahun dia sudah bermain gitar yang kemudian menjadi teman perjalanannya ke mana pun. Ketika berlibur di Bali pada tahun 2005, Danny lupa membawa gitarnya sehingga kemudian dia membeli satu gitar di pulau ini. Melihat kekayaan ukir di Bali, Danny berpikir untuk memadukan gitar dengan seni ukir. Sopir taksi yang mengantarnya saat itu, mempertemukan Danny dengan Wayan Tuges.
Tuges, seperti laki-laki umumnya di Guwang, merasa memiliki gen sebagai pemahat. Bapaknya adalah Nyoman Rugig, pemahat terkemuka Bali. Sejak umur lima tahun, Tuges sudah belajar mengukir. Sejak tahun 1980-an, Tuges sudah melanglang buana ke luar negeri untuk belajar dan memamerkan karya ukirnya. Hasil karya Tuges tak hanya dijual hingga Belgia, Jepang, dan negara lain tapi juga menjadi pusaka-pusaka yang dikeramatkan di pura (pratima).
Karena itu, Tuges dengan senang hati menerima permintaan Danny untuk membuat gitar. Dia membuat dua gitar selama sekitar empat bulan. Namun, dia gagal. Gitar tersebut memang cantik dengan penuh ukiran di badan. Tapi, suaranya tidak jelas. Maka, Danny kemudian mengajak George Morris, yang sudah puluhan tahun mengajar seni gitar di Amerika agar mengajarkan ilmu gitar kepada Tuges. Selama dua tahun secara intensif, Morris pun kemudian mengajarkan ilmu tentang gitar kepada Tuges.
Tuges mengaku tidak tahu sama sekali tentang struktur gitar ataupun cara menggunakannya. “Kalau menyanyi tembang tradisional sih saya bisa. Tapi gitar tidak bisa sama sekali,” katanya.
Dia pun belajar membuat gitar dari nol sementara Morris sesekali datang ke Bali untuk mendampingi. Setelah dua tahun belajar, Tuges mulai memproduksi gitar sendiri. Hasilnya, pada Juli 2007, bersamaan dengan pelaksanaan Montreal Jazz Festival di Kanada, dia dan Danny meluncurkan gitar dengan merk BlueBerry. Merk ini diambil dari nama puteri ketiga Danny, Talia Blueberry. Delapan gitar yang diluncurkan saat itu langsung habis terbeli.
Karya Seni
Sejak itulah, gitar-gitar BlueBerry mulai dikenal. Hingga saat ini, mereka sudah menjual sekitar 1.230 gitar akustik dan 30-an gitar elektrik. Tiap gitar punya nomor seri sehingga terlacak berapa banyak gitar yang pernah dibuat oleh Tuges dan karyawan-karyawannya. BlueBerry punya nama tersendiri selain karena musisi-musisi yang diendorse juga karena marketing of mouth, BlueBerry tak hanya alat musik tapi juga karya seni. “Our guitars is not just instrument. It’s art,” kata Tuges. Bapak empat anak ini tak berlebihan dengan klaim tersebut. Majalah Making Music Magazine edisi Juli lalu menobatkan BlueBerry sebagai The Most Beautiful Music Instrument. Dengan ukiran dan aksesoris lain pada bagian-bagiannya, gitar BlueBerry memang tak sekadar instrumen musik. Dia adalah karya seni.
Cita rasa seni BlueBerry dihasilkan melalui seluruh proses dengan tangan (hand made). Bersama 25 karyawan di bengkelnya, Tuges memproduksi BlueBerry dengan tangan-tangan terampil para pemahat Guwang. Pada akhir Agustus lalu, karyawan-karyawan tersebut, tiga di antaranya adalah anak Tuges, mengerjakan gitar-gitar itu. Secara sederhana, proses pembuatan gitar BlueBerry terdiri dari pemahatan, pembuatan bodi, pemasangan leher dan kepala, dan terakhir finishing.
Menurut Tuges, kualitas gitar BlueBerry ditentukan oleh dua hal utama, suara dan penampilan. Masing-masing memiliki rahasia sendiri agar mendapatkan kualitas bagus. Agar suara gitar sesuai yang diinginkan, Tuges melanjutkan, bahan yang digunakan harus menyesuaikan. Misal untuk suara bright, kayu yang digunakan tipe kayu keras, seperti sonokeling. Untuk memperoleh suara mellow, menggunakan tipe kayu lebih lembut seperti cedar. Dan, untuk suara gitar bold, menggunakan tipe kayu campuran, misalnya sprus.
Menurut Tuges, kayu apapun bisa digunakan menjadi gitar sepanjang kayu tersebut padat. Namun, dari sekian banyak kayu, yang paling bagus menurut Tuges adalah kayu kepelan dari Bali yang dia sebut sebagai Balinese Coa. Ada yang pernah bawa gitar dari jenis kayu impor seperti cedar (kayu cemara) dan black tasmanian wood dari Tasmania. Setelah diadu, ternyata keduanya kalah suara.
“Masing-masing jenis kayu pun menentukan kualitas suara. Agar suara gitar bagus, pemilihan kayu pun harus bagus,” kata Tuges. Dia memberikan contoh kayu yang dipilih sebaiknya kayu-kayu yang berserat vertikal. Kayu seperti ini akan meningkatkan kualitas suara.
Faktor lain adalah ukiran. Tuges mengukir semua gitar yang diproduksinya. Menurut Tuges, kayu yang diukir bisa menghasilkan suara lebih keras dan nyaring karena kayu itu tidak datar. Suara lebih bergelombang, hal yang tak terjadi jika gitar tak diukir sama sekali. “Kayu pun lebih ringan sehingga menghasilkan vibrasi lebih bagus,” tambahnya.
Tuges juga menggunakan teknik brassing untuk menambah kekuatan fisik maupun suara gitar. Brassing adalah pemasangan rangka pada tubuh gitar di bagian dalam sound board. Selain menguatkan tubuh gitar, brassing juga bisa memperindah suara gitar.
Untuk menguji kekuatan gitar, Tuges menyimpan gitarnya selama satu tahun setelah jadi. Tujuannya untuk mengetahui apakah gitarnya berubah atau tidak selama satu tahun disimpan. Ruangan yang digunakan harus memiliki guitar humidifier. Hal ini karena, menurutnya, “Guitar is an life guarantee therefore it has to be good and taft,” he said.
Satu Jiwa
Hal teknis lain yang digunakan BlueBerry untuk mendapatkan kualitas bagus adalah ketebalan sound board dan bahan untuk fret board. Ada formula dan rahasia tertentu sehingga tebal tipis sound board pun berpengaruh terhadap kualitas suara. Pada awalnya, Tuges menggunakan pola-pola standar untuk mendapatkan kualitas suara tersebut. Seiring waktu, ketika dia merasa telah satu jiwa dengan gitar, dia tinggal menyesuaikan dengan keinginan dia sendiri ataupun pelanggan.
Akhirnya, inilah bagian yang tak kalah pentingnya, penampilan gitar. Bagi Tuges inilah bagian yang paling membedakan BlueBerry dengan gitar mana pun. “Dengan penampilan yang bagus, bahkan, jika tak digunakan bermusik pun, BlueBerry bisa jadi pajangan,” ujar Tuges. Cita rasa seni BlueBerry itu tergambar pada ukiran-ukirannya. Semua gitar BlueBerry totally hand made. Dari proses desain bentuk maupun ukiran, Tuges dan karyawannya membuat dengan tangan. Tidak ada komputerisasi sama sekali.
“Kami lebih senang menggunakan pensil daripada mouse,” katanya. Karena itulah, desain-desain mereka original, tak mungkin copy paste desain orang lain.
Desain di kertas kemudian diterapkan pada kayu. Para pemahat tradisional yang lahir oleh tradisi pahat kuat di Guwang, membuat detail ukiran tersebut selama satu hingga dua bulan. Motif ukiran gitar ini beragam, tergantung pesanan ataupun keinginan pemahat. Misalnya motif bunga-bunga, fauna, Bali, agama, tribal, horoskop, ataupun figur tertentu.
Hal lain yang membuat tampilan BlueBerry berbeda adalah aksesoris. Ukiran-ukiran pada gitar. Ukiran ini bisa di bagian mana saja pada gitar. Misalnya di sound board gitar, depan ataupun belakang, dan di bagian kepala. Bahkan ada pula ukiran perak berlapis emas. Gitar yang paling berbeda adalah satu gitar yang menggabungkan gitar akustik dan elektrik.
Apresiasi
Sebagai pembuat gitar, kebanggaan bagi Tuges adalah ketika diapresiasi tak hanya soal harga. Dia senang ketika, musisi-musisi seperti Rick Monrow, Paul de Lauries, Gospel Band, dan George Kauymann. Ada pula Grammy Award nominated Margaret Cho yang kini menggunakan BlueBerry dalam fall tournya. Apresiasi itu sesuatu yang tak bisa ditemukan setiap hari. Karena itulah, Tuges merasa dibayar tiga kali dalam tiap pekerjaannya.
Pertama karena bisa bekerja. Baginya itu kenikmatan khusus, tak bisa dinilai dengan duit. “Saya sangat menikmati,” katanya. Proses mengerjakan gitar tak bisa dilepaskan dari filosofi Hindu Bali yang dia anut. Dia selalu merapalkan doa sebelum kerja. Ketika mantra-mantra dia ucapkan, tanpa harus lewat sarana upacara, Tuges merasa dewa-dewa pertukangan bersama. Di palu yang tergenggam di tangan kanan adalah Dewa Wismakarma. Di pahat, di tangan kiri, ada Dewa Tatah. Ada kekuatan lain yang membantunya ketika bekerja. “Itu yang membuat setiap karya di Bali punya taksu, soul,” kata dia.
Bayaran kedua adalah ketika gitar sudah dibeli apalagi dengan harga tinggi. Hal wajar apalagi harga gitar BlueBerry sampai ribuan dollar. Bayaran ketiga bagi Tuges adalah compliment, pujian dari pelanggan. “Wah, pujian itu yang tak bisa dinilai dengan uang, apalagi kalau ada yang bilang, “Wayan, your guitar sounds great,” tambahnya.
Salah satu pujian yang tak terlupakan bagi Tuges adalah ketika gitarnya dibeli Presiden SBY. Tuges bercerita. Pemesanan berawal dari Gede Pitana, pejabat di Kementerian Pariwisata. Dari Pitana, Tuges diperkenalkan kepada Jero Wacik, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang juga salah satu orang dekat SBY. Lewat Wacik, Tuges meminta agar dia membawakan satu gitar untuk SBY.
Ternyata SBY tertarik dengan gitar buatan Tuges. Dia pun meminta, melalui memo, gitar khusus tersebut. Ada unsur kerbau, ada warna merah putih, dan ada huruf SBY di leher gitar. Bodi gitar pun paling besar dibanding gitar-gitar lain yang pernah dia buat. Pada 9 September 2011, Tuges menyerahkan gitar tersebut ke SBY sebagai hadiah ulang tahun di Istana Negara. Foto ketika Tuges menyerahkan gitar kepada Presiden SBY itu termasuk satu dari deretan foto musisi dan pejabat yang menggunakan BlueBeerry.
Dengan kualitas suara, tampilan, dan citra tersebut, maka harga BlueBerry pun di atas rata-rata. Harganya antara US $ 2.000 hingga US $ 8.000. Gitar paling mahal adalah model BlueBerry Custom Order Singular Masterpiece yang sampai US $ 8.800 atau hampir Rp 100 juta!
Namun, bagi Tuges, harga tersebut tidak termasuk mahal jika bandingkan dengan harga gitar merk terkenal lain. “Masalahnya cuma karena konsumen Indonesia belum terlalu menghargai karya seni saja,” katanya. [b]
Ada list harga gitarnya Pak????
Didaerah Denpasar ada????
Hi I currently play a ukulele I’m looking at moving to a guitar and would like a small bodied guitar…what would you recommend please…price and pics would be great. Thank you cheers Judy